-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 10 September 2024
Panggung Puisi dan Launching Buku “Terbawa
Biru Azure” (2):
Penyair Harus Mau dan
Berani Merambah Wilayah-wilayah Diksi yang Berbeda
Oleh: Asnawin Aminuddin
Berawal dari acara rekreasi makan ikan bakar
di Pantai Biru, Makassar, akhir Juni 2024, sejumlah penyair dan penulis kemudian
sepakat membuat antologi puisi bertema laut.
Ide awalnya dilontarkan Presiden Forum
Sastra Indonesia Timur (FOSAIT) Muhammad Amir Jaya, dan disambut antusias oleh
para penyair dan penulis yang berkumpul berekreasi menikmati suasana pantai dengan
deru ombak kecil menyentuh kaki.
Penyair yang juga seorang guru, Andi
Marliah, kemudian mengkoordinir antologi puisi dengan menawarkan kepada seluruh
anggota FOSAIT dan anggota Ikatan Penulis Muslim Indonesia (IPMI) menulis
puisi.
Sebanyak 18 penyair mengirimkan karyanya
dan kemudian terbitlah buku antologi puisi “Terbawa Biru Azure”. Buku itu
diluncurkan pada acara “Panggung Puisi & Launching Buku Puisi Terbawa Biru
Azure”, di Aula UPT Laboratorium dan Pelayanan Kesehatan (Eks Akper Anging
Mammiri), Jalan Wijaya Kusuma Raya, Banta-bantaeng, Makassar, Sabtu, 07
September 2024.
Peluncuran buku dirangkaikan diskusi atau
bedah buku oleh penyair Anil Hukma, dengan moderator Maman Rumaday, serta acara
ulang tahun ke-5 FOSAIT dan ultah ke-2 IPMI. Acara dihadiri sekitar 30-an
penyair, cerpenis, dan novelis Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Barat
(Sulbar).
Para penyair yang hadir antara lain Mahrus
Andis, Ram Prapanca (Asia Ramli Prapanca), Yudhistira Sukatanya, Asmin Amin,
Syahriar Tato, Muhammad Amir Jaya, Anil Hukma, Syahril Rani Patakaki Dg. Nassa,
Daeng Mangeppek, Anwar Nasyaruddin.
Juga hadir penyair asal Sulawesi Barat
yakni Suradi Yasil dan Mira Pasolong, serta sejumlah penyair lainnya, Zahir
Cinta (Zahir Juana Ridwan), Andi Marliah, Efa Patmawati Halik, Kasmawati Yakub
(Jeneponto), Fitra Fajarwati, Nur Fadillah, Dewi Ritayana, Andi Nurhayana,
Syarif Liwang, Rahman Rumaday, Irnia, dan Tofan Arief Wibowo.
Anil Hukma saat tampil sebagai pembedah
buku mengucapkan selamat ulang tahun buat FOSAIT dan IPMI. Ucapan selamat ulang
tahun itu dianggapnya penting karena menumbuhkan dan merawat lembaga atau
komunitas seni membutuhkan semangat dan perjuangan tersendiri, selain karena
peminatnya sedikit, juga sifatnya sosial dan nonprofit.
“Buku antologi puisi yang berjudul Terbawa
Biru Azure dan diluncurkan hari ini tentu menjadi tonggak karya untuk dicatat,
karena merupakan buku puisi yang tematik. Belum banyak karya-karya sastra
terutama puisi yang memilih tema tertentu untuk disuarakan dan dituliskan,” kata
Anil.
Puisi tematik dengan laut sebagai objek
penggarapan, katanya, menjadi menarik karena sebagai orang Sulawesi Selatan,
khususnya bagi orang Bugis Makassar, laut menjadi sangat akrab, karena secara
gerografis masyarakatnya tumbuh berdampingan dengan laut.
Bagi mereka yang hidup di dekat pantai, laut
menjadi pemandangan keseharian dan seakan menjadi permadani biru yang
terbentang untuk dimaknai.
Tentang buku “Terbawa Biru Azure”, Anil
mengatakan, ke-18 penyair yang berkarya dalam buku ini menjadi bukti akan
kemampuan memberi makna tentang laut. Keragaman judul dan daya ungkap puitis
menunjukkan keseriusan dan kedalaman pemaknaan tentang laut.
