Siapapun kalau hanya berani di belakang bayangan, tidak mau berhadapan langsung secara jantan, memang begitu menjadi kebiasaan para pecundang yang berkarakter maling plus kong kalikong. |
-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 25 September 2024
Hidup Matinya
Diksi Puisi
Oleh: Maman A. Majid
Binfas
(Sastrwan, Akademisi, Budayawan)
Dalam momentum tentang
tajuk hidup mati diksi puisi ini, akan dimulakan dengan membentangkan QS. Az-Zumar/39,
ayat 42, yang terjemahannya; “Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat
kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur, maka Dia
tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa
yang lain sampai waktu yang ditentukan."
Sekalipun, pesan ayat di atas,
mungkin sangat tegas dan lugas di dalam menegakkan aturan menjadi tindakan
dengan logika bijaksana dan juga mesti tetap lentur yang terukur di dalam
memahaminya.
Namun, tidak kaku dan beku bah
logika mesin diesel di dalam tindakan, namun tetap lentur apa adanya di dalam
memahaminya. Tentu, berdasarkan konteks nilai moralitas Ketuhanan yang
mencerahkan sebagaiman diharapkan. Tetapi, konteksnya pesan Ketuhanan tidak
boleh juga didagelani semua gue pula.
Sama halnya dengan karya orang
lain pun, berdimensi sesama hamba Tuhan, tidak boleh disabotase, termasuk karya
berbentuk puisi.
Dimensi sabotase karya orang
lain, demi kepentingan kehidupan para pelakon yang suka plagianisme/mencuri
karya dengan melupakan dan mematilan esensi dari akar tapak jejak pengarang
puisi yang sesungguhnya.
Misalnya, karya puisi Chairil
Anwar hingga kini masih tetap mengakar, sekalipun ia telah berkalang tanah,
tetapi karyanya tetap hidup tanpa bisa dipungkiri, mungkin akan melebihi ribuan
tahun dari harapannya “Aku mau hidup seribu rahun lagi.”
AKU
Oleh: Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak
peduli
Aku mau hidup seribu tahun
lagi__
(Chairil Anwar,1943)
Mengenai kehadiran karya puisi
atau pantun di era masa lalu, jarang sekali mencantumkan tahun kapan dibuatnya,
dan apalagi hari/tanggal juga jam/detiknya. Termasuk, karya Chairil Anwar pun,
beliau tidak pernah menuliskan tahun dalam setiap goresannya kertasnya, seperti
puisi berjudul “Aku.”
Bahkan setelah wafatnya,
itupun hanya diperkirakan tahun dibuatnya oleh teman atau balai pustaka yang
mendokumentasikan naskahnya. Sebagaimana dinukilkan di dalam Google yang
bertebaran tentang puisi yang berjudul “Aku.”
Hanya diperkirakan oleh orang
lain, bahwa puisi 'Aku' dibuat sekitar tahun 1943 oleh Chairil Anwar. Karya ini
mungkin menjadi karyanya yang paling terkenal dan juga menjadi salah satu puisi
paling terkemuka dari Angkatan '45.
Puisi “Aku” ini menggambarkan
alam individualistis dan vitalitasnya sebagai seorang penyair, sekalipun boleh
berbeda pandangan tentang esensi kehadirannya.
Kemudian banyak mengkaji
berpandangan bahwa puisi “Aku” karya Chairil Anwar ini menceritakan
tentang perjuangan seseorang yang mempunyai semangat yang tinggi yang
tidak mengenal kata lelah, sakit, walaupun ia terluka. Dengan tekadnya yang
kuat, ia terus berupaya mencapai tujuannya tanpa memperdulikan banyaknya
rintangan yang mengahampiri.
Namun, dalam telaah yang
pernah saya kaji, puisi ini hadir dengan settingan latar belakang, menurut
sahabatnya pada saat Chairil Anwar sakit parah dan belum punya pekerjaan
memadai dan merawatnya.
