Benteng Ka'ab bin Ashraf, di Kota Khyber, Arab Saudi. (int) |
-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 04 Agustus 2024
KISAH
Matinya Penyair
Yahudi Ka’ab bin Al Arsraf
Ka’ab bin Al Asyraf adalah seorang Yahudi
yang paling keras memusuhi Islam dan kaum muslimin, paling keras gangguannya
kepada Rasulullah ﷺ dan menyerukan untuk memerangi beliau.
Ka’ab bin Al Asyraf berasal dari kabilah
Thai' dari bani Nabhan, dan ibunya dari bani Nadhir. Ia adalah seorang yang
kaya raya, di kalangan orang-orang, terkenal dengan ketampanannya dan juga
seorang penyair. Bentengnya terletak di sebelah tenggara Madinah di belakang
perkampungan Bani Nadhir.
Ketika pertama kali mendengar berita
tentang kemenangan kaum muslimin dan terbunuhnya para pemimpin Quraisy di Badar
ia berkata; “Apakah berita ini benar? Mereka itu adalah para pemimpin
orang-orang Arab dan raja manusia. Demi Allah, seandainya Muhammad dan para
sahabatnya berhasil menundukkan mereka, perut bumi ini sungguh lebih baik dari pada
punggungnya.”
Tatkala kebenaran berita tersebut sudah
dapat dipastikan, musuh Allah tersebut tergerak untuk mencaci Rasulullah ﷺ dan
kaum Muslimin, memuji musuh-musuh kaum Muslimin, dan membangkitkan mereka untuk
memusuhi kaum Muslimin.
Ia tidak puas dengan sekadar berbuat
seperti itu, sehingga ia pun mendatangi orang-orang Quraisy dan singgah di
tempat Al Muthalib Bin Abi Wada'ah ah Sahmi. Di sana ia mengalunkan syair-syair
ratapan para korban Badar dari kaum musyrikin yang dimasukkan ke dalam sebuah
sumur badar.
Dengan demikian ia dapat membangkitkan
kemarahan anak cucu mereka dengan kedengkian mereka terhadap Nabi ﷺ, serta
mengajak mereka untuk memeranginya.
Ketika berada di Mekah, Ka'ab ditanya oleh
Abu Sufyan dan kaum musyrikin; “Mana yang lebih engkau sukai, agama kami atau
agama Muhammad dan para sahabatnya? Dan manakah yang benar jalan kami ataukah
Muhammad dan para sahabatnya?”
Ka’ab menjawab; “Kalianlah yang lebih
benar jalannya dan lebih baik.”
Kemudian turunlah firman Allah ta’ala; “Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al Kitab? Mereka
percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang
beriman.” (Surah An-Nisa' 4:51)
Kemudian Ka’ab kembali ke Madinah dalam
keadaan demikian. Di dalam syair-syairnya mulai berani merayu-rayu istri-istri
para sahabat dan menyakiti para sahabat dengan kelancangan lidahnya yang keras.
Ketika itulah Rasulullah ﷺ berkata,
“Siapakah yang bersedia membunuh Ka'ab bin Al Asyraf? Sungguh ia telah
menyakiti Allah dan Rasulnya.”
Maka Muhammad bin Maslamah bangkit dan
mengatakan, “Saya, wahai Rasulullah. Apakah Engkau suka apabila saya
membunuhnya?”
“Ya,” jawab Beliau.
Muhammad bin Maslamah mengatakan, “Ijinkan
aku mengatakan sesuatu (kepadanya).”
“Katakanlah,” sahut Beliau.
Rasulullah ﷺ mengizinkan Muhammad bin
Maslamah mengatakan apa saja yang ia ingin katakan kepada Ka’ab bin Al Ashraf.
Muhammad bin Maslamah kemudian mendatangi
Ka'ab bin Al Ashraf dan mengatakan, “Orang itu (yakni Muhammad ﷺ ) meminta
shadaqah kepada kami. Dia sangat memberatkan kami.”
Ka'ab berkata: “Rupanya, engkau telah
bosan kepadanya.”
Muhammad bin Maslamah berkata, “Kami telah
mengikuti dia, dan kami tidak ingin meninggalkannya sampai kami melihat sendiri
bagaimana akhir persoalannya nanti. Kami menginginkan engkau bersedia memberi
pinjaman kepada kami satu atau dua wasaq (satu wasaq kurang lebih sama dengan
60 gantang).”
“Baiklah tetapi engkau harus memberikan
barang jaminan kepadaku,” jawab Ka’ab.
Muhammad bin Maslamah berkata, “Jaminan
apa yang kau inginkan?”
“Berikanlah istri-istri kalian kepadaku
sebagai jaminan,” jawab Ka’ab.
Muhammad bin maslamah berkata, “Bagaimana
mungkin kami menyerahkan istri-istri kami, sementara engkau adalah orang yang
paling tampan.”
“Kalau begitu, aerahkanlah anak-anak
kalian kepadaku,” sahut Ka’ab.