Dari segi penggarapan, bisa dikatakan laut
menjadi salah satu faktor ekstrinsik bagi penyair. Namun, sesungguhnya bisa
juga menjadi faktor instrinsik, dalam arti laut sebagai personifikasi dari
dalam diri sebagai suatu gemuruh, ketenangan, kegelisahan, yang bisa menjadi
sumber inspirasi dalam berkarya.
“Laut sebagai bagian dari gigir semesta
yang telah ada bersama kehadiran bumi, tentu telah digarap berabad-abad lalu
oleh seluruh penyair, penulis, dan bahkan para filsuf di seluruh belahan bumi.
Namun bagi kita Bugis Makassar, laut adalah keseharian yang digeluti dengan
semua jenis ombak, pertikaian cuaca, bahkan secara mistis sesuatu yang harus
ditaklukkan ketika pantai ditinggalkan dan pelayaran dimulai,” tutur Anil.
Budaya bahari, budaya maritim menjadi kata
familiar dan tentu menantang untuk dimaknai lebih dalam. Terlebih lagi
pergulatan secara fisik dengan laut, seperti nelayan lebih memberi reference
yang kaya karena kita bergaul dan menjadi karib dengan kehidupan kita.
Anil mengatakan, dari 18 penyair yang ada
dalam buku “Terbawa Biru Azire”, terlihat jelas bagaimana tingkat kematangan
dan penggarapan ide terselesaikan. Bahkan ada beberapa yang menggali makna laut
dengan sangat luas, seperti puisi esai dengan menyandingkan dengan tokoh tokoh
dunia seperti karya Mardi Adi Armin.
Demikian juga karya Aslam Katutu yang
menyandingkan antara Selat Makassar dan Selat Bosfhorus di Turki. Bahkan ada
yang menulis: ombak terbahak bahak (Halaman 34, oleh Bukamaruddin).
“Penggarapan tema ini bisa dilanjutkan
dengan menghimpun lebih banyak lagi penulis dengan pemaknaan lebih dalam,
sehingga akan lahir tema bahari atau maritim dari genre sastra yang bukan
puisi, seperti cerpen, novel dan drama, yang bisa berkembang menjadi sastra
bahari,” ujar Anil.
Yang menarik dari buku puisi ini, lanjutnya,
yaitu munculnya diksi-diksi dari bahasa daerah misalnya patorani, tongke-tongke,
dan lainnya (puisi Andi Marliah), yang memperkaya khasanah penulisan diksi puisi
bertema laut.
Anil menilai buku ini telah hadir sebagai
satu karya literasi. Semua karya ini menandakan bahwa penyair menyimpan
kecerdasan puitik, namun ada yang menggarapnya sangat serius, ada juga apa
adanya saja, padahal sejatinya pergulatan penyair terletak pada pilihan diksi
yang ketat. Ini demi membedakan bahwa puisi berbeda dengan lapangnya narasi
berita dan karya fiksi semisal cerpen atau novel.
“Para penyair harus mau dan berani
merambah wilayah-wilayah diksi yang berbeda dan ‘lain’. Pergulatan diksi yang
dilakukan oleh penyair Afrizal Malna memberi pelajaran kebaruan diksi dan tema
puisi, karena bisa mendekonstruksi kata menjadi sesuatu yang baru dalam puisi-puisinya.
Penggarapan diksi dengan tema laut masih sangat terbentang untuk digarap dengan
cara yang baru dan otentik,” tutur Anil.
Tentang FOSAIT dan IPMI, Anil berharap kedua
organisasi ini seiring sejalan apalagi bila dikaitkan dengan misi kepenulisan.
Tema-tema penggarapan di wilayah timur Indonesia dihubungkan dengan ideologi ke-Islam-an
yang mendalam akan melahirkan penyair dan penulis yang berkualitas.
Dengan kesatuan dan kesadaran melakoninya
akan melahirkan derajat insan kamil dalam berkarya dan beribadah.
“Ada pengandaian sangat tepat dan menjadi
pembelajaran sepanjang hayat khususnya bagi penyair/ penulis. Diibaratkan, jika
karya sastra disandingkan dengan ilmu pengetahuan yang kaya dengan pilihan-pilihan
tema. Isaac Newton pernah menulis; ‘Dalam sains, kami seperti anak-anak yang mengumpulkan beberapa kerikil
di pantai pengetahuan, sementara lautan luas yang tidak diketahui terbentang di
hadapan kami,” tutup Anil. (bersambung)