-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 14 Agustus 2024
Obrolan Daeng
Tompo’ dan Daeng Nappa’:
Kursi Kekuasaan
dan Ibukota Baru
“Ada ceritaku. Mauki’dengarki?” kata Daeng
Tompo’ kepada Daeng Nappa’ saat ngopi sore menjelang magrib di teras rumah
Daeng Nappa’.
“Cerita apa?” tanya Daeng Nappa’.
“Cerita tentang kursi kekuasaan dan
ibukota baru,” jawab Daeng Tompo’.
“Oke, ceritamaki’,” kata Daeng Nappa’.
“Di sebuah negeri antah berantah, hiduplah
seorang penguasa yang sangat mencintai kursinya. Kursinya sangat empuk. Tidak
hanya kursi di kantornya yang empuk, tapi juga kursi kekuasaan yang ia duduki
selama bertahun-tahun,” Daeng Tompo’ memulai kisahnya.
“Lanjut,” ujar Daeng Nappa’.
“Suatu hari, sang penguasa mendadak
mendapat ide cemerlang. Aku akan memindahkan ibukota negara ke tempat yang
lebih dekat dengan kursiku, pikir sang penguasa. Ia pun mengumumkan niatnya itu
kepada seluruh rakyat, tapi jangankan mendapat pujian, yang didengar sang
penguasa hanyalah keluhan dan penolakan,” Daeng melanjutkan kisahnya.
“Lanjut,” ujar Daeng Nappa’.
“Rakyat protes. Mengapa harus dipindahkan?
Ibukota sekarang sudah cukup baik! Jangan buang uang rakyat untuk hal yang
tidak perlu! Tapi penguasa hanya tersenyum, merasa dirinya lebih tahu apa yang
terbaik untuk negeri. Ketika demonstrasi besar-besaran meletus di seluruh
penjuru negeri, penguasa tetap tenang. Raja mengatakan, mereka, rakyat tak
paham, keputusan ini untuk kebaikan mereka sendiri. Penguasa pun menandatangani
perintah pemindahan ibukota,” tutur Daeng Tompo.’
“Lanjut,” ujar Daeng Nappa’.
“Waktu berlalu, ibukota baru pun dibangun
megah di atas tanah yang jauh dari rakyat, tapi dekat dengan kursi kekuasaan
sang penguasa, tapi anehnya, setiap kali penguasa itu duduk di kursinya, ia
merasa ada yang kurang nyaman. Rakyat yang dulu setia mendukungnya, kini tak
lagi hadir di sekitarnya. Mereka enggan berpindah ke ibukota baru, tetap
tinggal di kota lama, di tempat yang dekat dengan hati mereka,” lanjut Daeng
Tompo’.
“Bagaimana akhir ceritanya?” tanya Daeng
Nappa’.
“Akhir ceritanya, sang penguasa pun
menyadari, bahwa meski ia berhasil memindahkan ibukota, ia tak pernah bisa
memindahkan hati rakyat. Dan tanpa hati rakyat, kursinya yang empuk itu
tiba-tiba terasa sangat keras,” Daeng Tompo’ menutup ceritanya.
“Ceritanya mirip-mirip dengan kisah nyata
di sebuah negara,” ujar Daeng Nappa’ sambil tertawa dan keduanya pun
tertawa-tawa. (asnawin)