Maka, atas dorongan rasa
kemanusian Buya Hamka yang pulang ke Padang, beliau singgah ke Kampung Chairil
Anwar, untuk memberitahu orang tuanya tentang keadaan Chairil Anwar di Jakarta.
Bahwa Chairil Anwar, sedang dalam keadaan sakit parah.
Maka orang tuanya datang
hendak menjemputnya untuk pulang kampung, namun dan konon, Chairil Anwar tak
mau kembali karena malu belum berhasil, sehingga tergoreslah karya puisi Aku.
Terlepas perbedaan hasil
kajian, dan orang lain boleh berbeda di dalam pemaknaannya, dan itu wajar saja.
Namun, sesungguhnya yang lebih faham akan pesan dikesankan di dalam melahirkan
karya puisi adalah penulisnya itu sendiri dengan Tuhannya.
Jadi, sekalipun pada larik
akhir Chairil Anwar, di atas berdiksi, “Aku mau hidup seribu tahun lagi” di
saat menulis puisi ini, ketika beliau berumur 21 tahun. Manakala dihitung
secara kuantitatif <> dari tahun 1949/ia wafat- tahun 1943/menulis puisi
= 27/usia - 6/selisih usia sebelum wafatnya = 21tahun.
Chairil Anwar meninggal dalam
usia muda yakni berumar 27 tahun, di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tertanggal 28 April 1949. Penyebab
kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan, ia menderita penyakit TBC/
Tuberkulosis.
Kematiannya pun, itu hanya
diduga akibatnya, hampir sama halnya dengan kemunculan buah karyanya dan pesan
yang akan disampaikan melalui diksi goresannya, memang tidak diketahui pasti.
Terkadang banyak teman-temannya yang menganggap bahwa karya puisi Chairil Anwar
bermakna simbolis gelap/ghaib, termasuk penyair Amir Hamzah.
Sebagaimana, diksi prosais
bersifat kontemporer yang terkesan simbolis yang berjudul “Muntahin Rokok” berikut ini. Tetapi tidak
identik dengan penyakit tuberkulosis yang didugakan kepada Chairil Anwar.
MUNTAHIN ROKOK
Ada orang sebelah ruangan
blokan, semalam bertutur sama temannya, mungkin lagi memperhatikan temannya
dengan nada prihatin.
Maka_nye, jangan terlalu
berlebihan makan daging berdarah bro, agar tidak dimuntahin begitu 'kan jadi
mubazir tu_ !
Saya tidak makan daging koq?
Loh koq begitu banget
muntahnya kaya daging berdarah segar_
Beginilah ... akibat dari
kelakuanku sendiri, sambil memegang dadanya!
Maksud loe...?
Ssssst ... sambil memberi
isyarat dengan telunjuk ke tengah bibirnya.
Kan ... kau juga tak merokok
bro?
Ini bukan soal rokok atau
tidak, banyak juga orang mati mendadak, bahkan bukan perokok bro!
Ya... ya... haaem... aku faham
sekarang bro!
Berarti, muntahan darah, rokok
dan juga makan daging tak berkaitan erat dengan akibat dari muntah daging dan
jantungan hingga mati mendadak bro!
Berarti nda ngaruh dong, ,,,
bila merokok akan memuntahin rokok juga_(Mabinfas, 19/9/2024)
***
Sekalipun, prosais di atas,
belum bisa diindikasikan tentang kekontemporer/bercorak kekinian dijuluki era
modernan. Kemudian, dikategorikan sebagai seni yang berhaluan bebas, dan tidak
terikat oleh radius kaidah masa lampau, dan, ia berkembang sesuai zaman
kekinian yang identik dengan diksi milenialan. Maka, kehadiran rakitan diksinya
memang bebas tanpa ikatan karya berartefakan masa silam.
Sekalipun demikian, tidak
bebas nilai dari akar keetisan di dalam wujud cerminan sebagai sebuah karya
yang berkesan indah menawan, dan dapat menggugah logika rasa kemanusiaan
sesungguhnya.
