------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 07 Mei 2024
Kampus dan Gerakan
Kesenian
Oleh: Halim HD
(Networker-Organizer
Kebudayaan)
Modernisasi dan
institusionalisasi lembaga pendidikan dalam hampir semua seginya tampak menjadi
pelatuk yang menggerakkan dunia kesenian jika kita mengambil kasus dalam
kaitannya dengan pergeseran dan pergantian pengelolaan sanggar-grup tari,
teater, musik dan senirupa misalnya.
Indikator ini menunjukkan
bahwa terjadi pergeseran yang sangat menarik dalam konteks bahwa lembaga
pendidikan memainkan peranan penting dalam pengembangan sumber daya manusia
(SDM).
Namun pada sisi lainnya,
kita juga menyaksikan suatu proses sejenis keterputusan relasi antara lembaga
pendidikan kesenian dengan keluarga-keluarga tradisi yang sesungguhnya dahulu
keluarga tradisi ini memiliki peranan penting dalam posisi sebagai SDM pendidik
kesenian.
Hal yang terakhir ini tampaknya
kuat kaitannya dengan masalah birokrasi dan sertifikasi yang dijadikan ukuran
formal, yang sekaligus juga politik pendidikan dan politik kebudayaan lembaga
pendidikan menghapus nilai pengalaman sebagai ukuran di dalam pendidikan
kesenian dan pengelolaan kebudayaan.
Namun ironi pula yang
kita dapatkan ketika kampus kesenian yang sangat mengandalkan sertifikasi dan
memunculkan para pemegang sertifikat bahkan dengan tingkat doktoral, namun
kesenian di kampus justru tak cukup berkembang.
Kita bisa melihat dalam satu-dua
dekade terakhir ini ada belasan lulusan doktoral dalam kajian seni pertunjukan
dan jenis kesenian lainnya di kampus-kampus di Makassar.
Tampaknya, dan ini ironis, betapa tak ada korelasi antara kapasitas kajian dengan lahirnya pemikiran kesenian untuk menciptakan karya baru. Jikapun ada, terasa itu sebagai proyek dalam rangka yang tak cukup untuk dijadikan khasanah. Jika karya tak lagi dilahirkan, adakah hal lain yang bisa kita harapkan?
Di antara pesimisme yang
ada dan dorongan harapan yang masih kita sandarkan kepada
kemungkinan-kemungkinan pemikiran yang bisa muncul yang mungkin masih lindap
dalam lipatan birokrasi, barangkali ada baiknya kita mencoba menguak kondisi
jumud ini melalui tawaran tawaran gagasan.
Beberapa hari yang lalu,
melalui WA saya mendapatkan informasi tentang pergantian Rektor UNM dan
terpilihya rektor baru periode 2024-2028, Prof Dr H Karta Jayadi MSn. Sambil
mencoba mengingat rentang waktu yang lampau dan mengingat alur pemikiran yang
pernah ada dan memperbandingkan dengan kondisi yang kini kita hadapi, adakah
kemungkinan dari pergantian Rektor UNM dan hadirnya rektor baru bisa membawa
angin segar pemikiran dan kehidupan kesenian serta spirit pembaharuan dalam
pengelolaan enerji SDM?
Tak ada salahnya kita
berharap, menyandarkan asa itu kepada penanggungjawab kampus UNM yang dahulu
prodi keseniannya memiliki daya dorong penciptaan yang memukau.
Siapa yang tak tahu pada
periode 1980-90-an, kampus UNM memiliki SDM teater dan tari yang memungkinkan
Asia Ramli Prapanca bisa hadir sebagai sutradara teater yang fenomenal di
antara jagat teater kontemporer Indonesia.
Jika kita bicara tentang
hadirnya sutradara Asia Ramli Prapanca beserta aktor-aktornya, kita tak bisa
melupakan sosok Halilintar Lathief (HL) yang banyak memberikan inspirasi dalam
pengolahan tubuh dan eksplorasi spirit dalam konteks revitalisasi tradisi pada
masa kini berkaitan dengan konsep “pakkuruk sumangek” (call back the spirit)
seperti yang digambarkan oleh Anderson Sutton dalam bukunya “Calling Back the
Spirit: Music, Dance, and Cultural Politics in Lowland South Sulawesi, Oxford
Univ. Press, 2002, New York, p. 3).
Latar Nusa, Laboratorium
Tari Nusantara yang didirikan oleh HL merupakan lembaga yang menjadikan dirinya
laboratorium sebagai titik balik penting dalam proses memahami tradisi ke dalam
suatu ruang kehidupan. Salah satu aspek terpentingnya, bagaimana tradisi
menjadi enerji untuk menciptakan karya-karya lainnya.
Dalam proses pembangunan
dan modernisasi pada periode rezim Orde Baru, kita melihat realitas yang banal
ketika tradisi menjadi sejenis seremonial yang hanya digunakan untuk
kepentingan upacara resmi kaum elite. Politik kebudayaan itu telah menggerus
posisi-fungsi dan makna tradisi sesungguhnya.
Berdasarkan pengalaman
itulah Halilintar Lathief yang bukan hanya meninjau masalah itu secara kritis, melainkan
lebih dari itu menciptakan proses kerja yang radikal berdasarkan tafsir dan
praktek dari metode tradisi yang ditelusurinya melalui riset dan interaksi
serta pengalaman bersama para empu.
Lintasan pengalaman yang
sangat inspiratif yang dilakukan oleh Halilintar Lathief merupakan khasanah
yang harus kita renungkan dan pikirkan ulang sehubungan dengan posisi-fungsi
kampus dalam kaitannya dengan pengembangan SDM dunia kesenian.
Bukankah kampus juga
berposisi sebagai laboratorium kebudayaan, di samping ilmu pengetahuan dan
pendidikan? Kita berharap ada suatu policy praktis dari perubahan kepemimpinan
UNM ke dalam praktek yang berangkat dari dasar pemikiran tentang perlunya
kampus menciptakan relasi yang intensif kepada kolega kaum kesenian untuk
mengembangkan SDM.
Kampus harus menciptakan
ruang dialog untuk membuka kemungkinan proses pemikiran serta terciptanya
sistem produksi kebudayaan. Dalam konteks itulah dan melalui refleksi
perjalanan UNM pada beberapa dekade yang lampau membuktikan bahwa UNM memiliki
sesuatu yang bisa menjadi kontribusi penting dalam percaturan dunia panggung
melalui karyanya dalam seni pertunjukan di Indonesia.
Menimbang pemikiran itu
dan sandaran harapan kepada pengelola kampus UNM yang baru, kita ingin melihat
adanya gerakan kesenian menuju gerakan pembaharuan kebudayaan di negeri ini.
Kemungkinan-kemungkinan
hal itu bisa terjadi jika kampus membuka selebar-lebarnya ruang dialog yang
intensif, yang bisa menyentuh kedalaman enerji kreatif SDM yang ada di dalam
kampus dan SDM kaum seniman yang selama ini jumud dan dibekuk oleh birokrasi.***