Jawa Dibuhulin Bahlil

Bung Bahlil yang lagi kasmaran berbuhulan di pohon beringin. Sesungguhnya, tidak semua orang Jawa mau dibuhulin dengan kedinastian, sebagaimana diocehin dan juga dilecehin. Dikarenakan, mereka juga sangat logis di dalam langgam berbudaya dan beragam dialektika bahasa yang berkromo inggil menjadi nilai rasa kesantunannya.

 

-------

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 24 Agustus 2024

 

Jawa Dibuhulin Bahlil

 

Oleh: Maman A. Majid Binfas

(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)

 

Dulu, saat kami masih SD di kampung, bila tahu orang asal dari Pulau Jawa, baik yang berdinas pemerintahan maupun penjual bakso hingga penukar besi rongsongan dengan balon mainan, kami memanggil mereka tersebut, dengan panggilan “Mas” semua kepadanya, tanpa membedakan status digelutinya. Pokoknya kalau berasal dari Pulau Jawa secara umum saja dipanggil Mas.

Pengantar singkat di awal tersebut, menjadi identik terekam di dalam memori kami, kalau dari Pulau Jawa, kami panggil “Mas” kepada yang laki-laki atau “Mba” yang perempuannya. Namun, setelah melancong di Jakarta, dan juga bagian ujung dari Pulau Jawa, ternyata tidak demikian, tetapi ada penggalan panggilan sesuai batas daerahnya masing masing.

Bahkan, orang Jawa Tengah dan Jawa Timur, bila mereka mau mudik lebaran atau pulang kampungnya, kalau ditanya mau pulang ke mana, akan dijawab ke Jawa. Saya pun heran, dan spontanitas berkomentar apa Jakarta bukan pulau Jawa.

Bahkan Jawa Barat pun, tidak mau dibilang orang Jawa, di samping, dikarenakan ada jejak sejarah tertanam membara hingga kini, tentang invasi Gadjah Mada, dan juga budaya serta bahasa justru membedakannya. Tidak terlalu heran, manakala di Jawa Barat tidak ditemukan nama jalan berbau Gadjah Mada, dan berbau Raja Majapahit.

Belum lagi, di pusat kerajaan Majapahit, di Yogyakarta, sekalipun berada di Jawa Tengah sama dengan Solo, termasuk bahasa daerahnya, namun masih ada perbedaaan corak budaya dan status kerajaannya, dan sekalipun dulu bersaudara.

Belum lagi, Jawa Timur dikenal dengan tulangnya pulau Jawa, dan corak budaya dan gaya dieleknya pun berbeda, antara Surabaya, Malang, hingga Lamongan, juga dengan yang lainnya, termasuk klaim pusat kerajaan Majapahit dan Mataram.

Jadi, Bung Bahlil Lahadalia agar kirannya tidak terjadi balelo dholalah/sesatan dalam mensuplai buhulan yang berdiksi kemungkinan agak lebih berkesan fiktif, maka eloknya membaca seksama ragam budaya kesantunan karakter langgam Jawa dan Indonesia seutuhnya.

Kalau soal diksi kekuasan dialamatkan ke Presiden menjadi raja dari Jawa dikesankan berdinasti, presiden yang mana dulu? Bung Karno tidak demikian, sekalipun Soeharto beroda paling lama hingga 32 tahun jadi presiden, itu juga tidak membangun kedinastian_tetap dinamakan demokrasi Pancasila, walau terkesan tidak demikian itu soal lain.

Apalagi, Presiden sesudah era reformasi, dan kalaupun mengenai kesan di partai masing-masing, seperti di partai pohon beringin yang bung naiki sekarang ini, itu soal buhulan lain, dan publik bisa dengan bebas menilainya secara demokratis pula akan arah anginnya.

Tinggal dua bulan lagi, akan berganti mata anginnya, dan mungkin presiden terpilih Prabowo, tidak akan meneruskan dinasti, sebagaimana buhulan yang didiksikan oleh bung Bahlil, dan telah membaca tanda juga asam garamnya negeri yang dicintainya.

Termasuk, batuk masuk kritikal di alamat padanya, tetapi sudah terbiasa, terpenting esensinya untuk membangun bangsa yang berkeadaban, dan logika kesantunan dipertahankan sebagai sumpah setia ditunaikannya.