Mungkin, boleh dikesankan
diksi goresan 'Abā wastakbara' berikut ini, sebagai puisi religius/bernilai
kesan keagamaan, dikarenakan ada perpaduan dengan ayat Tuhan. Sekalipun, karya
puisi tidak mesti dipadukan dengan ayat Tuhan yang diyakini, dan kemudian baru
dikatagorikan puisi religiusan.
ABĂ WASTAKBARA
Di saat panas cuaca 39°Celcius
justru dikau ambisius
Abā wastakbara
Guna mencari kematian dadakan
dengan guna guna
Abā wastakbara
Bah diduga akan berbalik guna
meledakkan dada dikau sendiri
Abā wastakbara
Bahkan, dikau tak perduli,
demi bara api arogansi keiblisanmu
Abā wastakbara
Berarti "_dikau enggan
dan takabur/Abā wastakbara"_QS Al-Baqarah ayat tiga puluh empat, telah
Tuhan tinta emaskan dengan sungguh tegas-
(Mabinfas, Senin, 12:32,
23/9/2024).
***
Hasil karya puisi tidak dapat
diubah diksi oleh siapapun, sekalipun disadur dengan bahasa lain. Sekalipun,
terjadi akan rotasi perubahan ruas waktu atau perkembangan zaman.
Bukan berarti, ia tidak lentur
di dalam memaknai guna memahaminya, baik untuk dikaji secara komparatif maupun
diperbincangkan secara dialogis akademisan atau dipentaskan. Tentu, tidak lepas
dari hakikat nilai kepantasan bersifat etis, berdasarkan kadarnya
masing-masing, seperti prosais puisi yang bersifat religius perpaduan dengan QS
Al Ashr 1-3, bertajuk “Waktu Akan Berbicara” berikut ini.
WAKTU AKAN
BERBICARA
Waktu tetap bersirkulasi
dengan sendirinya, dan apa adanya tak mungkin diburu
Sekalipun, berhamburan
mengejarnya di segala penjuru
Dan Tuhan telah bersumpah, dan
sungguh pasti di dalam QS Al Ashr 1-3 dengan padat yang berarti
Demi masa. Sungguh, manusia
berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan kebajikan
serta saling menasehati untuk
kebenaran dan saling menasehati
untuk kesabaran”
Maka, waktu akan berbicara,
bahkan melebihi lesatan kilatan
Dan juga denyutan apapun
dengan detik jarum beralarm penuh kepastian
(Mabinfas, Senin 11: 23,
23/9/2024)
***
Sesungguhnya, karya-karya
puisi di era Chairil Anwar, memang tidak dapat dipastikan, baik latar maupun
hari tanggal dan tahun dibuatnya. Termasuk, kepastian menjadi esensi latar
belakang kehadiran karyanya sehingga berbuah goresan puisi.
Siapa pun yang akan mengkaji
atau menafsirkan, ia hanya menduga akan kehadiran karya puisi tanpa bisa
dengan kepastian tentang kenapa dibuat oleh penulisnya. Sebagaimana esensi dari
puisi 'Aku' karya Chairil Anwar di atas.
Kemudian, mengenai
kehadiran prosais puisi “Siapa pun Dikau” berikut ini, yakni dilatarbelakangi
oleh ada pihak yang merasa a'in/iri terhadap kehadiran karya orang lain, dan ia
terkesan gondokan, sekalipun, ia sendiri tidak bisa melakukan sebagaimana
pembuat karya yang dia inginkan atau digondokannya tersebut.
SIAPA PUN DIKAU
Kenapa mesti kebakaran
jenggotan nan berlebihan berhingga kesurupan muntahin darah kebangetan.
Bahkan melampaui ngondokan
siamangan//Bila tidak berkaitan dan terhubung, Ya, tenang dan enjoy aje bung
Kalau terhubung, _ya, apa
boleh buat memang
Siapa pun kau,dan di mana pun
engkau nan lagi meradang
Tak perlu lebay lempar lembing
lagi dengan memuntahin mantra, tiupan lendiran yang tidak berguna lagi
Dan justru nyata kembali,
memakan tuan sendiri beserta keluarga, berhingga gerombolannya!
