Penyair D. Zawawi Imron Menjawab Kritik Saya

Penyair D Zawawi Imron (kiri) dan kritikus sastra Mahrus Andis.

 

-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 02 Juli 2024

 

Penyair D. Zawawi Imron Menjawab Kritik Saya

 

Oleh: Mahrus Andis

(Sastrawan, Budayawan, Kritikus Sastra)

 

Dua tahun lalu, saya mengkritik puisi penyair nasional Taufik Ismail yang saya temukan di internet. Luar biasa dampak yang bermunculan. Ada yang setuju, ada pula yang tidak terima, bahkan ada yang pasang lidah membela mati-matian  dengan menyalahkan keberanian saya mengkritik penyair Indonesia Angkatan 66 itu.

Ini tidak main-main sebab hasil kritik saya diributkan di grup WA para sastrawan senior di Jakarta. Di sisi lain, tak ada reaksi dari Taufik Ismail setelah membaca krtik saya tersebut. Sikap diam penyair ini penanda keikhlasannya menerima kritik.

Sedikit beda dengan sikap penyair nasional lainnya, D. Zawawi Imron. Tidak ada reaksi pembelaan dari para sastrawan koleganya. Namun, penyair yang berlatar pesantren dan bergelar kiai itu, menunjukkan sikap ikhlasnya menerima kritik melalui balasan komentar kepada saya.

Berawal ketika Zawawi menulis dua buah puisi kepada sahabatnya di Makassar, yaitu Prof. Dr. Sukardi Weda (akademisi) dan Armin Mustamin Toputiri (aktivis politik yang gemar melukis).

Kedua puisinya dimuat di internet dan saya pun melakukan kritik sastra kemudian diunggah di laman facebook. Zawawi membalas kritik saya melalui komentar disertai sebuah puisi berkonten perenungan.

Dari jawaban atas kritik itu, saya memahami bahwa D. Zawawi Imron memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual sebagai modal dasar kepenyairannya. Kesemuanya tercermin dari kearifan bahasa serta etika komunikasi melalui komentar dan puisi yang dia tulis untuk saya.

Berikut ini komentar Zawawi di laman fesbuk, Sabtu 29 Juni 2024:

 

Salam hormat kpd sahabat Andi Mahrus.

Puisi untuk dua sahabat itu saya tulis tadi pagi. Begitu selesai tanpa diedit langsung saya kirim japri kpd masing2 mereka. Buktinya utk Sukardi ada salah cetak, ‘takarab’ sebenarnya ‘takaran.’

Puisi itu belum saya kirim ke masyarakat umum.

Atas saran dan kritik Mas Andi Mahrus saya menerima dengan senang hati, dan terima kasih saya ucapkan.

Saya ini orang pesantren yg keseleo jadi penyair. Tidak pernah belajar teori sastra. Jadi kalau satu saat saya terdampar pada pantai pendangkalan sudah sangat pantas. Pada umur 81 tahun yg sebenarnya sudah pensiun, kok masih menulis puisi he he.

Mungkin juga saya sudah dihinggapi benih2 pikun, sehingga puisi saya tak punya gairah estetik lagi. Saya terima itu semua sebagai kelemahan orang yg sudah tua. Saya sadar, puisi atau tulisan yg ditulis tergesa dan belum ditulis ulang memang cenderung ada yg dangkal.

Itu resiko ketergesaan.

Sebagai orang tua saya butuh saran dan kritik dari yg muda2 yg lebih segar telaahnya. Untuk itu utk teman2 yg mengkritik saya, saya anggap itu "sedekah" yg lebih indah dari uang. Bahwa ada orang mau memperbaiki hidup saya. Saya sangat yakin dengan Nawa-nawa Patuju dari orang Bugis, "Akininnawa patujuko mumadeceng kalawing ati", berpikirlah kamu dengan hati yang jernih, maka kamuliaan akan menyelimuti hatimu."

Ketika hati saya tidak jernih saya bisa punya sikap yg tidak mulia, bahkan tidak bisa menulis puisi yg dalam dan matang serta tidak akan menghasilkan karya yg bisa mengharumkan nama.

Kita berpacu dalam hidup, siapa yg paling malebbi'. Sejarah nanti yg akan bicara.

Kepada Sahabat Andi Mahrus saya menjunjung tinggi kritik Anda sekali lagi SALAM  dan HORMAT.

 

Selanjutnya, inilah puisi yang ditulis Zawawi Imron untuk saya:

 

HIKMAH

buat Andi Mahrus

 

Ketika hidup kita yakini sebagai anugrah

Maka sujud merasakan hakikat diam

Dalam gerimis hikmah

Maka dalam diam

Berteriak sejuta gelombang

Dan di sela-sela langkah gelombang

Keringat zikir yang paling bernilai

Di titik pusaran ini

Lumpur bisa menjelma emas

Puisi pun hanya perekat

Cinta berlayar pada pembuluh saraf dan nadi

Mengejar bisik abadi

Akan muncul kearifan purba

Selagi lidah bisa menebar hikmah

Badik biarkan tidur dalam sarungnya.

                (dzi)

 

Makassar, 02 Juli 2024

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama