Pilkada Sudah Dekat, Karaeng Masih di IGD

Pertunjukan drama “Sang Karaeng di IGD”, di Aula Perpustakaan Multimedia, Jalan Sultan Alauddin Makassar, Ahad malam, 21 September 2024.

 

------

PEDOMAN KARYA

Senin, 23 September 2024

 

Pertunjukan Drama “Sang Karaeng di IGD”:

 

Pilkada Sudah Dekat, Karaeng Masih di IGD

 

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah dekat, tapi karaeng masih di rumah sakit. Karaeng dirawat di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Dalam situasi seperti ini, di saat karaeng sangat dibutuhkan keberadaannya di tengah masyarakat, saat calon kepala daerah mengharapkan bantuannya, karaeng justru jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit.

Sakitnya tidak jelas dan tidak ada orang yang bisa memberikan informasi. Apakah karaeng sakit biasa-biasa saja atau sakit parah. Banyak anggota keluarga, sahabat, handai tolan datang membesuk. Tapi mereka tidak diperkenankan oleh seorang penjaga. Akibatnya terjadi silang pendapat.

Seorang perawat yang datang ke IGD nyaris disandera oleh tetamu yang sangat ingin mengetahui keadaan terakhir Sang Karaeng, bahkan seseorang yang mengaku sahabat Karaeng, nyaris jadi korban kemarahan tetamu yang sudah frustrasi menunggu.

Di depan pintu ruang IGD, ada tanda VIP Khusus yang berwarna putih tulisan merah, seorang penjaga berdiri dengan muka dingin. Sesaat kemudian berbondong sekelompok orang datang, keluarga dekat, kerabat, handai tolan, kolega. masing-masing menunjukkan perasaan cemas.

“Duh, Pilkada semakin dekat, tapi Karaengta masih di ruang IGD!” kata seorang wanita Anggota DPRD yang turut mendatangi rumah sakit ingin membezuk karaeng, dalam pertunjukan drama “Sang Karaeng di IGD”, di Aula Perpustakaan Multimedia, Jalan Sultan Alauddin Makassar, Ahad malam, 22 September 2024.

Pertunjukan drama “Sang Karaeng di IGD” ditampilkan dua malam berturut-turut, yaitu Sabtu dan Ahad, 21-22 September 2024. Naskah drama ditulis Yudhistira Sukatanya dan dramanya juga disutradarai oleh beliau.

Dalam lanjutan drama ditampilkan para tamu yang ingin membezuk karaeng riuh dalam berbagai bahasa.

“Kenapai karaeng?” tanya seseorang.

Perempuan bernama Daeng Jannang juga bertanya; “Sakit apa ki?”

“Bagaimana mi keadaannya?” tanya Daeng Sekke si Pemarah.

Seorang ustadz bernama Daeng Juma’, juga tak sabaran dan mengatakan, “Kita harus ketemu dengan Karaeng!”

Tamu-tamu yang lainnya setuju, tapi seorang penjaga di IGD menegur mereka.

“Ssttttttt jangan ribut! Apa kalian kurang paham. Ini rumah sakit. Depan ruang IGD, DILARANG RIBUT! Baca itu,” kata si penjaga sambil menunjuk tulisan di dinding depan IGD.

“Kami datang bukan mau belajar membaca. Kami mau membezuk Karaeng!,” jawab para tamu yang mendesak ingin masuk ruang IGD.

“Tidak boleh! Tidak seorang pun diperkenankan membezuk Karaeng!” tegas di penjaga.

“Kenapa dilarang?” tanya para pembezuk kompak.

“Alasannya apa? Kau tidak kenal saya?” tanya perempuan bernama Daeng Sayang.

“Begitu perintahnya. Saya hanya menjalankan perintah. Saya tidak harus kenal dan tidak perlu kenal saudara-saudara!” tegas si penjaga.

“Saya ini Daeng Sayang, keponakan langsung Karaeng. Datang dari pulau seberang dan sudah menghabiskan banyak biaya perjalanan, lalu kenapa dilarang!?” tanya Daeng Sayang.

“Pokoknya, perintahnya begitu,” tandas si penjaga.

“Perintah siapa?” tanya seorang perempuan pengurus panti.

“Perintahnya yang memberi perintah, perintahnya ya begitu!” jawab si penjaga.  

“Wah bagaimana ini? Sudah datang ke sini, tapi juga tidak boleh masuk,” kata Daeng Sayang.

Tamu tamu yang lainnya riuh masing-masing mempertanyakan perintah itu. Ada juga yang terus memprihatinkan keadaan sang karaeng. Sampai suatu ketika ada seorang perawat datang dan bergegas mau langsung masuk ke ruang IGD.

“Ini untuk kamu. Izinkan saya masuk. Saya ini wakil rakyat,” kata Daeng Jannang sambil memberikan sebuah amplop kepada si penjaga.

“Eh, apa ini? Mau menyogok petugas ya? Wakil rakyat yang digaji rakyat, mau menyogok petugas? Atas nama wakil rakyat lagi. Menggunakan uang rakyat lagi,” kata si penjaga.

