----'
PEDOMAN KARYA
Senin, 19 Agustus 2024
Puisi Tanpa
Misteri, Hanyalah Pemborosan Kata-kata
Oleh: Mahrus Andis
Karya sastra yang berkualitas sudah pasti
mengandung nilai misteri. Tidak terkecuali puisi. Sebuah puisi yang ditulis
tanpa mengusung nilai misteri, sebut saja sebagai bentuk pemborosan kata-kata.
Misteri dalam karya sastra, khususnya puisi, adalah “sesuatu yang aneh” dan
memancing daya imaji pembaca untuk merenung-renungkan maknanya.
Cobalah perhatikan puisi-puisi penyair
nasional, seperti: A.M. Daèng Miyala (Angkatan Pujangga Baru), Chairil Anwar
(Angkatan 45), Taufik Ismail (Angkatan 66) atau W.S. Rendra (Angkatan 70-an).
Para penyair ini tidak pernah nihil dari
nilai-nilai misterius di dalam puisi mereka. Pada puisi Chairil Anwar yang
berjudul “AKU”, kita temukan suatu larik: “Aku mau hidup seribu tahun lagi.”
Ungkapan ini tergolong misterius, bersifat
aneh dan sulit diterima logika manusia. Mengapa? Sebab, usia manusia (selain
mukjizat Tuhan) tidak akan mencapai 1000 tahun.
Larik “unlogis” ini akan menjadi “logis”
ketika dipahami dari dimensi semiotika-filosofis, bahwa ungkapan “Aku mau hidup
seribu tahun lagi”, ternyata bukanlah Chairil Anwar secara fisikal melainkan
konsepsi ideologinya, atau cita-cita eksistensi kemanusiaannya sebagai bangsa
yang merdeka.
Kemarin, 17 Agustus 2024, saya mencoba
menulis sebuah puisi yang mengungkap sisi lain di balik ritual Renungan Suci
memperingati HUT Ke-79 Kemerdekaan RI. Misteriusitas puisi ini terletak pada
bait endingnya, sebagai berikut:
DETIK-DETIK ROH PAHLAWAN BERDOA
-Refleksi di Malam Renungan Suci-
Malam ini
Seluruh jagat hening
Tak tersisa pekik merdeka atau mati di
ujung bambu runcing
Tak ada lagi bentakan Westerling menghalau
nyawa tak berdosa
ke lubang-lubang pembantaian
Di langit kelam berbaris bintang-bintang
Seribu kunang-kunang bangkit dari pusara
Bagai kerlip mata bidadari
mengawal roh pahlawan
ke puncak renung
yang paling diam:
“Tuhan,
Lindungilah Indonesia-ku
Sejahterakan hamba-hamba-Mu
yang masih hidup
di
alam kemerdekaan ini
Amin!”
Makassar, 17 Agustus 2024
***
Perhatikan ending puisi dimaksud. Sebait
doa misterius yang apabila direnungi, maka terasa jelas nilai keanehannya. Coba
kita kembangkan daya imajinasi. Bayangkan, di saat para pejabat sipil dan
militer konsentrasi dalam suasana hening di Malam Renungan Suci, ternyata roh
para pahlawan bangkit dari pusara. Roh pahlawan disimbolkan ribuan
kunang-kunang, berkelip-kelip bagaikan mata bidadari, seraya mendoakan kita
semua yang masih hidup di alam kemerdekaan saat ini:
“...
Tuhan,
Lindungilah Indonesiaku
Sejahterakan hamba-hamba-Mu
yang masih hidup
di alam kemerdekaan ini
Amin!”
Puisi saya di atas bukanlah karya terbaik.
Namun, sebagai awal belajar menggali misteriusitas dalam perenungan, puisi
tersebut boleh menjadi contoh yang paling dekat dengan konteks imaji saat ini.
Paling tidak, esai ini mampu mencubit rasionalitas puitika agar kita tidak
larut memboros kata-kata. Demikian, salam sastra!
Makassar, 19 Agustus 2024