Buang Handuk

BUANG HANDUK. Menjelang Pilkada serentak, fenomena buang handuk sudah menggejala beberapa pekan terakhir ini. Dalam dunia politik, setidaknya Pilkada serentak yang dilaksanakan tahun 2024 telah menampakkan gejala beberapa bakal calon, baik balon bupati, balon walikota, maupun balon gubernur, terpaksa mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pertarungan (buang handuk). 

 

-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 06 Agustus 2024

 

Buang Handuk

 

Oleh: Usman Lonta

(Anggota DPRD Sulsel / Fraksi PAN)

 

Buang handuk acapkali digunakan oleh atlet dalam dunia olahraga. Frasa ini dijadikan ungkapan sebagai penanda bahwa atlet tersebut menyerah, tidak bisa lagi melanjutkan pertarungan.

Frasa buang handuk, tidak semata-mata digunakan dalam dunia olahraga, tetapi sudah memasuki juga dunia bisnis, dunia pendidikan, dan dunia politik.

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, fenomena buang handuk sudah menggejala beberapa pekan terakhir ini. Dalam dunia politik, setidaknya Pilkada serentak yang akan dilaksanakan 2024 telah menampakkan gejala beberapa bakal calon, baik balon bupati, balon walikota, maupun balon gubernur, terpaksa mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pertarungan (buang handuk).

Fenomena buang handuk tersebut setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor internal kandidat, yakni sulitnya memperoleh dukungan partai politik 20% dari total kursi, sebagai syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Rendahnya hasil survei kandidat yang bersangkutan, membuat mereka mengurungkan langkah untuk berburu ambang batas 20% tersebut, apalagi ditambah dengan mahalnya biaya politik yang akan digunakan pada saat Pilkada.

Kedua, faktor eksternal. Faktor ini sungguh di luar kendali kandidat, yaitu tingginya ambang batas syarat calon kepala daerah, dan adanya kandidat yang secara sadar dan sengaja melakukan aksi “memborong semua partai” hingga dirinya saja yang memenuhi syarat.

Sulitnya mendapatkan dukungan untuk memenuhi syarat minimal menjadi keluhan umum para kandidat. Fenomena saling sandera, saling begal partai, adalah hal yang tak terelakkan. Elit partai menunjukkan kuasanya secara sempurna, tanpa peduli terhadap isu dan harapan yang berkembang pada basis pemilih partai pada saat pemilihan umum dilaksanakan.

Buang handuk pada dunia olahraga dilakukan secara sadar oleh atlet dengan jiwa yang sangat lapang. Namun dalam dunia politik, buang handuk acapkali dilakukan dengan sangat terpaksa, bahkan dipaksa untuk berhenti, dipaksa oleh aturan, khususnya ambang batas minimum pencalonan.

Dipaksa berhenti oleh elit partainya dengan berbagai alasan. Alasan survey, pembiayaan, dan alasan kepentingan nasional.

Ada juga kandidat karena dipaksa oleh keadaan, yaitu habisnya  partai partai politik diborong oleh salah satu kandidat. Tidak memberi ruang kepada lawan tandingnya untuk berebut simpati masyarakat.

Jika dilakukan secara sadar dan sengaja, maka cara seperti ini adalah cara yang sangat tidak fair, tidak mendidik, bahkan bisa merendahkan harkat dan martabat manusia.

Coba bayangkan calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik berhadapan dengan kertas kosong yang dibuat oleh percetakan, betapa rendahnya harkat dan martabat kandidat tersebut dipersandingkan dengan kertas kosong.

Meskipun menang, orang akan menilai bahwa kemenangan tersebut tetap tidak terhormat karena lawan tandingnya tidak setara, apalagi kalau kalah, mungkin yang akan terjadi adalah buang muka setiap ketemu orang.

Saya tutup tulisan ini dengan sebuah tamsil, bahwa seringkali kita memperoleh banyak manfaat dari sebotol air mineral yang menghapus dahaga ketika kita dalam kehausan, dan seringkali pula kita celaka dengan air bah yang berlebihan karena berpotensi menenggelamkan kita. Ambillah secukupnya jangan berlebihan.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

Sungguminasa, 25 Juli 2024

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama