------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 15 Agustus 2024
Beragama Buram Bergondokan Siamangan
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Agama ditakdirkan memang hadir tidak lain
adalah untuk membakar arogansi sehingga mencairkan logika jiwa batin agar
nurani lebih bening dan cemerlang di dalam perilaku. Esensinya tidak lain agar
kehidupan supaya semakin berseri, baik di dunia hingga berakhiratan.
Hal itu, tidak lain tujuan utamanya, ialah
berguna untuk saling mencerahkan satu sama lain, _ hingga berbuah rahmat lil
alamin bermata batin semesta. Manakala, belum jua demikian, berarti esensi
keagamaan belum meresap sebagai kiblat diyakininya masing masing.
Maka, agama tidak hanya lengket dan tulen
pada aksesoris identitas formalitas semata tanpa makna apa apa!
Lalu, kini keyakinan agama kita gimana,
apa masih menjadi bagian, bah penggalan akhir dari diksi di atas atau belum jua
beragama? Atau tetap buram. Bahkan penyakit mata yang buram diistilahkan dengan
buram ayam. Ketika menghadapi mata buram demikian, bukan justru melakukan bakar
ayam untuk mengobatinya dan plus menjadikan niatan untuk persembahan kepada
makhluk lain, bah diksi berikut ini.
Buram bakar ayam, dunia makin canggih di
dalam kemoderenannya, koq, semakin buram dan pikun juga kelakuannya.
Bahkan, pesan agama dalam kertas
identintas diri pun dikhianati pula, dan mungkin itu hanya coretan sebagai syarat
kewargaan. Bukan menjadi ukuran keyakinan mesti diyakini!
Wajar, mungkin hingga semakin buram ayam
dan selalu nyengiran Siamangan pada karya orang lain, dikarenakan asupan logika
masih ingusan, sekalipun telah melewati formalin akademisan mestinya berkarya.
Berkarya Bukan Siamangan
Bila tak berkenan dengan karya cipta orang
lain, maka eloknya kita lawan pula dengan karya juga yang lebih berkenan.
Bukan lawan dengan gondokan tentang hasil
karya orang lain, hingga nyengiran bah tembolok Siamang bergantung di belakang
tebing__
Eloknya, tunjukan karya bukan unjukin gigi
dengan nyengiran Siamang pada karya orang lain, itu baru logisan nan
berakademisi brilian.
Tetapi, kalau tak juga, maka pilihannya
mungkin lebih baik diam akan lebih menawan.
Sekalipun, tak dipaksa untuk demikian,
tetapi minimal saling menghargai kepada orang lain yang telah berkarya.
Minimal hal demikian, adalah mungkin juga
sebagai wujud karakter keadaban kemanusiaan yang berpengetahuan santun jadi
hamba Tuhan.
Sekalipun, juga Siamangan itu hamba Tuhan,
ia merupalan primata jenis lain dari monyetan, bertangan dan berekor panjang
bila berbunyi akan muncul temboloknya.
Siamang hidup di hutan belantara Sumatera
dan Kalimantan juga di negara lain. Mungkin kini, Siamang habitanya semakin
punah, atas kesombongan manusia di dalam menggarongi hutan hunianya.
Qishash Kesombongan
Masalah esensi kesombongan manusia sebagai
hamba Tuhan, telah dititahkan dalam QS Al Isra: 37, yang berarti:
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus
bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”
Mungkin, ayat di atas, boleh dimaknai
secara apa adanya dengan mudah sehingga berkesan di lubuk nurani agar bercermin
santun.
Dan jangan pula terlalu songongan, lalu
menantangi bayangan sendiri dikarenakan dihantui oleh kelakuan sendiri yang
juga terkesan memang begitu sombong,_ Sekalipun dipolesin dengan ragam
aksesoris instan gaya sengkuni tulen dalam topeng kesilumanan. Namun, apapun
dilakukan akan tetap mendapatkan balasan setimpal atau qishash, baik di dunia
maupun di akhirat menanti.
Qishash akan berlaku kepada orang yang
menghilangkan jiwa atau anggota badan orang lain, seperti yang diperbuatnya.
Nyawa dibayar dengan nyawa tentu berimbang sesuai wujud dilakukannya.
Dan mungkin boleh jadi akan berlaku juga
kepada hewan, sesuai kadar dilakukannya. Sama halnya, kesombongan diusung
karena merasa ada bekingan cukongan songongannya, maka esensi kelakuan demikian
boleh diberlakukan sesuai kadar kesombongan pula.
Sekalipun, ini bukan hadits shahih
sebagaimana dinyatakan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Hadits,
mengutip hadits Nabi SAW, yang berarti: “Bersikap sombonglah kamu terhadap
orang yang sombong, karena sesungguhnya bersikap sombong terhadap orang yang
sombong adalah sedekah.”
Namun, tidak demikian halnya kepada
orang-orang fakir, Nabi SAW melarang bersikap sombong kepada mereka, terkecuali
kepada orang fasik dan syirik yang berbuhulan dengan keiblisan.
Orang berbuhulan tentu berlaku biadab,
biar kepada hewan dilakukannya. Ini mungkin mesti diberlakukan qishash,
sekalipun kepada burung sebagai hewan peliharaan, karena burung sama menjadi
mahkluk Tuhan yang bertauhid juga.
Jadi, kesombongan pun boleh diberlakukan
qishas pula, sekalipun berbeda kadar kepada binatang sebagai makhluk Tuhan.
Dunia untuk Berbeda
Kelihatan dunia ini menawan, dikarenakan
ada perbedaan yang patut dihargai satu sama lain.
Perselisihan pandangan akan penilaian,
adalah anugerah tak terkira untuk dilakoni guna menemukan harmonisasi kehidupan
ini.
Termasuk, rasa keadilan memberi dan
menerima perbedaan antara jenis kelamin, tentu ditakdirkan untuk
diijabkabulkan.
Juga silih bergantiannya siang malam,
terang gelap gulita, pergantian mesti diterima apa adanya.
Minimal menstabilkan rasa egois dan
arogansi kesombongan dalam kesesatan yang menyiksa diri karena tidak mau
menghargai perbedaan.
Api arogansi hanya terabadikan kepada
sifat keiblisan saja. Padahal semua hal itu, kita yakin adalah tak disukai oleh
Sang Pencipta Semesta ini.
Memang kita dicipta untuk berbeda,
termasuk rona di dalam aroma pesona. Namun demikian, irama gerakan melodi tetap
mengakui akan kesatuan pada KuasaNya semata.
Hal itu, tentu menjadi keyakinan beragama
yang benar sehingga tidak buram dan mesti berbeda juga beragam agar penghuni
bumi tidak mesti bergondokan Siamang semua.
Wallahu a’lam.***