-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 02 April 2024
Perang Asimetris &
Proxy War Ancaman Disintegrasi Bangsa
Oleh: Achmad Ramli Karim
(Pemerhati Politik dan Pendidikan)
Masyarakat awam pasti
lebih mengenal definisi perang secara konvensional, yaitu perang antara dua
negara yang menggunakan pasukan militer dan senjata.
Perang dalam sejarah
manusia diawali dengan menggunakan senjata tajam dan senjata tumpul untuk
membunuh musuh, namun dengan perkembangan teknologi membuat senjata perang
makin canggih. Senapan, meriam, rudal, granat, pesawat tempur, kapal perang,
bom atom, dan lain-lain menjadi senjata andalan setiap negara dalam perang
setelah era Revolusi Industri.
Kini, perang bukan hanya
perang konvensional secara fisik seperti itu, tetapi sudah ada yang disebut
perang asimetris. Mantan Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Ryamizard
Ryacudu, mengatakan, perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru
secara non militer, namun daya hancurnya tidak kalah bahkan lebih dahsyat
daripada perang militer. Perang asimetris memiliki medan atau lapangan tempur
luas meliputi segala aspek kehidupan.
Ada dua bentuk dalam
perang asimetris. Pertama, melalui aksi massa di jalanan dalam rangka menekan
target sasaran. Kedua, melalui meja para elite politik dan pengambil kebijakan
negara agar setiap kebijakan sejalan dan pro-asing.
Sasaran perang asimetris
yaitu membelokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan kolonialisme;
melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyatnya; menghancurkan
ketahanan pangan dan energi; selanjutnya, menciptakan ketergantungan negara
target atas kedua hal tersebut.
Perang konvensional
(militer) dan perang asimetris (non-militer) ternyata memiliki pola yang sama.
Pola perang konvensional adalah bombardir wilayah musuh melalui pesawat tempur
dan artileri, kemudian masuknya pasukan kavaleri berupa tank dan kendaraan
lapis baja lain, terakhir pendudukan oleh pasukan infanteri.
Pola perang asimetris
ternyata memiliki roh yang sama, walau wujud atau aksinya berbeda. Tahap
pertama dalam perang asimetris juga diawali dengan bombardir, namun berupa
penggiringan isu-isu strategis (opini publik) yang ditebarkan oleh pihak-pihak
tertentu (buzzer-buzzer).
Sedangkan masuknya
kavaleri dalam perang asimetris disebut tema atau agenda, misalnya; (1) agenda
menjatuhkan power dan kredibilitas lawan dalam dunia politik, melalui
penggiringan isu-isu miring, (2) pengungkapan karakter buruk dan tindak pidana
korupsi yang menjeratnya, (3) agenda gerakan massa untuk menurunkan rezim
penguasa setelah sebelumnya dibombardir oleh isu-isu (penggiringan opini
publik). Dan tahap akhir dalam pola perang asimetris adalah mengendalikan
sistem ekonomi dan sumber daya alam (SDA) di negara sasaran.
Selain perang asimetris,
juga ada yang disebut proxy war, dan media sosial telah menjadi salah satu
instrumen terpenting perang hibrida yang disebut metode perang proxy atau
perang generasi baru.
Menurut definisi umum,
perang hibrida adalah salah satu strategi perang yang menggabungkan perang
politik, perang konvensional, perang tidak teratur dan metode perang siber,
termasuk berita palsu, diplomasi, penyalahgunaan sistem hukum dan intervensi asing
dalam Pemilu.
Perang Proxy atau Proxy
War adalah sebuah konfrontasi antar-dua kekuatan besar dengan menggunakan
pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan
mengurangi risiko konflik langsung yang berisiko pada kehancuran fatal.
Indonesia bukanlah negara
adi daya (super power) seperti AS dan RRT, tetapi Indonesia bisa menjadi objek
sengketa oleh negara adi daya karena kekayaan sumber daya alam (SDA) yang
dimilikinya. Atas dasar kekayaan alam serta letak geografis Indonesia dalam
peta perdagangan internasional, Indonesia menjadi objek sengketa dalam politik
dagang global.
Mencermati percaturan
politik global dan kondisi internal Indonesia, dapat diduga kalau campur tangan
asing tidak ingin melepaskan kendali politiknya lewat penanaman modal
(pinjaman) dan investasi asing.
Jika betul Indonesian
adalah objek sengketa dagang kaum kapitalis dalam hal pangsa pasar dan kekayaan
alamnya, maka yang pertama harus dilumpuhkan dulu adalah kekuatan sosial yang
dimiliki oleh Indonesia seperti rasa nasionalisme, persatuan dan kesatuan dalam
Bhinneka Tunggal Ika, termasuk kekuatan mayoritas umat muslim.
Untuk mencapai sasaran
dalam perang modern atau perang generasi baru, maka peran pengganti bisa saja
menggunakan buzer-buzer bayaran, pengusaha anti nasionalis, dan para penghianat
bangsa demi kepentingan bisnis dan posisi (jabatan).
Oleh karena itu, jangan
terkecoh dengan editan yang berbau hasutan dan penggiringan opini publik, ada
kemungkinan itu sengaja dibuat oleh tim buzzer bayaran untuk menjebak lawan
politik agar kubu lawan mau menyebarkannya. Karena orang-orang pintar IT
sengaja dibayar oleh investor dan kapitalis, hanya untuk membuat narasi negative,
sedangkan orang awam khususnya umat muslim, lebih banyak buta politik dan buta
teknologi (IT) di media sosial, inilah yang dimaksud dengan Proxy War.
Proxy war tergolong ke
dalam ancaman besar sebuah ketahanan negara karena dapat menghancurkan sebuah
bangsa dalam keheningan, negara yang menjadi sasaran atau target tidak
menyadari bahwa negaranya sedang diporak-porandakan yang bisa berdampak ancaman
disintegrasi bangsa.
Disintegrasi bangsa
adalah sebuah keadaan di mana tidak bersatu padu dan menghilangnya keutuhan
atau persatuan suatu bangsa yang akan menyebabkan perpecahan. Ketika hal ini
terjadi, bukan tidak mungkin akan terjadi pelepasan wilayah dari suatu negara.
Di negara seperti
Indonesia, disintegrasi bangsa bisa muncul kapan saja karena fenomena ini
ditimbulkan oleh konflik sosial serta perpecahan. Jika dibiarkan terjadi,
masalah yang ditimbulkan bisa sangat beragam, mulai dari diskriminasi, konflik
isu SARA, kriminalitas di mana-mana, bahkan hingga melahirkan bangsa/negara
yang baru.
Contohnya seperti yang
terjadi di semenanjung Korea. Disintegrasi muncul akibat ada dua ideologi yang
tidak bisa disatukan, akibatnya munculah dua negara, yaitu Korea Utara dengan
ideologi komunis, dan Korea Selatan dengan ideologi demokrasi.
Demikian juga Indonesia
secara prospektif tidak menutup kemungkinan terjadinya perpecahan bangsa dengan
berpisahnya beberapa kepulauan besar menjadi negara yang berdaulat sendiri
(disintegrasi bangsa).
Ancaman disintegrasi
bangsa yang paling menghawatirkan jika kaum kapitalis (investor asing) menggunakan
pendekatan politik dagang (politik transaksional) dengan memanfaatkan penguasa,
pengusaha, dan pimpinan parpol, untuk menguasai Pulau Kalimantan dan membeli
pulau-pulau reklamasi yang pada akhirnya menyatakan berdiri sendiri sebagai
negara berdaulat dalam Wilayah NKRI.
Makassar, 01 April 2024