Dicari Pemimpin Budaya Sulsel

Pilkada di depan mata. Dan Sulsel sangat membutuhkan pemimpin yang memiliki visi dan adab berkebudayaan, memiliki rasa hormat kepada tradisi. Sesungguhnya dalam Pilkada, warga dan masyarakat merupakan dasar terpenting. Untuk itulah betapa perlunya diselenggarakan gerakan sosial dari warga, masyarakat, kaum seniman, akademisi, untuk melawan Cagub yang tak memiliki adab berkebudayaan.

 

------

PEDOMAN KARYA

Kamis, 12 September 2024

 

Dicari Pemimpin Budaya Sulsel

 

Oleh: Halim HD

(Networker-Organizer Kebudayaan)

 

Dunia kebudayaan seperti juga dunia politik dalam semua seginya, memiliki relasi yang saling-silang mempengaruhi satu dengan lainnya. Melalui saling pengaruh itulah kita bisa membaca kemana arah dari perkembangan politik dan kemana pula arah tujuan kehidupan kebudayaan.

Jika kita mendengar bahwa tatanan nilai budaya punya pengaruh kepada kehidupan politik, dengan gampang kita bisa melihat itu pada praktek. Dalam sejarah sosial yang telah menjadi jejak dan artefak yang sampai kini masih membekas walaupun dalam kerangka seremonial dan dalam praktek yang berkaitan dengan khasanah tradisi, kita melihat tatanan kostum dan seejumlah asesoris tradisi melekat pada tubuh kaum elite.

Itu bisa kita saksikan pada setiap upacara yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Dan di situ pula berbagai ungkapan literer yang mengandung makna dan bobot moralitas dan etika disampaikan.

Dalam konteks inilah kebudayaan bukan hanya dalam pengertian upacara dan ritus yang bersifat seremonial, melainkan juga membawa makna filosofis dan relijiusitas. Tentu kita punya masalah dengan saling silang pengaruh itu. Masalahnya terletak pada ketika tatanan kebudayaan hanya dijadikan sekadar seremonial, sejenis lip service kultural.

Di antara itu, yang paling parah ketika dunia politik masuk ke dalam situasi-kondisi yang hanya memikirkan dirinya tanpa mempertimbangkan kondisi kebudayaan yang kian ringkih, dan bahkan ikut digerus oleh ambisi kekuasaan yang sewenang-wenang.

Proses ini merupakan wujud mutakhir dari posisi dan kondisi degradasi kebudayaan di hadapan politik. Politik menjadi panglima dan ujung tombak perusakan tatanan kebudayaan yang ada di dalam masyarakat.

Sesungguhnya bukan politik an sich yang menadi biang keladi dari persoalan yang kita hadapi. Dalam struktur ilmu pengetahuan kita mengetahui bahwa politik berinduk semang dan bersumber kepada etik(a), seperti juga ekonomi.

Politik dan ekonomi merupakan dua saudara kandung yang lahir dari rahim etik(a). Namun tampaknya perkembangan dan perubahan zaman menciptakan suatu pembalikan kepada posisi dan kondisi, suatu kudeta moral yang membuat etik(a) tak lagi diakui sebagai ibu kandung. Bahkan pada kehidupan keseharian kita merasakan politik dan ekonomi menerapkan praktek tanpa etik(a).

Dalam kaitan itulah kita menyaksikan berbagai peristiwa yang bisa menjadi bukan sekadar ilustrasi dari apa yang ingin saya tulis disini, tapi juga menjadi isyarat, tanda bukti yang paling kasat mata tentang kehendak politik yang tak memiliki pijakan tatanan kebudayaan: begitu banyaknya larangan upacara tradisi yang terjadi di Sulsel selama rentang waktu periode gubernur Sulsel yang lalu.

Menjadi pertanyaan kita, jika seorang gubernur, yang semula menjadi wakil dan menduduki puncak kekuasaan dan melakukan praktek pelarangan terhadap upacara tradisi, apa sesungguhnya motivasi dia untuk menolak upacara tradisi?

Tradisi sebagai bagian penting dalam kehidupan kebudayaan dalam masyarakat merupakan enerji kohesif yang bisa menyatukan warga ke dalam tujuan untuk membentuk peradaban. Ingat, peradaban! Jika seorang penguasa daerah melarang warga untuk memilih jalan peradaban, apa sesungguhnya yang dipikirkan olehnya tentang kehidupan masyarakat?

Peradaban yang berakar dari kata ‘adab’ telah menunjukkan melalui kata itu suatu makna tentang tujuan bagaimana warga dan masyarakat menjunjung nilai-nilai yang menjadikan siapa saja untuk menjadi beradab melalui praktek tradisi yang telah mengalami proses ratusan tahun.

Ironi dari dunia politik kerap kita temui melalui berbagai saluran media sosial. Tapi ironi yang paling kelam justru terjadi di salah satu wilayah geografi kebudayaan Nusantara, ketika suatu partai, Golkar, mengusung seorang calon gubernur yang jejak politiknya telah menodai, bahkan mencederai tatanan moral dan etik(a) warga dan masyarakat di Sulsel melalui berbagai larangan terhadap kegiatan dan upacara tradisi.

Kini menjadi pertanyaan kita, apa yang menjadi motivasi dari Golkar yang dengan dukungannya kepada Cagub yang tak memiliki rasa hormat kepada tradisi dan kebudayaan?

Logikanya, jika Golkar mendukung Cagub itu, berarti Golkar telah ikut melakukan praktek pencederaan kepada warga dan masyarakat Sulsel, yang selama setengah abad mendukung Golkar sehingga selalu menjadi mayoritas di Sulsel.

Adakah Golkar telah kehilangan politik kebudayaan yang dahulu dijunjungnya sebagai dasar dari praktek politik, dan kini telah meninggalkan landasan etik(a)nya, yang sekaligus juga telah mencederai para kadernya.

Bukankah Golkar memiliki lima kader Cagub, dan kenapa pula kelima kader Cagub itu disingkirkannya? Kembali kita berhadapan dengan masalah degradasi moral dan etik(a) yang atas nama kepentingan segelintir elite politik ekonomi, yang berujung kepada sejenis pengkhianatan kepada cita-cita kehidupan kebudayaan dan tradisi di Sulsel.

Pilkada di depan mata. Dan Sulsel sangat membutuhkan pemimpin yang memiliki visi dan adab berkebudayaan, memiliki rasa hormat kepada tradisi. Sesungguhnya dalam Pilkada, warga dan masyarakat merupakan dasar terpenting. Untuk itulah betapa perlunya diselenggarakan gerakan sosial dari warga, masyarakat, kaum seniman, akademisi, untuk melawan Cagub yang tak memiliki adab berkebudayaan.***

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama