-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 01 Mei 2024
Menyambut Hari Buruh
& Hardiknas 2024:
Sastrawan Tidak Harus
Bergelandang
(Ketika Ijazah Sastra Ditolak di Birokrasi Pemerintahan)
Oleh: Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan,
Kritikus Sastra)
Kalau Tuhan berkehendak,
sejuta bom pun tak kuasa meledakkan harapan manusiawi. Sebagai alumni Fakultas
Sastra, besar keinginan saya menjadi Aparatur Pemerintahan. Namun karena berkas
lamaran ditolak, dengan alasan Sarjana Sastra bukan tempatnya di Birokrasi
Pemerintahan, saya pun tidak berkutik.
Inilah pengalaman “buruk”
saya di republik yang, konon, mengutamakan Sumber Daya Manusia Lahir-Batin
(SDMLB) di tahun 1980-an.
Saya juga heran, mengapa
saya tidak berkutik? Padahal dulu di kampus, saya dikenal sebagai mahasiswa
yang suka pulang kampung untuk mendemo bupati. Setelah sarjana, barulah saya
paham bahwa sehebat apa pun nyali mimbar akademik yang saya miliki, bila hanya
seorang diri, itu akan lembek seperti belut.
Untung saat itu juga saya
lulus di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud, sebelum otonomi
daerah) Provinsi Sulsel. Karena itu, saya fokus menyetor berkas di Balai
Penelitian Bahasa, tempat instansi yang saya lulusi, di Benteng Rotterdam, Kota
Makassar.
Seorang dedengkot teater
Dewan Kesenian Makassar, pemain film, pegawai Depdikbud Sulawesi Selatan
bernama Radjab Fattah (yarhamullah), tulus membantu saya. Dialah yang mengantar
saya mengurus berkas di bagian pendaftaran ulang.
Namun, belum tuntas
mengurus lampiran-lampiran berkas yang sangat merepotkan itu, saya mendapat
panggilan dari Kantor Bupati Bulukumba. Oleh Kepala Bagian Kepegawaian, saya
diminta kembali membawa berkas lamaran yang pernah ditolak dan ikut ujian dua
hari ke depan.
“Maaf, saya tidak mau
dihibur, Pak,” kata saya di hadapan Kepala Bagian.
“Maksud adik?” tanyanya.
“Maksud saya, ijazah
sastra tidak diterima, kan? Saya tidak ingin dihibur dengan diikutkan ujian!” sergah
saya.
Nada suara sedikit berbau
demonstrasi. Dia tersenyum. Ramah dan
kebapakan. Seraya menepuk lembut pundak saya, Kabag itu kemudian berkata: “Kemarin
saya ke Kantor Gubernur, Dik. Saya tanyakan itu. Kepala Biro Kepegawaian menjelaskan
bahwa Sarjana Sastra lulusan universitas boleh mendaftar sebagai Aparatur Pemerintahan.
Yang tidak diterima adalah Sarjana Sastra dari Institut Keguruan. Sebab, mereka
itu dipersiapkan menjadi tenaga kependidikan atau guru.”
Mendengar penjelasan itu,
ada perasaan lega di hati. Harapan manusiawi menjadi Aparatur Pemerintahan
semakin besar. Saya tidak melanjutkan pengurusan berkas di Balai Penelitian
Bahasa. Saya ikut ujian, dan ternyata lulus.
Di hati saya, ada
kebahagiaan khusus. Kelak, saya ingin membuka pikiran orang lain bahwa
sastrawan tidak harus bergelandang dari lembah ke lembah, membangun istana
khayal. Ia harus diberi ruang untuk ikut mengolah dan mengelola lembaga
pelayanan publik di negerinya, sesuai bidang keahlian.
Bukan hanya itu,
Perguruan Tinggi (khususnya universitas) yang menampung jurusan Pendidikan
Bahasa, Seni dan Sastra, di seluruh wilayah republik ini, ikut memikul tanggung
jawab untuk memperjuangkan “produk kesarjanaan”-nya agar mendapat peluang yang
sama dengan sarjana jurusan lainnya di dalam mengelola manajemen administrasi
pemerintahan.
Ingat, Birokrasi
Pemerintahan adalah wilayah pelayanan publik bagi seluruh bidang kehidupan
masyarakat, termasuk pada dimensi bahasa, seni, sastra, dan kebudayaan secara
universal.***
Makassar, 01 Mei 2024