-------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 22 Agustus 2024
Pilpres Curang, Pemilu Buruk, Quo Vadis
Indonesia?
Oleh: Asnawin Aminuddin
Narasi-narasi kurang sedap bermunculan
pada Pemilu 2024. Ada narasi “Pemilu curang,” “Pilpres curang,” “Pemilu penuh kecurangan,”
“Tolak Pemilu curang.” Ada narasi “Pemilu 2024 Terburuk Sepanjang Sejarah”. Ada
juga narasi “Kami tidak ingin dipimpin presiden dari hasil pemilu curang.”
Narasi-narasi itu tentu saja membuat
kening kita berkerut. Kita sedih. Kita prihatin. Mengapa muncul narasi-narasi
kurang sedap tentang Pemilu 2024 dan Pilpres 2024?
Narasi-narasi itu bahkan sudah muncul
sebelum Pemilu, 14 Maret 2024, setelah melihat adanya indikasi kecurangan,
adanya cawecawe Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024.
Narasi itu muncul setelah dipaksakannya
Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres dari Prabowo. Usia Gibran belum genap
40 tahun, tapi Mahkamah Konstitusi kemudian mengubah aturan Pasal 169 huruf q
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan, calon
presiden dan calon wakil presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh).
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman
saat membacakan putusan MK mengatakan; “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum yang menyatakan, ’berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun’
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40
(empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui
pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’.
Maka muncullah narasi kurang sedap yang
menyatakan, “Anak Kecil Dipaksa jadi Cawapres, Bahaya untuk Bangsa”, dan banyak
lagi lainnya.
Sejatinya kita tidak ingin muncul narasi
kurang sedap tentang Pemilu, apalagi tentang Pilpres. Kita menginginkan narasi
yang enak didengar. Sayangnya, keinginan itu hanya jadi kerinduan. Entah kapan
narasi yang enak didengar itu muncul kembali.
Narasi kurang sedap mulai bermunculan
ketika Presiden Jokowi diusulkan bisa maju sebagai calon presiden untuk periode
ketiga berturut-turut. Tetapi narasi ini gagal karena terkendala aturan.
Pada dasarnya --dalam sistem politik di Indonesia--
Presiden hanya diperbolehkan menjabat untuk dua periode berturut-turut, sesuai dengan
amendemen konstitusi yang dilakukan pada 2002 setelah era pemerintahan Soeharto
yang panjang.
Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk
mencegah konsolidasi kekuasaan yang berlebihan. Jadi, jika ada usulan atau
upaya untuk memungkinkan seorang presiden kembali untuk periode ketiga
berturut-turut, itu kemungkinan akan bertentangan dengan konstitusi dan aturan yang
berlaku.
Oleh karenanya, jika ada usulan semacam
itu, pasti akan ada kendala atau hambatan hukum yang harus diatasi terlebih dahulu,
sebelum hal tersebut bisa direalisasikan.
Gagal dengan usulan presiden bisa dipilih
tiga periode berturut-turut, lalu dimunculkanlah usulan Presidan Jokowi
diperpanjang masa jabatannya sebagai presiden, dengan berbagai alasan yang
seolaholah masuk akal. Tetapi usulan itu ditolak karena bertentangan dengan
aturan.
Usulan untuk memperpanjang masa jabatan
seorang presiden di Indonesia tentu akan menuai banyak perdebatan dan
pertentangan. Ini karena hal tersebut akan bertentangan dengan konstitusi yang mengatur
masa jabatan presiden hanya untuk dua periode berturutturut. Melanggar aturan
semacam itu bisa membuka pintu untuk krisis konstitusional dan merusak
stabilitas politik negara.
Jika ada usulan semacam itu, tentu akan
muncul penolakan dari berbagai pihak, baik dari masyarakat umum, partai
politik, maupun lembaga-lembaga terkait seperti Mahkamah Konstitusi. Dalam konteks
tersebut, penolakan atas usulan tersebut akan didasarkan pada konsistensi
terhadap aturan dan prinsip-prinsip demokrasi.
Paman Usman
Gagal dengan usulan perpanjangan masa
jabatan presiden, Presiden Jokowi kemudian memaksakan anaknya, Gibran jadi
cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto. Padahal usia Gibran belum genap
40 tahun, sebagai batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.
Presiden Jokowi memang tidak melakukannya
secara langsung. Pemaksaan itu dilakukan dengan cara diajukannya gugatan oleh mahasiswa
Universitas Surakarta, Almas Tsaqibbirru. Kemudian Mahkamah Konstitusi
mengabulkan gugatan tersebut yang akhirnya KPU meloloskan Gibran jadi Cawapres
berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Dampak dari putusan MK tersebut, Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kemudian memberhentikan Anwar Usman selaku
Ketua MK, karena melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa
Hutama. Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan
Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.
Dalam proses gugatan hingga putusan MK
yang membolehkan Gibran maju sebagai cawapres, muncullah banyak narasi kurang
sedap, karena Anwar Usman adalah ipar dari Jokowi dan secara otomatis adalah
paman dari Gibran Rakabuming Raka. Narasi kurang sedap itu antara lain “Paman
Usman” dan “Di MK ada Paman Usman.”
Menjelang pemilu, muncul lagi kontroversi
dari Presiden Jokowi. Ia menyatakan terdapat aturan yang mengatur seorang
presiden boleh memihak kepada kandidat calon presiden dan wakil presiden dalam
pilpres. Jokowi menambahkan bahwa seorang presiden juga diperbolehkan
berkampanye, yang penting tidak menggunakan fasilitas negara.
Maka lagi-lagi bermunculan berbagai narasi
kurang sedap, yang sungguh tidak mengenakkan didengar dan sangat tidak nyaman untuk
dibaca.
Hasil pilpres kemudian dinilai oleh banyak
pihak penuh dengan kecurangan. Bahkan sebanyak 100 tokoh bangsa menyatakan menolak
bersama-sama hasil penghitungan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Mereka
menilai kontestasi politik itu penuh dengan kecurangan yang terstruktur,
sistematis, dan masif (TSM).
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP)
Muhammadiyah Din Syamsuddin memimpin pembacaan sikap tokoh-tokoh bangsa
tersebut di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu, 21 Februari 2024.
Ia mengatakan, “Kami dengan penuh
kesadaran dan keyakinan menolak hasil pemungutan dan perhitungan suara pilpres
yang sedang berlangsung dan kelanjutannya,”
Para tokoh bangsa itu juga menyatakan,
pelaksanaan Pilpres 2024 telah menyimpang. Khususnya dari ketentuan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku, serta etika politik berdasarkan agama dan
budaya bangsa, khususnya prinsip kejujuran dan keadilan.
Dasar sikap tersebut diklaim karena
mencermati penyelenggaraan Pilpres 2024, mulai dari jelang tahapan hingga
penayangan hasil quick count serta real count Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Jika kemudian pasangan Prabowo Subianto
dan Gibran Rakabuming Raka yang dinyatakan keluar sebagai pemenang Pilpres 2024
dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 2024-2029, mau dibawa
ke mana Indonesia? Quo vadis Indonesia? ***