KH Djamaluddin Amien (kiri) dan Maman A. Majid Binfas. |
-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 22 Agustus 2024
KH Djamaluddin
Amien, Sang Guru Ideologis Kami
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Dalam Media, 9/1990, Panji Masyarakat,
edisi nomor 660. Mendeskripsikan, topik “KH Djamaludin Amien: Panggil Saya Guru”,
dengan pengantar redaksi, yakni, dikutip apa adanya.
“Barangkali, beliau memang ‘guru’ yang
sungguhan. Dan masyarakat, khususnya di sekitar sekolah yang berlabel Islam
tetap menganggapnya begitu, KH. Djamaludin Amien, kelahiran Balanipa Sinjai, 60
tahun silam, tetapi tanggal dan bulan beberapa beliau lahir, tetap pertanyaan
yang sulit dijawab- nama yang amat populer di kalangan cendekiawan Muslim di
kota ini. Maklum, selain sebagai rektor Universitas Muhammadiyah Makassar,
sejak lima tahun lalu juga seorang cendekiawan muslim/ulama yang sangat laris
-namun, beliau lebih suka menyebut dirinya; menyebarluaskan syiar Islam.”
Terlepas dari pengantar redaksi di atas,
ketika itu di tahun 1990, penggores narasi ini, masih semester VI juga
sangat gondrong dan jadi aktivis mahasiswa. Suatu ketika, ada kajian tafsir
oleh beliau untuk dosen di kampus, saya mencoba ikutan kajian, saat beliau
membahas ayat berkaitan keteladanan Nabi, __ beliau dengan gaya khas
menjelaskan nan tajam dan dalam sembari berdiri, dan menengok ke
saya dengan singkat.
Lalu, berkata sambil fokus melihat
tulisannya di papan ... ini juga nanda Maman gondrong... sambil menarik napas
terdalam , ... iya sudahlah! Awalnya, semua peserta kajian mau ketawa, tetapi
beliau faham karakter saya, beliau hanya melanjutkan penjelasan kajian tafsir.
Cara bijak beliau di dalam menegur pun,
mendidik dengan lembut penuh cinta tanpa menyakiti, namun berkesan di hati dan
pikiran.
Kenangan nan indah itu, masih saja
terngiang menawan bukan sebagai lucid dream/mimpi sadar membayangi hampa
terlupakan guna berkaca dan juga untuk membaca diri.
Siapa aku, juga kau, dan engkau //dari A
sampai Z hingga tiada berhingga//agar tahu diri sehingga tidak sesatan!
Menjadi ideologis kesilumanan pun dihalalin guna melolosin ambisi buhulan an
sich.
Sang Guru Ideologis Kami
Tanpa bisa dipungkiri memang beliau Sang Guru
ideologis religiusku, sekalipun , saya tak mungkin terlalu beranikan diri untuk
mendiksikan beliau sebagai Bapak secara disinonim menjadi
bagian akronimnya.
Dikarenakan, saya masih ada rasa
khawatirin yang membayangi, akan kelakuanku yang dapat menodai pesan dan citra beliau.
Terutama, keyakinan beliau yang sangat
dalam tentang hakikat religius ideologis yang menjadi mata hati dan batin
kepribadiannya.
Beliau adalah sang guru ideologis religius
yang cemerlang dan gemilang, sangat menghargai dan dihargai di dalam melayani
anak didiknya dengan penuh kasih sayang.
Namun, tetap tegas dan lugas di dalam
menegakkan aturan dengan bijaksana. Namun, tidak kaku dan beku bah logika
mesin diesel di dalam tindakan, dan tetap lentur apa adanya, _berdasarkan
kondisi yang mencerahkan. Tentu, tetap mengedepankan rasa kasih sayang di daĺam
melayani anak didik dengan dimensi cinta kemanusiaan bah anak sendiri
hingga menjadi manusia berguna, sebagaimana dipesankan oleh agama yang diyakini
dan cintainya.
Guru Tercinta
Tiba tiba rindu terngiang
Kembali tercenung pikiran melancong hadir
untuk dikenang
mungkin kesan bah pesan agar tidak lancang_
Lalu, kucari tautan cinta yang tulen dan
tulus membina
guna dibaca kembali, tentang goresan
Guruku tercinta.
Goresan Cinta, dapat dibaca pada link
https://www.pedomankarya.co.id/2022/12. Tertanggal 19/12/2022, Pedoman Karya,
memuat goresan saya, “Kiai, ternyata Aku Mencintaimu”. Dan penggalan, yakni
sebagai berikut.
