Merindukan Masjid Ramah Musafir

RAMAH MUSAFIR. Masjid Al-Falah,  di Jl. Raya Sukowati, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, membuka warung makan rakyat (WMR) untuk menyuguhakan makanan gratis kepada jemaah dan pengunjung. (Foto: Tri Rahayu / Solopos)

 

-----

Kamis, 08 Agustus 2024

 

Merindukan Masjid Ramah Musafir

 

Oleh: Syarifuddin Liwang


 

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Seorang Arab Badui memasuki masjid, lalu ia kencing di dalamnya. Maka para muslim datang untuk membunuhnya. Nabi SAW bersabda, ‘Biarkan dia, karena ia tidak mengetahui’. Kemudian beliau memanggilnya dan berkata kepadanya, ‘Ini adalah masjid Allah, dan tidak halal untuk kencing di dalamnya. Jika engkau terdesak, maka kencinglah di sudut yang tersembunyi’. Maka ia kencing di sudut yang tersembunyi.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kisah ini mengajarkan kebijakan dan kasih sayang Rasulullah. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menunjukkan sikap kebijaksanaan dan kasih sayang kepada orang Arab Badui yang tidak mengetahui ajaran Islam. Nabi tidak marah dan tidak menghukumnya, melainkan menjelaskan kepadanya bahwa kencing di masjid adalah perbuatan yang dilarang.

Hadits ini seharusnya bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi pengurus masjid agar bisa menjadikan masjid yang dikelolanya menjadi masjid yang ramah kepada para musafir, karena masjid bisa menjadi tempat persinggahan sesaat bagi para musafir.

Keberadaan masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah shalat bagi masyarakat sekitar saja, akan tetapi juga memberikan keramahan bagi para musafir. Tentu pengelolaan masjid yang ramah terhadap kebutuhan musafir ini dapat memastikan dirinya sebagai masjid, selain difungsikan sebagai pusat kegiatan ibadah ritual, juga dapat difungsikan sebagai pusat melaksanakan ibadah muamalah yang bersifat sosial.

Kita perlu belajar dari Rasulullah  Shalallahu alaihi wasallam yang pernah menjadikan masjid sebagai sentra utama seluruh aktivitas keumatan, baik untuk kegiatan pendidikan yakni tempat pembinaan dan pembentukan karakter sahabat, maupun aspek-aspek lainnya, termasuk politik, strategi perang, hingga pada bidang ekonomi, hukum, sosial, dan budaya.

Rifa’i dan Fakhruroji dalam karyanya pernah menyebut bahwa masjid bukan sekadar tempat sujud sebagaimana makna harfiahnya, tetapi memiliki beragam fungsi (2005).

Masjid juga dapat dipahami sebagai bagian sarana dakwah yang paling penting. Sutarmadi dan Abas al-Jauhari, dalam karyanya berjudul “Masjid: Tinjauan al-Qur’an, As-Sunnah, dan Manajemen”, pernah memberikan penjelasan bahwa pertama kalinya risalah Allah dan agama Islam menyebar ke seluruh dunia ketika Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam tiba di Madinah (hijrah) setelah terselamatkan dari kejaran orang Quraisy.

Sementara tindakan pertama yang dilakukan adalah membangun masjid an-Nabawi Al-Syarif. Tindakan Nabi ini menunjukkan bahwa masjid masa itu juga dijadikan sebagai pusat kegiatan Islam, forum tempat berkumpul kaum beriman. Tanpa masjid, niscaya dakwah tidak akan berjalan (2001:59).

Keberadaan masjid sejatinya juga dapat berfungsi sebagai pusat aktivitas dan interaksi masyarakat, maka masjid, khususnya masjid yang berada pada posisi strategis sebagai tempat rujukan para musafir berkebutuhan, dapat memberikan layanan sosial lain seperti menyediakan lahan parkir, kamar mandi, atau toilet yang memadai, tempat peristirahatan sementara, serta fasilitasi lain seperti sarana kantin kejujuran,

Ini merupakan bentuk layanan yang bisa diberikan oleh pengurus masjid, sehingga dapat memberikan manfaat besar bagi para musafir.

 

Masjid Al-Falah dan Masjid Jami’ Nurul Huda

 

Contoh real tentang masjid ramah musafir, telah ditampilkan di beberapa masjid yang memiliki daya keramahan musafir, seperti Masjid Al Falah di Sragen, Jawa Tengah.

Konon, masjid ini menjadi rujukan para musafir, sehingga masjid ini disebut-sebut masyarakat sebagai masjid yang paling ramah terhadap musafir. Setiap musafir yang sempat singgah untuk beristirahat di tempat ini, juga disediakan kasur dan makanan, layaknya beristirahat di sebuah penginapan.

Hal serupa juga dapat dilihat pada aktivitas Masjid Jami’ Nurul Huda di Kelurahan Silaiang Bawah, Kecamatan Padang Panjang Barat, Kota Padang Panjang, yang sempat menjadi buah bibir. Bukan karena bentuknya yang megah, akan tetapi masjid ini memberikan pelayanan kepada setiap musafir yang mampir.

Ada banyak fasilitas dan layanan yang diberikan kepada musafir, di antaranya tempat menginap bagi para musafir yang melintasi dan singgah di Kota Padang Panjang untuk menuju daerah tujuan.

Keberadaan masjid-masjid yang ramah terhadap para musafir semacam ini perlu diapresiasi dan menjadi inspirasi terhadap pengelolaan masjid-masjid lain, khususnya bagi masjid yang memiliki posisi strategis sebagai jalur perlintasan para musafir, sehingga masjid yang ramah musafir ini dapat menjadi bagian pilihan terbaik bagi musafir.

Tentu selain untuk memenuhi kebutuhan bagi musafir, juga dapat memastikan para musafir yang beragama Islam dan sedang dalam perjalanan, termasuk dalam tujuan berwisata tidak mengabaikan kewajiban dalam beribadah.

Masjid yang ramah kepada musafir akan menjadi makmur dan ramai jamaahnya karena para musafir secara tidak langsung menjadi marketing atau iklan gratis bagi masjid tersebut, sehingga masjid itu semakin dikenal oleh umat bahkan bisa menjadi viral di sosial media.***

 

Hotel Arthama Makassar, Rabu, 07 Agustus 2024 / 02 Shafar 1446 H

 

.......

Penulis: Syarifuddin Liwang, adalah Founder Posko Yatim, Pengasuh Majelis Syarifiyah, Ketua Forum Komunikasi Jamaah Masjid, Pembina Ikatan Da’i Muda Indonesia (IDMI), Pembina IKDASUL,Wakil Ketua PPMI Sulsel dan Sekum DPP Ikatan Penulis Muslim Indonesia (IPMI)

 

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama