Mengabdi 34 Tahun di Unismuh Makassar, Ibu Mantang Tak Pernah Berutang Sekali pun

Ibu Mantang, 34 Tahun Mengabdi di Unismuh Makassar. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)


-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 16 Juli 2024

 

Mengabdi 34 Tahun di Unismuh Makassar, Ibu Mantang Tak Pernah Berutang Sekali pun

 

Ibu Mantang, dalam usianya yang ke-72, telah mendedikasikan 34 tahun hidupnya untuk Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar. Selama 34 tahun itu, ada tujuh rektor yang bergantian memimpin Unismuh Makassar.

Ke-7 rektor itu ialah KH Djamaluddin Amien, Prof Abdul Rahman Rahim (mantan Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi, sekarang LLDikti Wilayah IX Sultanbatara), KH Makmur Ali, Prof Ambo Enre Abdullah, Prof Irwan Akib, Prof Abdul Rahman Rahim (mantan Dekan Fakultas Ekonomi Unismuh Makassar), dan Prof Ambo Asse.

Sebelum bekerja di Unismuh, Ibu Mantang pernah bekerja di tempat lain dengan gaji yang cukup besar. Namun, ketika pindah ke Unismuh, gajinya agak di bawah jumlah yang ia terima dari tempat kerja sebelumnya. Meski begitu, atas nasehat ibunya yang kini telah almarhum, Ibu Mantang tetap bertahan.

Ibunya, Masiang, ketika itu berpesan, “Nak, bekerja di tempat ini adalah pengabdian, tempat beramal. Unismuh adalah amal usaha Muhammadiyah, Ormas Islam besar di Indonesia.” Kata-kata ini tertanam dalam hati Ibu Mantang, membakar semangatnya untuk terus mengabdi.

Setiap hari, angkot setia menjadi teman perjalanannya, mengantar dan menjemputnya dari kampus tercinta. Tak pernah sekalipun ia berutang, menjunjung tinggi integritas hingga akhir. Meski penghargaan tak pernah menghampiri, semangatnya tak pernah pudar. Baginya, setiap langkah adalah langkah beramal, setiap hari adalah hari pengabdian.

“Sebenarnya saya pernah dua kali mengajukan permintaan utang di kampus. Pertama saya mengajukan permintaan utang sebesar Rp500 ribu, kedua saya mengajukan permintaan utang sebesar Rp3 juta, tapi selalu ditolak, namun saya tidak kecewa. Ternyata, ada jalan keluar yang diberikan Allah dari masalah yang saya hadapi,” ungkap sarjana akuntansi alumni STIEM Bongaya Makassar.

Di akhir masa baktinya, Ibu Mantang menjabat sebagai Kepala Tata Usaha Lembaga Perpustakaan dan Penerbitan Unismuh Makassar. Namun, ia tak pernah berupaya menonjolkan diri. Ia bekerja dengan tenang dan penuh tanggung jawab, tanpa pernah sekalipun menampakkan ambisi merebut jabatan. Dimana pun ditempatkan, tugasnya selalu dilaksanakan dengan baik.

Ibu Mantang mengaku ia selalu naik angkot pergi dan pulang kerja, karena ia memang tidak bisa membawa kendaraan. Ia tak pernah belajar membawa sepeda motor atau pun mobil. Tapi ia menikmati kesehariannya pergi dan pulang kerja dengan naik angkot.

“Sebenarnya saya pernah punya SIM mobil, tapi saya tidak punya mobil,” ungkap Ibu Mantang sambil tertawa.

Ketika gajinya masih rendah, ia bahkan kadang-kadang kehabisan uang dan terpaksa berutang ke sopir angkot. Para sopir angkot mengerti dan mengatakan tidak usah bayar, karena mereka sudah mengenal Ibu Mantang. Namun, Ibu Mantang tidak mau berutang. Ia tetap membayar pada kesempatan lain kepada sopir angkot yang pernah menggratiskan tumpangannya.

Suatu kali, Ibu Mantang pernah mencari sopir angkot yang menggratiskan tumpangannya. Selama kurang lebih satu bulan lamanya ia mencari, dan ia begitu gembira ketika akhirnya bisa bertemu dan “membayar utangnya.” Pernah juga, ia mencari seorang sopir angkot selama kurang lebih satu pekan, hanya untuk membayar utang tumpangan gratisnya.

“Ketika saya beri uang untuk membayar utang saya, para sopir angkot itu tidak mau menerima karena mereka sudah lupa dan tidak menganggap memberi utang kepada saya. Tetapi saya bersikeras memberinya dengan jumlah beberapa kali lipat dari tarif sekali naik angkot, karena saya merasa sangat terbantu di saat tidak punya uang atau di saat tidak membawa uang, dan sopir angkot ketika itu dengan senang hati memberi saya tumpangan gratis,” ungkap Ibu Mantang.

Kini, di usia senjanya, ia memasuki masa purnabakti dengan kepala tegak. Ibu Mantang adalah simbol dedikasi dan ketulusan, teladan bagi kita semua bahwa nilai pekerjaan tidak selalu diukur dengan materi, tetapi juga dengan hati yang tulus dan niat yang ikhlas. (asnawin aminuddin)

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama