“Istana Ketek” dan “Telunjuk-telunjuk yang Menuding-nuding”

Adhie M Massardi (kiri) menulis sajak berjudul "Istana Ketek", Rahman Arge menulis puisi berjudul "Telunjuk-telunjuk yang Menudig-nuding."


--------

PEDOMAN KARYA

Selasa, 10 September 2024

 

“Istana Ketek” dan “Telunjuk-telunjuk yang Menuding-nuding”

 

Penyair, budayawan dan kritikus sastra Mahrus Andis mengeritik sajak Adhie M Massardi yang berjudul “Istana Ketek”. Kritikan itu ia tulis di grup WA, FOSAIT (Forum Sastra Indonesia Timur) yang dihuni sekitar 50 orang penyair, cerpenis, novelis, akademisi, dan wartawan, Kamis, 12 September 2024.

“Istana Ketek, judul puisi penyair mbeling Adhie Massardi ini cukup vulgar. Bahasa dan imajinya pun terkesan bombastis. Jenis puisi seperti ini paling sering ditulis para remaja, di saat mereka belajar membuat kritik untuk negerinya. Entah tahun berapa puisi ini ditulis. Mungkin dapat diterka tahun sekarang juga,” kata Mahrus.

Ia kemudian melanjutkan, “Di larik puisi ini ada ‘bau ketek’. Dan biasanya penyair senior yang pernah merasakan wanginya literasi sastra di tengah kelompok penguasa media mainstream, sekarang, akrab dengan puisi ketek. Walau puisi keteknya pecah, baunya mencemari kenikmatan estetika, toh tetap mendapat bantuan dan penghargaan dari Raja Jumawa, pemilik cermin tipu daya di istana ketek.”

Berikut puisi “Istana Ketek” yang dikritisi Mahrus Andis:

 

ISTANA KETEK

 

Sajak: Adhie M. Massardi

 

Kekuasaan yang dikempit sangat kuat

Di ketiak Raja jumawa pemilik cerpin tipu daya

Akhirnya memang pecah!

Debunya berhamburan mencemari langit

Istana bau ketek!

Angin kebencian membawanya keliling negeri

Bau ketek di mana-mana

Pohon beringin tercemat bau ketek

Ormas keagamaan tercemar bau ketek

Muktamar tandingan tercemar bau ketek

Rakyat muak, mual, muntah

Di kampus-kampus mahasiswa bergerak

Melawan bau ketek

Ban-ban bekas dibakar

Berharap asap hitamnya mengusir bau ketek

Hingga ke pusat kekuasaan

Pusat segala bau

 

Dan Sang Raja?

Termangu di pojok istana

Meratapi cermin tidupdaya pecah seribu!

 

Bekasi, 31 Agustus 2024

(Adhie Massardi merupakan mantan juru bicara Presiden KH Abdurrahman Wahid ini dikenal tak henti mengkritik keras pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Segala bentuk kritik itu, ia tuangkan dalam bentuk tulisan dan puisi. Demi memperjuangkan idealismenya, wartawan senior ini merapat ke barisan ekonom Rizal Ramli sebagai aktivis Komite Bangkit Indonesia dan Gerakan Indonesia Bersih).

** 

Kritikan Mahrus Andis tersebut ditimpali oleh Presiden FOSAIT, Muhammad Amir Jaya, dengan mengatakan: “Saya selera dengan puisi-puisi seperti ini. Sama seleranya Arge (Rahman Arge, red) menulis “Telunjuk-telunjuk yang Menuding-nuding.”

Mendapat tanggapan seperti itu, Mahrus membalas dengan mengatakan, “Telunjuk-telunjuk yang Menuding-nuding-nya Arge itu termasuk puisi berkualitas, baik bahasa maupun isi. Tidak vulgar. Kritiknya terselubung dan mengundang interpretasi yang multitafsir. Kalau puisi ‘Istana Ketek’ terlalu bombastis dan tidak butuh penafsiran secara referensial.”

Berikut puisi “Telunjuk-telunjuk yang Menuding-nuding” karya Rahman Arge yang dimuat di Majalah Horison tahun 1986.

 

TELUNJUK-TELUNJUK YANG MENUDING-NUDING

 

Karya: Rahman Arge

 

Bergemalah suatu suara

        : Ada sesuatu yang baru dalam ruangan ini

          Adakah kalian tahu dari mana datangnya?

 

(Para penghuni ruangan ini

        dengan kepala-kepala mereka yang tak terhitung

        merunduk ke bumi

        diam)

 

Bergemalah kembali suara itu

    : Ada sesuatu yang bau dalam ruangan ini

      Adakah mungkin sumbernya dari seluruh engkau?

 

(Para penghuni mendongakkan wajah-wajah

        yang kaget dan merasa dituduh

        dan kepala-kepala pun menggeleng-geleng)

 

Gema itu sekonyong meninggi

        : Ada sesuatu yang bau dalam ruangan ini

          Adakah sumber lain kecuali kalian?

 

(Para penghuni berlarian ke dalam diri

  sambil bisik berbisik: toh bukan aku, mereka!

  dan penuhlah udara dengan telunjuk-telunjuk

  menuding-nuding

  tuding-menuding

  dan segera mampuslah keakraban dalam ruangan

  ini)

 

Gema itu kemudian membelenggu seluruh pintu

        : Pada saat ini semakin sesaklah ruang oleh bau

        : Bau kalian? Dan ini pasti!

 

(Telunjuk-telunjuk yang menuding-nuding

  menggelepar ke dalam nafsu kepalan-kepalan tinju

  serang-menyerang!

  Dalam sekejap lantai ruangan ini

  telah menjadi ranjang pelacuran

  di mana tubuh-tubuh yang letih bersetubuh dalam dengki

  di mana lengan-lengan pucat berpelukan dalam darah

  sampai datang suatu saat

  suara-suara parau mereka memancing jawab

  atas tanya

 

        : Siapakah engkau, hei suara yang demikian

  mau tahu

  Siapakah engkau, hei gema yang demikian jauh

  merusak ruang ini lewat bencanamu?)

 

Tapi gema suara itu telah mengecil

surut ke dalam ruang-ruang kecil

di diri yang sendiri

para penghuni

 

(Rahman Arge yang nama lengkapnya Abdul Rahman Gega, lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, pada tanggal 17 Juli 1935. Rahman Arge meninggal dunia pada tanggal 10 Agustus 2015 pada usia 80 tahun. Puisi “Telunjuk-telunjuk yang Menuding-nuding” karya Rahman Arge ini dimuat di Majalah Horison, edisi November 1986).***

Reportase: Asnawin Aminuddin 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama