Tallo Makassar Punya Sejarah yang Tidak kaleng-kaleng

PUNYA SEJARAH. Beberapa pemicara tampil dalam Diskusi Publik bertema “Menemukan Kembali Tallo: Mendorong Kampung Lama Tallo Menjadi Kampung Berbasis Wisata Sejarah dan Budaya”, di Aula Kantor Kecamatan Tallo, Jalan Ade Irma Nasution, Makassar, Senin, 22 Juli 2024. (ist)

 

------

Selasa, 23 Juli 2024

 

Tallo Makassar Punya Sejarah yang Tidak kaleng-kaleng

 

MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Tallo, Makassar, punya sejarah yang panjang dan besar. Apa yang terjadi di Tallo pada masa lalu, mempengaruhi daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan. Bahkan beberapa daerah, seperti Bima, ada pengaruh dari Kerajaan Tallo, terutama terkait penyebaran agama Islam.

Hal ini mengemuka dalam Diskusi Publik bertema “Menemukan Kembali Tallo: Mendorong Kampung Lama Tallo Menjadi Kampung Berbasis Wisata Sejarah dan Budaya”, di Aula Kantor Kecamatan Tallo, Jalan Ade Irma Nasution, Makassar, Senin, 22 Juli 2024. Diskusi ini merupakan rangkaian kegiatan Pertunjukan Muara Sungai, Laut dan Tallo Bersejarah.

“Tallo punya sejarah yang tidak kaleng-kaleng. Namun, narasi tentang kerajaan kembar Gowa-Tallo membuat Tallo berada di bawah bayang-bayang Gowa,” terang Prof Muhlis Hadrawi.

Muhlis Hadrawi, yang merupakan Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin (Unhas), memaparkan kapita jejak sejarah Tallo yang agung. Dikatakan, pada naskah Lontaraq disebut ada pelabuhan tua Kaluku Bodoa di zona pesisir barat Makassar. Saat itu didatangkan kapur barus dari Sumatra. Ini menandakan ada koneksitas antara Tallo dengan dunia luar.

Kisah kedatangan penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan juga terkait dengan Tallo. Daerah ini merupakan pijakan pertama tiga datuk asal Melayu, pembawa ajaran Islam, di tahun 1605, yaitu Datuk ri Bandang (yang mengislamkan Raja Gowa, I Mangarangi Daeng Manrabia, yang kemudian diberi gelar Sultan Alauddin), Datuk ri Tiro (yang mengislamkan masyarakat Bulukumba dan sekitarnya), serta Datuk Patimang (yang mengislamkan Datu Luwu, La Patiware Daeng Parabbung, yang kemudian bergelar Sultan Muhammad).

Bontoala, kala itu, merupakan tempat pengajian Islam yang mula-mula dan menjadi scriptoria sastra kitab awal Abad XVI.

Muhlis Hadrawi yang pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas menambahkan, Tallo sudah jadi kota dunia sejak Abad XVII. Tallo menjadi model zona metropolitan dan multikulturalisme sejak lama.

“Untuk menguatkan Tallo itu, maka perlu menguatkan narasinya, yakni melalui manuskrip. Karena itu perlu membuat gerakan literasi tentang Tallo,” imbuh Muhlis.

Dia mengungkapkan, di Tallo dulu ada semacam festival. Pada bulan September 1660, ada pesta panen tahunan. Ditampilkan beragam pertunjukan seperti pappadendang, passempea, pallanca, pattojang, pakkenna-kenna pana, menembak bedil, permainan raga, pencak silat, penombak berkuda, sabung ayam, dan lain-lain.

Rifai SPd Mhum, sejarawan UNM, mengatakan, Tallo merupakan kerajaan maritim dan sudah punya kontak dengan luar negeri. Dikemukakan, Tallo itu sudah maju dan modern, jika kita menggunakan parameter masa itu.

Andi Syamsuryadi Daeng Bombong SH, Gallarang Pannampu (Lembaga Dewan Majelis Hadat Tallok), mengatakan, situs-situs peningggalan Kerajaan Tallo bukan saja berada di Tallo tapi juga di Makassar dan daerah lain.

“Tantangan bagi peneliti dan arkeolog untuk menemukan peninggalan-peninggalan sejarah tersebut,” kata Syamsuryadi.

Ferdhiyadi N, penerima Program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX Kemendikbudristek RI, menyampaikan bahwa dia dan teman-temannya tergerak mengadakan Pertunjukan Muara Sungai, Laut, dan Tallo Bersejarah atas dasar kepedulian. Dia berharap, upayanya ini mendapat respons positif agar bisa jadi agenda tahunan.

Acara diskusi publik ini dipandu oleh Rahmatul Yushar, guru sejarah, sedangkan penanggung jawabny diskusi adalah Sofyan Basri. Hadir dalam acara ini antara lain, tokoh masyarakat dan warga Tallo, akademisi, mahasiswa, peserta jappa-jappa ri Tallo, dan pegiat literasi.

 

Anggaran Kegiatan Kebudayaan

 

Sekretaris Dinas Kebudayaan Kota Makassar, Dr Muhammad Fadli Tahar, mengatakan, untuk menjadikan Tallo sebagai kampung budaya, sangat dimungkinkan karena punya akar sejarah yang kuat. Tinggal butuh proses dan perlu dioptimalkan, biar jadi kebanggaan bersama.

“Tugas Pemkot Makassar memfasilitasi kegiatan yang diinisiasi warga,” kata Fadli saat membawakan materi.

Dia mengatakan, Pemkot Makassar telah menyediakan anggaran dan melakukan berbagai kegiatan terkait kebudayaan. Untuk menjadi kampung budaya, perlu edukasi ke warga dan pemangku kepentingan lain, ada dukungan infrastruktur. Juga perlu promosi dan pemasaran, serta kolaborasi dengan media.

Pemkot Makassar, katanya, menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan. Bisa dilihat pada nomenklatur Dinas Kebudayaan yang berdiri sendiri dan penetapan Hari Kebudayaan 1 April. Juga ada penulisan dan penerbitan buku, kegiatan museum keliling, dan pembuatan film Marege.

Kegiatan event budaya, menurut Fadli, perlu diadakan karena akan memberi dampak ekonomi terhadap masyarakat. Akan menambah penghasilan warga, membuka lahan pekerjaan, dan tumbuhnya ekononi kreatif. Selain itu juga brdampak pada pemberdayaan komunitas seni budaya dan penguatan identitas lokal,

Muhlis Hadrawi mengusulkan perlu membuat suatu event besar di Tallo. Bila perlu menghidupkan kembali Benteng Tallo seperti Fort Rotterdam.

“Namun membangun Tallo, bukan cuma merawat sejarah dan mengembangkan kegiatan budayanya, tapi lebih penting dari itu adalah membangun manusianya juga,” kata Muhlis. (rt)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama