------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 21 Agustus 2024
Obrolan Daeng Tompo’ dan Daeng Nappa’:
Saya Tiba-tiba
Teringat Kisah tentang Si Bahlul
“Saya tiba-tiba teringat kisan tentang si Bahlul,” kata Daeng Tompo’ kepada Daeng Nappa’ saat ngopi sore menjelang magrib, di teras rumah Daeng Tompo’.
“Kisah tentang Si Bodoh?” tanya Daeng
Nappa’.
“Secara bahasa bahlul memang artinya bodoh
dan sebutan bahlul sering dialamatkan kepada seseorang yang dianggap bodoh atau
gila, termasuk gila jabatan, tapi sebenarnya ada kisahnya,” kata Daeng Tompo’.
“Bagaimana kisahnya?” tanya Daeng Nappa’.
“Bahlul itu adalah sebutan yang diberikan
oleh orang-orang Baghdah kepada seorang sufi pada masa Khalifah Harun
Ar-Rasyid,” kata Daeng Tompo’.
“Sufi?” potong Daeng Nappa’.
“Ya, Bahlul itu sebutan yang diberikan
kepada seorang sufi bernama Abu Wahb Amr as-Shairafi al-Kufi. Ia lahir di
Kufah, Iraq, dan menjalani kehidupan sebagai sufi nyentrik dan karena itulah ia
digelari bahlul,” tutur Daeng Tompo’.
“Nyentrik bagaimana?” tanya Daeng Nappa’.
“Caranya merenung dan berpikir sering di
luar nalar. Kadang-kadang bicara sendiri, ketawa sendiri, atau menangis sendiri
dalam perenungannya. Dia hidup bebas, berkeliaran, tinggal di gubuk dan sering pergi
ke pekuburan. Dia juga kerap berpakaian kotor, kumal seperti orang gila. Karena
itulah dia dipanggil Bahlul, atau Bahlul al-Majnun,” jelas Daeng Tompo’.
“Bagaimana kisah tentang si Bahlil?” tanya Daeng Nappa’.
“Pernah suatu hari, Bahlul datang ke
Istana Khalifah Harun dan melihat bahwa singgasana sang khalifah sedang dalam
keadaan kosong. Bahlul kemudian langsung duduk di singgasana khalifah. Tidak
ada rasa takut sedikit pun. Tiba-tiba pasukan istana datang dan mencambuk Bahlul,
dan kemudian menyeretnya turun dari singgasana khalifah,” Daeng Tompo’ memulai kisahnya.
“Terus,” potong Daeng Nappa’.
“Bahlul pun menangis. Khalifah Harun
ar-Rasyid kemudian datang. Khalifah mendekat dan bertanya mengapa Bahlul
menangis. Seorang budak kemudian menceritakan kejadiannya sampai Bahlul
dipukuli. Khalifah Harun pun memarahi semua orang yang mencambuk dan menyeret
Bahlul dari singgasananya, dan kemudian khalifah mencoba menghibur Bahlul,”
lanjut Daeng Tompo’.
“Terus,” potong Daeng Nappa’.
“Bahlul bilang, wahai khalifah, saya tidak
menangisi keadaan saya karena dicambuk dan diseret turun dari kursi khalifah,”
kata Daeng Tompo’.
“Terus,” potong Daeng Nappa’.
“Khalifah Harun bertanya, lalu apa yang
membuatmu menangis? Bahlul menjawab, saya menangis justru karena saya kasihan
kepada khalifah,” kata Daeng Tompo’.
“Maksudnya?” potong Daeng Nappa’.
“Khalifah Harun bertanya, apa maksudmu?
Bahlul menjawab, saya hanya sebentar duduk di singgasana khalifah, lalu saya
mendapat pukulan, dicambuk dan diseret. Saya bayangkan khalifah nanti setelah
turun dari tahta, pasti akan menanggung banyak kesulitan dan derita, baik saat
masih hidup maupun di akhirat nanti, karena terlalu banyak yang khalifah akan
pertanggungjawabkan,” tutur Daeng Tompo’.
“Jadi Bahlul secara tidak langsung menasehati
khalifah,” ujar Daeng Nappa’.
“Begitulah cara Bahlul,” kata Daeng Tompo’.
“Terus, kenapa kita’ tiba-tiba teringat
kisah si Bahlul?” tanya Daeng Nappa’.
“Karena sekarang ramai dibicarakan tentang
seseorang yang namanya hampir sama dengan Bahlul,” jawab Daeng Tompo’ sambil
tertawa dan keduanya pun tertawa-tawa. (asnawin)
Rabu, 21 Agustus 2024