Muhammad bin Maslamah berkata, “Bagaimana
mungkin kami menyerahkan anak-anak kami sebagai jaminan. Mereka akan mencela
karena digadaikan dengan satu atau dua wasaq. Ini adalah aib bagi kami. Kami
akan menyerahkan senjata saja kepadamu sebagai barang jaminan.”
Selanjutnya Muhammad bin Maslamah berjanji
akan datang lagi kepada Ka'ab. Abu Na'ilah juga melakukan seperti apa yang
dilakukan oleh Muhammad bin Maslamah.
Dia mendatangi Ka’ab bin Al Ashraf dan
mengalunkan beberapa syair sejenak, lalu berkata, “Wahai Ibnul Ashraf, aku
datang kepadamu untuk suatu keperluan. Aku akan mengatakannya hanya kepadamu,
tetapi rahasiakanlah.”
Ka’ab menjawab, “Baik akan kurahasiakan.”
Abu Nailah berkata, “Kedatangan orang itu
(yakni kedatangan Muhammad ﷺ di Madinah) membawa bencana bagi kami. Kami
dimusuhi oleh orang-orang Arab, kami diisolasi, kami hidup serba susah,
sehingga kami dan keluarga harus bekerja membanting tulang.”
Selanjutnya saling dialog seperti dialog
antara Ka'ab dan Muhammad bin Maslamah.
Di sela-sela pembicaraannya itu, Abu
Nailah mengatakan, “Sesungguhnya aku bersama para sahabatku yang sependapat
dengan aku. Aku ingin membawa mereka kepadamu, lalu engkau memberi mereka yang
berlaku baik dalam hal tersebut.”
Dalam dialog tersebut Muhammad bin
Maslamah dan Abu Naila telah berhasil mencapai apa yang diinginkannya. Karena
setelah dialog tersebut Ka'ab tidak mencurigai senjata dan para sahabat yang
mereka bawa.
Pada malam bulan purnama, malam ke-14 dari
Bulan Rabiul Awal Tahun ke-3 Hijriyah, tim tersebut berkumpul menghadap
Rasulullah ﷺ, beliau kemudian mengantar mereka sampai ke Baqi’ Gharqad.
Rasulullah lalu mengarahkan mereka dengan
mengatakan, “Berangkatlah atas nama Allah. Ya Allah, tolonglah mereka.”
Setelah itu beliau pulang dan terus
melakukan shalat dan bermunajat kepada Rabbnya.
Tim itu pun tiba di benteng (tempat
tinggal Ka'ab bin Al Ashraf). Abu Na'ila kemudian memanggilnya, dan Ka'ab pun
bangkit untuk mendatangi mereka.
Istrinya berkata, “Mau kemana pada saat
seperti ini? Aku mendengar seperti suara yang dapat meneteskan darah.”
Ka’ab berkata, “Ia adalah saudaraku,
Muhammad bin Maslamah, dan saudara susuku Abu Na’ilah. Sesungguhnya orang yang
mulia itu apabila dipanggil untuk bertempur, pasti bersedia menghadapinya.”
Kemudian ia keluar menemui mereka dengan
pakaian yang harum semerbak.
Abu Na’ilah telah berkata kepada para sahabatnya, “Apabila ia telah datang, aku akan membelai rambutnya dan menciumnya. Dan apabila kalian melihat aku telah dapat memegang kepalanya, renggutlah dan bunuhlah dia.”
Ka’ab pun datang menghampiri mereka dan
berbicara sejenak, kemudian Abu Na'ilah berkata, “Wahai Ibnu Ashraf, bagaimana
kalau kita berjalan-jalan di jalanan kampung untuk berbincang-bincang
menghabiskan malam-malam kita?”
“Baiklah jika kalian menghendaki,” jawab
Ka’ab bin Asyraf.
Mereka kemudian keluar untuk
berjalan-jalan. Di tengah perjalanan Abu Nailah berkata, “Aku belum pernah
melihat engkau seharum pada malam ini.”
Ka’ab bangga mendengar pujian seperti itu,
dan ia berkata, “Aku mempunyai parfum wanita-wanita Arab.”
Abu Na’ilah berkata, “Bolehkah aku mencium
kepalamu?”
“Boleh,” jawab Ka’ab.
Abu Na’ilah kemudian membelai kepala
rambut Ka'ab dan menciumnya, demikian pula para sahabatnya.
Kemudian berjalan sejenak, lalu berkata,
“Bolehkah aku mengulanginya lagi?”
“Silahkan,” jawab Ka’ab.
Abu Na'ilah pun membelai rambutnya, dan
tatkala sudah dapat memegangnya, ia
berseru, “Renggutlah musuh Allah ini!”
Seketika itu juga pedang-pedang mereka
merenggutnya tetapi tidak memberikan manfaat sedikit pun.
Lalu Muhammad bin Maslamah mengambil
sebilah pedang dan dia letakkan di bagian bawah perut lalu dia tekan sampai
menembusnya. Ka’ab pun terkapar dan mati seketika.
***
Editor: Asnawin Aminuddin
Kisah ini dikutip dari Buku: “Sirah
Nabawiyyah - Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW”, karya Syekh Abdul Hasan Ali Al
Hasani An Nadwi.