-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 03 September 2024
Buku “Jika Saya Menjadi Walikota Makassar”:
Gagasan Buat Para
Calon Walikota Makassar
Oleh: Rusdin Tompo
(Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia
SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
Ide dan gagasan-gagasan dalam buku ini,
tak punya kaki sendiri untuk menemui calon Walikota Makassar yang akan
bertarung pada Pilkada serentak, tanggal 27 November 2024.
Itu yang saya kemukakan di hadapan warga,
tetamu, dan para penulis pada acara Soft Launching Buku “Jika Saya Menjadi Walikota
Makassar”, di Lorong Daeng Jakking, Kelurahan Parangtambung Kecamatan Tamalate,
Kota Makassar, Ahad, 01 September 2024.
Sambil memperlihatkan buku yang disunting
Rahman Rumaday, saya katakan, butuh strategi tertentu agar ide-ide bernas dan
gagasan-gagasan ideal dalam buku ini bisa sampai ke pasangan Calon Walikota dan
Wakil Walikota Makassar, yang akan memimpin kota ini lima tahun ke depan.
Kalau tidak, buku ini hanya berupa
kumpulan lembaran kertas cetakan, dokumen, dan arsip dari para penulisnya.
Mengapa? Karena ini buku bunga rampai yang
ditulis dan dikirim penulisnya langsung kepada inisiator, sekaligus editornya.
Bukan buku kumpulan tulisan yang sudah terpublikasi sebelumnya. Bukan hasil
kumpulan tulisan yang sudah tersiar luas di media massa, yang sudah dibaca
orang dan ikut mempengaruhi wacana publik.
Apalagi, buku ini dicetak (sangat)
terbatas, sehingga tidak semua pemikiran di dalamnya bisa menjangkau pembaca
yang luas. Kecuali nanti dibagikan dalam format pdf.
Maka perlu ada strategi untuk mewarnai
pemberitaan media agar mendudukkan buku ini pada daya tawar yang kuat.
Publikasi kegiatan soft launching yang diadakan sekaligus memperingati ulang
tahun ke-14 Komunitas Anak Pelangi (K-Apel) di Lorong Daeng Jakking, Kelurahan
Parangtambung Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, baru langkah kecil, meskipun
itu sangat berarti. Itupun beritanya seputar peristiwa kegiatan peluncuran
buku.
Dalam soft launching ini diadakan pula
diskusi buku. Pemantiknya, saya dan Aslam Katutu, dengan moderator Rusdy Embas.
Kami bertiga ikut menyumbang tulisan dalam buku ini.
Menurut saya, perlu dipertimbangkan setiap
tulisan dalam buku “Jika Saya Menjadi Walikota Makassar” ini, dipublikasikan
secara terpisah melalui media online, portal berita, atau medsos dengan tagar
yang sama. Misalnya: Pilkada Makassar 2024 atau Jika Saya Walikota Makassar 2024.
Strategi advokasi melalui platform digital
perlu jadi pilihan. Sebab, buku ini bisa jadi medium literasi politik agar
pemilih tercerahkan. Begitupun dengan para kandidat, mereka akan tahu apa yang
jadi aspirasi dan kebutuhan warga, sebagaimana disuarakan 31 penulis dalam buku
ini.
Saya percaya, tulisan-tulisan dalam buku
ini, walau tidak semua kuat memaparkan data, tapi mereka berangkat dari harapan
yang sama. Ada kegelisahan, kerisauan, sekaligus kepedulian terhadap Kota
Makassar.
Mereka mau, persoalan-persoalan kemacetan,
persampahan, perparkiran, banjir, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan,
layanan publik dan hak-hak dasar warga, segera terurai dan menemukan solusinya.
Ada yang ingin menjadikan Makassar Kota
Berkesetaraan, Kota Gizi, Kota Rahmatan Lil Alamin, Kota Buku, Kota Budaya,
Kota Sastra, Kota Sehat, Kota Ramah Anak, Kota Beradab dan Berakal, dll.
Latar belakang penulis ikut mempengaruhi
imajinasi, aspirasi, dan argumentasi mereka dalam menuangkan gagasannya demi
kemajuan pembangunan kota ini. Jurnalis, akademisi, guru, aktivis, pegiat
literasi adalah beberapa di antaranya.
Nama-nama penulis pun bukan kaleng-kaleng.
Ada M Dahlan Abubakar, Andi Wanua Tangke, Dian Ekawati Mansyur, Rahman Rumaday,
Zulkarnain Hamson, Mahrus Andis, Badaruddin Amir, Muliaty Mastura Yusuf, dan Dr
Dirk Rukka Sandarupa.
Di deretan nama-nama itu terdapat pula
Arwan Daeng Awing, Muhammad Arafah, Suradi Yasil, Efa Patmawati Halik, Asnawin
Aminuddin, IR Makkatutu, M Amir Jaya, Muhammad Rusdy Embas, Syahril Rani
Patakaki, dan Zahir Juana Ridwan.
Sederet nama-nama itu, ditambah
lembaga-lembaga yang menyertai mereka plus kolaborasi dengan media massa, saya
optimis mampu menjadi pressure group untuk menghadirkan para kandidit dalam
forum diskusi publik. Forum untuk mendengar suara-suara kritis yang nanti bisa
dielaborasi ke dalam visi-misi, dan program.
Pasangan Amri-Rahman, Appi-Aliyah,
Indira-Ilham, dan Seto-Rezky perlu menangkap apa yang jadi aspirasi warga. Jauh
lebih baik, jika dalam forum diskusi publik itu dikunci rekomendasi yang jadi
kontrak politik dengan masing-masing pasangan kandidat Walikota dan Wakil Walikota
Makassar.
Para penulis dalam buku “Jika Saya Menjadi
Walikota Makassar” ini, harus diakui, telah mampu menangkap lanskap persoalan
kota, termasuk persoalan kepemimpinan dan tata kelola pemerintahannya. Problem
kita memang bukan cuma soal kebijakan dan program, tapi juga menyangkut
karakter kepemimpinan.
Buku ini bukanlah mantra dalam menata dan
memajukan kota --sebagaimana disampaikan Rahman Rumaday, dalam Kata
Pengantarnya. Sebab, meminjam istilah M Dahlan Abubakar --ketika mewawancarai
seorang Walikota terpilih-- bahwa visi-misi itu bukan barang jadi yang siap
disantap. Dengan begitu, masih butuh strategi lobi dan advokasi agar
gagasan-gagasan dalam buku ini bisa mewujud nyata.***