-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 23 Mei 2024
Yang Hilang di Makassar
Oleh: Halim HD
(Networker-Organizer
Kebudayaan)
Tak ada satu kota pun di
Indonesia yang bisa menyaingi Makassar untuk dunia kulineri dengan spefisikasi
berbahan hasil laut. Banyak kota yang mendaku sebagai kota bahari, seperti
Palembang, Tegal, Cirebon, Pekanbaru, Padang, Medan, Surabaya, dan puluhan kota
lainnya, namun tak sebuah kota pun yang bisa menyaingi ikan bakar atau hasil
laut lainnya di atas perapian yang menciptakan aroma yang tak bisa dilupakan.
Demikian juga olahan
hasil laut dengan berbagai bumbu rempah yang membuat lidah bergoyang menikmati
khasanah kulineri tradisi yang tak bisa ditiru oleh daerah lain. Tentu saja,
daerah-kota lain memiliki juga kekhasan kulineri hasil laut, seperti juga Makassar
memiliki khasanah kulineri lainnya, Coto.
Setiap teman yang ingin
mengunjungi Makassar selalu bertanya dimana kira-kira bisa menikmati kulineri
hasil laut. Saya memberikan sejumlah alamat, tapi sambil guyon namun serius
saya menyampaikan, jika Anda lapar, masuklah warung ikan bakar di mana saja,
maka Anda bisa menikmatinya. Itulah heibaatnya Makassar.
Warung yang berbahan
hasil laut ada di mana-mana. Kenikmatan dan kenyamanan olahan hasil laut itu
menciptakan kenangan dan menjadi bahan cerita dan obrolan. Ujung lidah yang
menikmati dunia kulineri beralih menciptakan suatu narasi tentang kebudayaan
dan tradisi kulineri yang ceritanya tak pernah berujung, saling menyambung dan
saling berkait dengan narasi tentang warung kopi di Makassar yang aduhai.
Namun suatu narasi
tentang khasanah kulineri yang dicicipi dengan penuh nikmat juga memiliki bumbu
cerita yang lain. Bumbu cerita itu soal betapa Makassar yang pernah punya
kandungan keindahan pantai yang kini hilang dan bangunan menjulang menutupi
pesisir dan deburan ombak.
Losari yang pernah
menjadi legenda lokasi wisata yang kini dipenuhi oleh bangunan dan dengan
center point-nya terasa artifisial. Tak ada lagi bentangan laut yang bisa
dinikmati. Banyak teman yang berkomentar, kenapa pula wilayah pesisir itu
disulap secara sembrono oleh bangunan yang seolah-olah modern tapi tak cukup
ramah untuk pertemuan dan percakapan sambil menikmati alam semesta bahari.
Seorang teman yang lain
mengeluhkan masalah ruang parkir yang berjejal, sambil juga berkomentar tentang
betapa Makassar kini dipenuhi oleh sarana lalu lintas yang menyulitkan bagi
pejalan. Dia bertanya-tanya, kemana itu taman-taman kota yang alamiah, yang
dulu bisa dinikmati dengan santai dan pepohonan rindang menjulang menjaga kota
dari polusi udara. Karebosi, kata teman itu kenapa menjadi ruang yang begitu
artifisial dan terasa bukan lagi ruang publik.
Kongko dengan beberapa
teman yang setahun-dua tahun terakhir ini mengunjungi Makassar, mengingatkan
saya kepada ledakan kredit motor pada dua dekade terakhir, yang membuat
Makassar dan Sulawesi Selatan memegang rekor dengan peningkatan lebih dari 500%
berbagai jenis motor berseliweran di jalanan, yang pada setiap akhir pekan
mereka bergerombol dan memenuhi semua ruas jalan dalam klub-klub merek, yang
merupakan bentuk dari tribalisme moderen.
Ledakan motor (dan juga
mobil) di jalanan merupakan wujud dari usaha warga untuk menanggulangi
kesulitan dalam menggunakan sarana transportasi publik. Kegagalan Pemkot
Makassar dan Pemda Sulsel dalam menyediakan transportasi publik menciptakan
peluang relasi antara agen industri otomotif dengan perbankan, seperti juga
yang terjadi sebelumnya ledakan angkot yang melebihi kapasitas penumpang yang
menciptakan persaingan dan tak jarang konflik antar angkot terjadi.
Dampak dari penambahan
jumlah kendaraan otomotif pribadi yang memenuhi jalanan itu bukan hanya
berdampak betapa sulitnya berjalan kaki karena sidewalk tak cukup tersedia dan
jenak untuk melenggang, juga berdampak pada makin kumuhnya udara Makassar oleh
polutan udara dari kendaraan otomotif. Dampak polutan udara dan suara itu akan
sangat mempengaruhi pertumbuhan tubuh dan terutama sistem syaraf bagi anak-anak
dan remaja.
Pemkot Makassar dan Pemda
Sulsel bukan hanya gagal dalam penyediaan transportasi publik yang membawa
dampak ledakan otomotif di jalanan, juga berlanjut pada kegagalan di dalam
menata ruang kota dalam kaitannya dengan penghijauan wilayah dan penciptaan ekosistem
lingkungan untuk menangkal polutan udara dan suara. Kota menjadi suatu ruang
krisis yang tak dapat ditanggulangi seketika.
Setiap periode pengelola
kota bukan menciptakan solusi untuk bagaimana warga bisa menikmati suasana kota
dengan santai. Berjalan kaki menjadi jenis kemewahan dan sekaligus menakutkan
karena tata lalulintas yang tak cukup ditaati oleh pengguna kendaraan.
Saya teringat beberapa
tahun yang lalu ungkapan yang pernah dinyatakan oleh para elite pengelola kota
tentang Makassar yang menjadi kota dunia. Sementara kota-kota dunia di negeri
lain berbenah dengan menciptakan ekosistem dan tata ruang urban yang makin
manusiawi, ironisnya justru Makassar terasa tak memiliki strategi pengembangan
kota yang bisa kita sebut manusiawi. Kecuali sejumlah bongkar pasang sarana
jalanan dan tata ruang yang kian amburadul yang membuat Makassar menjadi
seperti kota lainnya yang rusak tata ruangnya, menjadi kota yang tak ramah
secara ekologis.
Saya pikir, dampak dari
policy pengembangan kota yang tak pernah bertanya kepada warganya, dan arogansi
elite pengelola kota yang didukung oleh wakil rakyat yang tak peduli kepada
kepentingan masyarakat, sudah kita rasakan sekarang, dan akan makin terasa
bukan hanya secara fisikal, tapi juga secara psikologis dan kultural.
Dalam konteks inilah kita
makin yakin bahwa Makassar tak memiliki konsep kebudayaan dalam pengembangan
tata ruang kehidupan warga dan masyarakatnya.
***