Bahkan, kritik yang menohok pun, tidak masalah terpenting untuk kesadaran berbangsa yang maju beradiluhung tinggi, terbukti dua kali menjadi kandidat calon presiden pun dikritisi luar biasa, termasuk narasi media sosial menghajarnya, namun tetap tidak dendam, entahlah di kemudian hari setelah jadi presiden benaran, ... wallahu alam.

Dan, dua goresan berikut ini, mengenai Gibran, dan Jawa atau bukan.

 

Gibran Tak Mesti Disalahin

 

Goresan ini, hadir 25 Oktober 2023, sebelum penentuan Gibran jadi Wapres Prabowo, yakni, lebih kurangnya.

Tak mesti disentilin Gibran akibat dari dinastian _Logisnya, ia hadir dikarenakan ketakberdayaan political will kita di dalam berpanggung apa adanya. Namun, selama ini selalu saja dipertontonkan dagelan sandiwara kebohongan.

Kehadiran Gibran sebagai Cawapres berumur belia mesti bersyukuran, itu menjadi tamparan dahsyat kepada para pelakon politikalisasi transaksi money politic, selama ini. Termasuk, tamparan kepada Prabowo juga para lakon berwarisan ketuaan, dan pengamat politikalisasi negeri ini.

Gibran mestinya tidak disalahin, karena atas ketakberdayaan diri kita dong! Diksi ini, bukan berarti suporter Gibran loh! Soal memilih, itu nanti menjadi urusan rahasia di dalam hati bung! Tetapi, jatuh hati untuk pilihan tetap logis, bukan soal statuta Jawa atau bukan bung!

 

Jawa atau Bukan

 

Tak selamanya politik otak atik, lain di mulut juga hati, sekalipun memang demi uang semata yang berkuasa. Bahkan bisikan nurani tentang titah kuasa Tuhan pun diamputasi. Namun, tapak jejak demikian, mesti akan tercermin kepada karamnya dan keoknya Fir'aun di laut merah menjadi artefak mumian.

Dan itu hampa bisa dipungkiri akan rotasi kebahlulannya di dalam berkuasa pun bisa jadi mumian pula hingga jadi tapak artefak sejarah, baik atau buruknya dikenang.

Atau boleh jadi reinkarnasi runtuhnya kekuasaan raja-raja, sekalipun di Jawa dan juga belahan lain di dunia fauna kefanaan rimba kebahlulannya!

Bila telah berlebihan, maka ketiban bencana ketuban pun menjadi buah pantun “mulutmu juga harimaumu”. Hanya soal waktu saja bung, sekalipun gunung ganang bukan saja di Pulau Jawa bisa meletus dahsyat. Gunung Tambora di ujung Pulau Sumbawa pun meletus juga, konon karena ulah rajanya, dan begitu pula di titik nol khatulistiwa.

Jangan lebay terlalu buhulin,

Jawa atau bukan jua, manusia tetap sama juga berjiwa dan bernyawa!

Asal nuansanya tetap satu dari Adam Hawa, dan semua agama meyakininya demikian.

Terpenting, kini kita sama-sama kebyar-kebyar Indonesia Raya jadi harga mati, siapapun presidennya.

Dan, sebelum mengakhiri, supaya tidak menjadi buhulan berlarutan bung. Berikut ini, ada goresan ringkas, dan sebelum terakit goresan pembuka di atas. Sebenernya, pada awalnya, saya tak berminat untuk menggores mengenai bung Bahlil Lahadalia, dikarenakan ada kekhawatiran terjadi dholalah berlebihan buhulan.

Adapun, goresan ringkas berikut ini, hadir dua hari sebelum bung diaklamasikan menjadi ketua partai pohon beringin.

...

Super kebakhilan, kalian yang berkelahian, justru, orang lain yang dibuhulin di pohon beringin

Diksi ini jangan pula dikaitin dengan bung Bahlil yang dilantik jadi Menteri ESDM, dan kandidat Ketum Partai Golkar yang berlambang pohon beringin.

...

Jadi, Bung Bahlil yang lagi kasmaran berbuhulan di pohon beringin. Sesungguhnya, tidak semua orang Jawa mau dibuhulin dengan kedinastian, sebagaimana diocehin dan juga dilecehin. Dikarenakan, mereka juga sangat logis di dalam langgam berbudaya dan beragam dialektika bahasa yang berkromo inggil menjadi nilai rasa kesantunannya.

Wallahualam.

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama