Pembangkangan Sarwo Edhie dan Kedekatannya dengan Kokam Muhammadiyah

MEMBANGKANG. Kolonel Sarwo Edhie (kanan) tidak begitu saja segera menjalankan perintah Presiden Soekarno (kiri) untuk mengirim satu kompi pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang siap tempur ke Kalimantan Barat.

 

------

PEDOMAN KARYA

Jumat, 20 September 2024

 

Pembangkangan Sarwo Edhie dan Kedekatannya dengan Kokam Muhammadiyah

 

0leh: Muhammad Ikbal

(Mantan Komandan KOKAM Pemuda Muhammadiyah Sulsel / Ketua Barisan Ganyang Komunis Indonesia Sulsel)


Tidak seperti biasanya, Kolonel Sarwo Edhie tidak begitu saja segera menjalankan perintah Presiden Soekarno untuk mengirim satu kompi pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang siap tempur ke Kalimantan Barat di bawah pimpinan Feisal Tanjung.

Sarwo Edhie cermat dalam mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada dan andaikan ikut saja perintah yang diberikan atasan, mungkin pasukan G30S/PKI sangat leluasa bergerak dan menang. Dan tidak mustahil Indonesia menjadi negeri komunis hingga saat ini.

Mungkin itulah hikmahnya bila seorang komandan menggunakan intuisi, suara hati dan butir-butir pesan Sapta Marga yang menjadi pedoman dan kode etik bagi prajurit dalam menjalankan tugas-tugasnya selaku bhayangkari negara, khususnya tentang pentingnya prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan di samping patuh dan taat pada perintah atasan

Sapta Marga, memang, tidak hanya berisi butir ke-5 yang berisi prinsip kedisiplinan, kepatuhan dan ketaatan pada pimpinan. Butir-butir sebelum itu, secara berurut, terlebih dahulu juga mengikat setiap pribadi tentara tidak terkecuali, pada jenjang lebih tinggi dan di bawahnya. Panglima hingga prajurit terbawah dalam konteks organisasi, pihak yang satu memberi perintah dan yang lain diperintah atau garis hierarki.

Sikap konservatif Sang Kolonel itu beralasan, karena saat itu, 2/3 kekuatan tentara di Jawa sudah dikirim ke berbagai medan tempur (Kalbar, Papua dan Sulawesi). Jawa relatif kosong pasukan. Diam-diam Sang Komandan RPKAD merasa perlu lihat situasi dan kondisi, dan kebutuhan lapangan.

Dikirimlah wakilnya, Mayor Santosa ke Kalbar. Hasilnya, belum perlu batalyon RPKAD ke sana. Kolonel Sarwo tidak memberangkatkan pasukan khusus tersebut. Mereka berkemah saja di sekitar Halim. Kompi Feisal Tanjung itu dalam kondisi siap tempur. Inilah yang kemudian menjadi pasukan utama pembasmi pasukan pemberontak G30S/PKI.

Murkalah Bung Karno dengan berkata, “Katamu kompi RPKAD tersebut sudah dikirim ke Kalbar?” dampratnya kepada Jenderal Suparjo. Jenderal jago perang itu terdiam, tergagap dan masih berusaha meyakinkan si Bung bahwa keadaan masih bisa dikendalikan meski pasukan RPKAD masih di Jakarta.

Di belakang hari, dapat disimpulkan, inilah hikmahnya bagi orang banyak ketika seorang komandan meresapi Sapta Marga dengan sebaik-baiknya. Dari kisah di atas, orang bisa terkenang pada kisah legendaris Panglima Besar Soedirman (masa Presiden Sukarno), keteguhan Pangkostrad Soeharto (masa pemberontakan PKI yang berpusat di lubang buaya), atau Kasad Endriartono (masa Presiden Gus Dur), yang mendahulukan keselamatan negara yang di dalamnya ada Tanah Air dengan segenap rakyatnya.

Sikap dan teladan Panglima Soedirman ketika terjadi agresi Belanda itu (19 Desember 1948) mencerminkan hakikat jati diri TNI sebagai tentara rakyat, menolak menyerah pada penjajah dan memilih bergerilya, sekalipun Presiden Soekarno menolak ikut.

Secara kasat mata, jelas terlihat dalam kisah itu, politik tentara kita adalah politik negara. Pilihan Sang Panglima berbeda dengan Presiden di saat genting kala itu. Memang, pada hakikatnya negara terdiri dari tiga unsur penting, ada Tanah Air, ada rakyat di samping pemerintah.

Idealnya, pilihan dan kepentingan politik pemerintah senantiasa selaras dan mencerminkan politik negara. Ternyata dinamika relasi dan pilihan politik tentara dan pemerintah di negeri kita terkadang mengalami pasang surut.

Di mana Tuhan Yang Maha Esa dengan keMahakuasaanNya dalam jatuh bangunnya negeri ini? Di mana kehadiran Allah, di negeri yang preambule konstitusinya menyatakan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa...maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”?

Mungkin ada di dalam sistem nilai yang termaktub dalam konstitusi, Sapta Marga, dan berbagai pedoman hidup yang terpatrikan dalam darah daging segenap pribadi tentara kebanggaan rakyat negeri religius ini.

Kehendak Allah hadir dalam berbagai faktor kebetulan, intuisi komandan yang meresapi hakikat jati diri TNI dan juga naifnya perhitungan pengkhianat bangsa yang sibuk terus merongrong bangsanya sendiri. Maka pada waktunya TNI menggilas para perongrong itu.

 

KOKAM Muhammadiyah

 

Dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah terdapat satu elemen penting yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah kelam gerakan pengkhianatan 30 September PKI yang disebut Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah di singkat KOKAM.

Pasukan inti Muhammadiyah ini lahir dari benang merah sejarah pergolakan politik Tanah Air pada tahun 1965 yang dimotori oleh tokoh-tokoh senior Muhammadiyah dan Pemuda Muhammadiyah kala itu, antara lain Ibrahim Nazar, Lukman Harun, Sutrisno Muhdam, Drs Haiban, dan Letkol HS Projokisumo, yang kemudian ditunjuk sebagai Panglima KOKAM pada tanggal 1 Oktober 1965, pada sebuah acara Kursus Kader Takari guna meningkatkan mental kader Muhammadiyah dalam menghadapi segala kemungkinan di tengah gencarnya gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kursus Kader Takari yang dilaksanakan di kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta itu dihadiri oleh beberapa tokoh Muhammadiyah yang bertindak sebagai pemateri yakni Jenderal AH Nasution, Jenderal Polisi Sutjipto Judidiharjo, Mayor Jenderal Soecipto, dan Kolonel Djuhartono.

Dalam berlangsungnya penerimaan materi ini, Jenderal AH Nasution sebagai pemateri kedua yang berlangsung hingga jam 23.30, dan setelah itu beliau pulang ke kediamannya yang tidak disangka menjadi target utama penculikan pasukan cakrabirawa afiliasi PKI, namun atas ijin Allah beliau lolos dari penyergapan dan pembunuhan di rumahnya setiba dari memberikan materi kursus kader Angkatan Muda Muhammadiyah di Jalan Limau Jakarta Selatan meskipun putri kesayangannya yaitu Ade Irma Nasution yang menjadi korban pembunuhan.

Atas kegentingan inilah, Kursus Kader Takari sempat diskorsing beberapa saat sambil menunggu perkembangan situasi Jakarta yang sangat mencekam saat itu, dan esok harinya kegiatan kursus kader ditutup dan dilanjutkan dengan pembentukan Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM).

Anggota KOKAM dari peserta Kursus Kader Takari terdiri dari Angkatan Muda dan Angkatan Tua Muhammadiyah berbaur menjadi satu komando di bawah pimpinan Letnan Kolonel HS Projokusumo sebagai panglima dan dalam waktu singkat terbentuk hampir di seluruh Indonesia kala itu.

Pasukan KOKAM yang sudah terbentuk dikordinasikan dengan ABRI dan menjadi bagian dari pasukan pemburu dan penumpas tokoh-tokoh dan anggota PKI. Sebagian pasukan KOKAM digembleng oleh pasukan baret merah RPKAD (KOPASSUS) di bawah pimpinan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi Wibowo.

Salah satu kesatuan KOKAM yang terkenal adalah satuan KOKAM Jogya dengan daya tangkal yang tinggi dan dapat melaksanakan tugas operasi dengan baik bersama ABRI dan elemen lainnya, tidak terlepas dari tempaan pasukan RPKAD bahkan menjadi anak emas dan pasukan kebanggaan Kolonel Sarwo Edhi dengan dukungan penuh perlengkapan, baik senjata maupun granat, termasuk seragam KOKAM yang sama dengan seragam pasukan baret merah. Seragam tersebut dipertahankan hingga sekarang yaitu seragam dinas lapangan loreng kemerah-merahan dengan baret berwarna merah pula, identik dengan seragam RPKAD (sekarang KOPASSUS) .

Demikian pula satuan-satuan KOKAM yang ada di Jawa Tengah, juga tidak terlepas dari tempaan dan gemblengan RPKAD atas kordinasi dan instruktsi komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi. Bahkan di Surakarta ada kesatuan KOKAM yang dididik sebagai satuan pasukan inti yang diberi nama fighting flower atau bunga penempah.

Tak sampai disitu saja, hubungan baik antara Kolonel Sarwo Edhi sebagai Komandan RPKAD dengan pasukan KOKAM, namun pada saat operasi pembersihan sisa-sisa PKI selesai dan Pulau Jawa khususnya dinyatakan sudah bersih dari anasir PKI, Kolonel Sarwo Edhie mengundang pimpinan KOKAM ke Mabes Hankam.

Di Mabes Hankam dilaksanakan upacara penyerahan pataka dan sertifikat yang ditandatangani langsung oleh Kolonel Sarwo Edhi sebagai Komandan RPKAD yang menandakan KOKAM sebagai bagian dari pasukan penumpas PKI sebagai bentuk penghargaan dan terimakasih pemerintah dalam hal ini ABRI kepada pasukan khusus Muhammadiyah.

Selamat Milad KOKAM yang ke-69 bertepatan dengan hari kesakitan Pancasila yang ke-69 tahun, semoga KOKAM tetap jaya dengan menjaga muruah perjuangan sucinya menjaga Indonesia yang berdasarkan Pancasila dari bahaya laten komunis.***


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama