------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 25 Agustus 2024
CERPEN
Calon Bupati
Oleh: Asnawin Aminuddin
Di sebuah kota yang riuh oleh harapan,
Daeng Nappa’ telah menanam benih mimpinya sejak lama. Sosoknya yang sederhana
tapi penuh semangat, selalu hadir di tengah-tengah warganya.
Senyumnya yang tulus menghiasi setiap
sudut kota, tergambar dalam baliho-baliho yang tak terhitung jumlahnya, berdiri
tegak dari pasar hingga jalan raya. Wajahnya bukan lagi sekadar gambar, tapi
simbol harapan yang merasuk dalam hati setiap orang, dari yang tua hingga yang
muda.
“Daeng Nappa’ itu orangnya jujur dan
rendah hati,” bisik seorang ibu di pasar, sambil membandingkan harga cabai.
“Tidak seperti yang lain, dia selalu turun
langsung, mendengar kita,” tambah seorang bapak sambil menyusun sayur
dagangannya.
“Anak-anak saya pun suka dengan dia, hafal
dengan slogannya,” sahut seorang ibu muda sambil menimang bayinya.
Tidak ada sudut kota yang tidak disentuh
oleh langkah Daeng Nappa’. Ia hadir di pasar-pasar tradisional, mendengarkan
keluhan para pedagang kecil yang terhimpit oleh himpitan hidup.
Ia duduk di antara para petani, mendengar
setiap tetes keringat yang terjatuh ke bumi. Ia berbincang dengan nelayan,
merasakan getirnya kehidupan di tengah ombak yang tak menentu.
Di setiap tempat, Daeng Nappa’ selalu
membawa serta harapan, dan warga membalasnya dengan cinta serta keyakinan.
Dukungan baginya seperti air yang mengalir deras, dari ibu-ibu yang berkumpul
dalam arisan hingga para tokoh masyarakat yang dihormati. Namun, ketika waktu
pendaftaran Pilkada semakin dekat, awan gelap mulai bergelayut di langit
harapannya. Kabar buruk datang seperti badai yang tak terduga.
Partai-partai yang semula bersandar
padanya, yang menjanjikan dukungan penuh, tiba-tiba berubah haluan. Mereka
mengalihkan pandangan kepada seorang kandidat yang selama ini tak pernah
terlihat di tengah masyarakat. Sosok yang bahkan namanya tak pernah terdengar,
apalagi wajahnya yang tak pernah menghiasi baliho atau pamflet kampanye.
“Siapa dia? Kami bahkan tidak pernah
mendengarnya!” kata seorang pria paruh baya di warung kopi, dengan nada tidak
percaya.
“Bagaimana mungkin orang asing itu
tiba-tiba muncul dan diusung jadi calon?” tanya seorang pemuda dengan nada
kecewa.
“Ini pasti ada permainan uang di
baliknya,” timpal seorang pria lain, menggelengkan kepala.
Kandidat baru itu bagaikan angin yang
datang dari arah yang tak terduga, membawa “bekal” yang lebih besar dan
dukungan dari mereka yang berkuasa. Partai-partai, yang sebelumnya seolah
menjadi tembok kokoh bagi Daeng Nappa’, runtuh begitu saja.
Seperti daun kering yang tersapu angin,
mereka beralih kepada kandidat “beruang” itu. Daeng Nappa’ hanya bisa tersenyum
kecut, menyaksikan impian yang dirajut dengan susah payah selama
bertahun-tahun, hancur di hadapan kenyataan yang pahit.
Warga yang dulu begitu antusias
mendukungnya pun terperangah, tak percaya dengan apa yang terjadi. Mereka
bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin seseorang yang tak pernah mereka
lihat, tak pernah mereka dengar, tiba-tiba menjadi calon yang diusung?
Tapi itulah politik, dunia di mana angin
bisa berhembus ke arah mana saja, tergantung siapa yang bisa membayar lebih
mahal. Janji-janji yang dulu seindah pelangi, kini lenyap, tergantikan oleh
kenyataan yang pahit dan penuh kepalsuan.
“Apa boleh buat, mungkin bukan waktunya
Daeng Nappa’ sekarang,” kata seorang pria tua sambil menatap langit yang mulai
gelap.
“Tapi kita tahu, dia orang baik. Mungkin
nanti akan ada kesempatan lagi untuknya,” sahut yang lain, mencoba menenangkan
kekecewaan.
Dengan langkah yang perlahan namun pasti,
Daeng Nappa’ pulang ke rumahnya. Di tengah keremangan senja, ia duduk di
beranda, menatap langit yang mulai gelap. Dalam hatinya, ia merenung, mencoba
menerima kenyataan dengan hati yang lapang.
“Mungkin belum rezekiku kali ini,”
bisiknya pelan, sambil memandang jauh ke depan, ke arah masa depan yang masih
penuh misteri.
Saat itulah, Daeng Singara', istrinya,
duduk di sampingnya. Dengan senyum yang meneduhkan, ia berkata, “Kegagalan
bukanlah akhir dari perjalanan, Daeng. Mungkin kita hanya belum sampai di
persimpangan yang tepat. Kita masih punya waktu, masih punya harapan. Jangan
biarkan kenyataan hari ini membunuh mimpi-mimpimu. Ingat, langit tak selalu
mendung, pasti akan ada matahari yang terbit di esok hari.”
Meskipun harapan itu pupus, Daeng Nappa’ tetap teguh. Baginya, kekalahan bukanlah akhir dari segalanya. Ia tahu, di balik setiap kegagalan, ada hikmah yang tersembunyi, dan ia percaya, suatu hari nanti, kesempatan lain akan datang menghampirinya, memberi ruang untuk mimpi-mimpi baru yang akan ia rajut kembali, dengan semangat yang tak pernah padam.***