Wajar, memang perbuatan apapun dilakukan
dengan tulus ikhlas, dan rasa cinta karena Allah semata, tentu akan dan mesti
diingat tanpa bisa dipungkiri oleh siapapun.
Tanpa Mengada-ada
Mungkin alangkah eloknya, dan
goresan kenangan, ini hadir beberapa hari setelah saya mendengar beliau
wafat, saat saya masih S3 di Universiti Kebangsaan Malaysia. Bertopik “KH
Djamaluddin Amien Tanpa Mengada-ada” (18/11/2014). Goresan kerinduan ini, masih
mungkin relefan untuk dimunculkan kembali sebagai wujud masih ada kerinduan,
sekalipun bukan sebagai lucid dream terbayangi;
KH Djamaluddin Amien Tanpa Mangada Ngada
Engkau tampil apa adanya tanpa mengada
ngada, memang pantas jadi teladan. Sesuai kau wasiatkan ikuti aturan Allah _dan
sunnah Rasulullah
Kau tampil apa adanya tanpa mengada ngada
memang pantas jadi teladan
Walau, engkau boleh melebihi bah kebiasaan
orang lain, namun engkau tak mau, dulu hingga maut menjemputmu
Engkau masih setia tampil apa adanya tanpa
mengada ngada, bah sedia kala
Membuat kami semakin kagum padamu penuh
salam rindu ‘kan senyum serta siraman rohani darimu
Kau tampil apa adanya tanpa mengada ngada,
memang pantas jadi teladan
senyum tak pernah padam, juga pesanmu
mekar terekam ke dalam sumsum jiwa berkalam
Kau tampil apa adanya tanpa mengada ngada,
memang pantas jadi teladan
walau, engkau bukan nabi, sehingga kami
tak boleh terlampau kagum tergenggam. Namun, kami yakin, nicaya engkau
penyambut kalam para nabi-nabi
Engkau tampil apa adanya tanpa mengada
ngada, memang pantas jadi teladan
Engkau tegas dan kukuh dalam pendirian,
namun bijak dalam memutuskan persoalan
Engkau tampil apa adanya tanpa mengada
ngada, memang pantas jadi teladan, adalah guru panutan
Engkau orang tua pencita sungguh rasa
sayang, juga jadi teman setia terdepan ringan membantu
Engkau pimpinan pengayom penuh perhatian,
tanpa pilih kasih sayang
Engkau mahaguru menanam benih mata mutiara
sejati, pahlawan sungguh mesti dikenang, tiada lekang pena berpinang
Kampus Unismuh tala’salapang ini, kalau
bukan kepemimpinan engkau bersama nan lainnya, 'kan masih setia di Ranggong dan
Mappaoddang
Jasadmu boleh terkubur, tetapi jiwa roh
jasamu tetap tumbuh subur
Wahai guruku, kami mesti kenang tiada
berhingga !
Pesan Cinta Mesti Dikenang
Jadi, masalah kenang masa lalu
berhingga kini, mungkin orang lain boleh berbeda rasa dan pilihan, tergantung
kadar tingkat kepentingan masing-masing. Namun, bagi yang berhati tulus soal
kenang yang berhati tulus pula, adalah sebagai jejak mesti diajak secara bijak
menjadi pelajaran berharga di dunia maupun di akhirat kelak.
Kalaulah ada yang kurang seirama ya
terimalah sebagai rahmat. Bahwa sesungguhnya, domain rasa perbedaan juga adalah
sebagai hikmah pelajaran dan pada titik nadir Tuhan akan menilainya. Termasuk,
esensi kehadiran cinta sejati yang bergelora di dalam lubuk sanubari insan yang
beriman pun boleh berbeda esensi tafsirannya.
Termasuk, mengenai pesan ketulusan yang
luhur dari para tokoh Persyarikatan Muhammadiyah, di antaranya:
KH AR Fachruddin: Islam itu indah dan
cantik. Kemudian, KH. Djamaluddin Amien (2013): Layani dengan kasih
sayang. Selanjutnya, Prof A Malik Fadjar (2013): Jangan Berkelahi di
Persyarikatan.
Apalagi hanya logika seputar puntung
rokok, dan recehan kong kalikongan _ rebutan jabatan.
Bila diamanahi suatu pekerjaan, maka
selesaikan pekerjaan kalian dengan lillah, tidak saling menghalangi dan jauhi
permusuhan antara sesama insan kader.
Pesan butiran cinta dari akar hati
terdalam di atas ini, adalah hasil wawancara dengan beliau,__untuk Disertasi
kami tahun 2013, tentang Budaya Pengelolaan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan
NU.
Walau'alam