Goresan ini, sesungguhnya
masih berharap dikau dan engkau agar segera siuman hingga tidak menjadi 'Ukhruj
Ya ‘aduwallah' terabdikan bah mumi Fir'aun.(Mabinfas, Ahad 07:08, 8/9/2024)
***
Berbeda lagi dengan puisi
yang diksinya selalu diulang. Pengulangan kata tersebut disebut sebagai
majas repetisi, sebagaimana prosais puisi berikut.
KATANYA KOQ
KLENIKAN
Katanya pejabat publik mesti
jadi pamong untuk diteladani, tetapi koq klenikan
Katanya akademisi mesti jadi
cermin kecerdasan untuk diteladani, tetapi koq klenikan
Katanya pendidik mesti jadi
tutwuri handayani untuk diteladani, tetapi koq klenikan
Katanya bertitel tertinggi
mesti jadi patokan logika untuk diteladani, tetapi koq klenikan
Katanya mubaligh ternama mesti
jadi contoh untuk diteladani, tetapi koq klenikan
Katanya pengkhotbah mesti jadi
contoh untuk diteladani,tetapi koq klenikan
Katanya agamawan mesti jadi
panutan untuk diteladani, tetapi koq klenikan
Katanya pengagum Karya HAMKA
mesti jadi inspirasi untuk diteladani, tetapi koq klenikan
Katanya rajin beribadah mesti
jadi tiruan untuk diteladani, tetapi koq klenikan
Katanya pengelola pendidikan
keagamaan mesti jadi acuan untuk diteladani, tetapi koq klenikan
Katanya rutin baca kitab suci
mesti jadi pembelajaran untuk diteladani, tetapi koq klenikan
Padahal klenikan
telah ditahu, sungguh sangat
menodai agama Tuhan
Astaghfirullahal'adzim; Aku
mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung. (Mabinfas, dini hari Ahad, 02:24,
22/9/2024).
***
Kehadiran bentuk prosais puisi
bermajas repetisi di atas ini, adalah dilatarbelakangi oleh kelakuan para
pejabat, baik yang bersifat publik maupun para pelakon para pendidik serta
orang merasa diri beragama tulen. Namun, terkesan hanya topengan dan bermain
dibelakang layar, maka merasa prihatin dan tertantang sehingga lahir goresan
berbentuk prosais ini.
Siapapun kalau hanya berani di
belakang bayangan, tidak mau berhadapan langsung secara jantan, memang begitu
menjadi kebiasaan para pecundang yang berkarakter maling plus kong kalikong.
Maling modern memang berdandan
kren dengan paras akademisi, dan terkesan seakan agamawan. Di samping,
berkarakter sengkuni yang suka menuding orang lain, sekalipun perbuatan buhulan
memang dilakukan oleh dirinya.
Sesungguhnya, itulah wujud
dari wajah;_ musang bertopeng bulu ayam potong--🦡 (selasa 09;2, 24/9/2024).
Jadi, di dalam telaan mengenai
kehadiran settingan latar belakang puisi Aku karya Chairil Anwar, yang konon
tak mau kembali kampung dikarena malu belum berhasil di Jakarta.
Terlepas perbedaan dari
pandangan akan hasil bacaan menjadi kajian yang dianalisinya, dan orang lain
boleh berbeda di dalam pemaknaannya, dan hal itu sangat wajar saja.
Sesungguhnya, kehadiran sebuah
karya, tentu yang lebih faham akan pesan atau esensinya sehingga karyanya
dibuatnya, adalah penulisnya dengan Tuhannya.
Terpenting, kehadiran karya
puisi akan tetap hidup, sekalipun pembuatnya telah mati berkalang tanah.
Sebagaimana, puisi 'Aku' Chairil Anwar hingga kini masih tetap mengakar,
sekalipun ia telah tiada, tetapi karyanya tetap hidup tanpa bisa dipungkiri.
Bahkan, melebihi ribuan tahun dari harapannya melalui diksi puisinya, “Aku mau
hidup seribu rahun ...!
Wallahu'alam