“Ini kan soal kecil. Jangan besar-besarkan. Nanti bisa viral,” ujar Daeng Jannang dengan suara yang dikecilkan kepada si penjaga.

“Ini bukan soal kecil. Wakil rakyat menyogok petugas, itu masalah besar. Kalau perlu saya viralkan,” kata si penjaga lalu mengeluarkan hape dari kantongnya dan mencoba memotret Daeng Jannang, tapi segera dicegah oleh para tamu.

Perempuang pengurus panti kemudian mengatakan, “Ya, kebaikan-kebaikan yang sulit diukur atau dihitung dengan skala matematika Setiap orang diperlakukannya dengan baik, sangat manusiawi. Saban kita datang kepadanya, kita pulang tidak pernah dengan tangan kosong.”

“Karaeng, selalu memberi dan memberi, memberi. Sebagaian dari hartanya yang berlimpah pun telah ia sumbangkan untuk membangun masjid di tanah yang Karaeng wakafkan, membangun tempat pengajian anak dan menyantuni anak yatim,” ungkap perempuan pengurus panti tersebut. 

Seorang laki-laki pacarita menimpali, “Meski begitu, Karaeng selalu berkata, harta yang ada padanya, bukanlah harta karun yang diwarisi dari moyangnya terdahulu, tapi semata dari hasil kerja kerasnya sejak menjadi seorang sawi perahu Bugis di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, pada berpuluh tahun lalu.”

“Bertahun-tahun ia hidup menderita, bahkan pernah terlunta-lunta, hanya tidur di papan palka. Ia mulanya berasal dari gelandagan pelabuhan yang sering dicap sebagai sampah masyarakat. Kalaupun kemudian berhasil menjadi Nakhoda, kemudian menjadi pemilik perahu dalam jumlah yang banyak, itu diperolehnya tidaklah dengan cara yang mudah, tetapi ditebusnya dengan pengorbanan besar yang nyaris mengambil nyawa,” lanjut pacarita.

 

Cerita Sang Penasehat

 

Pembicaraan yang penuh ketegangan terus berlanjut dan kemudian muncullah sang penasehat. Ia langsung berbicara seperti mengigau yang seolah menerawang. Tetamu mengelilinginya dan terbawa suasana.

“Kita wajib meneladani perilaku Rasulullah Muhammad. Seperti dia, Karaeng ta. Ia tekun, bekerja dan berdagang. la memang jujur dan tidak boros. Ia selalu menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan kesetiaan,” kata sang penasehat.

Karaeng pernah mempertaruhkan jiwa, untuk melindung amanah, menjaga barang dagangan yang sudah ditawar seorang bandar penadah perdagangan gelap, bernilai puluhan juta. la tidak rela mengkhianati nakhoda Karaeng Talli yang telah memberinya kepercayaan.

Demi amanah ini ia bertarung mempertaruhkan nyawanya demi melindungi barang dagangannya dari kaki tangan sang bandar yang coba merampoknya. Nyaris saja luka-luka tikaman di beberapa bagian tubuhnya, membunuhnya.

Semua itu, akhimya mengangkat posisi karaeng ke puncak, kedudukan yang mulia. la diberi banyak harta saat sang Nakhoda Karaeng Talli berpulang ke Rahmatullah. la pun menyandang nama Karaeng pemberian sang Nakhoda, yang menyayanginya layaknya anak sendiri. Ia disanjung laksana raja, karena menyandang kejujuran dan kesetiaan yang sudah sulit ditemukan di zaman sekarang.

“Anak buahnya pun ikut-ikutan memanggilnya dengan sebutan; Karaeng. Karaeng, nama yang lalu bangga disandangnya hingga saat ia haus membaca buku-buku yang bertumpuk untuk memahami itu. Apa makna dari penamaan Karaeng. la memang belum lama punya waktu membaca banyak buku. Karena masa kecilnya dilalui dengan buta aksara lalu ikut wajib belajar. Ia baru bisa baca setelah mendapat sering tugas ronda di gudang-gudang pelabuhan. Berkat jasa seorang mandor jaga yang juga guru bahasa, saat kerja nyambi di malam hari,” tutur sang penasehat.

“Kami terharu, tapi, bukan cerita itu yang kami butuhkan. Kami mau tahu, Karaeng sakit apa?” potong Daeng Jannang.

Daeng Sekke menimpali, “Kita harus tahu penyakit apa yang tengah diderita Karaeng ta!”

“Karaeng, orang baik, bagaimana kabarnya?” tanya Daeng Juma’.

Sang penasehat menjawab, “Belum ada jawaban yang pasti. Sejak Karaeng diterima sebagai pasien beberapa waktu lalu, seluruh petugas rumah sakit di ruang UGD itu seolah mengunci mulut. Alasannya entah apa, orang-orang hanya bisa mereka-reka.”

“Lebaran sebentar lagi dan Karaeng masih terbaring di ruang IGD. Kita disini hanya bisa tertunduk lesu, tidak bisa menemuinya. Bukankah saat-saat seperti ini Sang Karaeng justru membutuhkan empati banyak orang. Menaruh harapan. Demikianlah, harapan selalu terbuka jika ada Sang Karaeng,” ujar Daeng Jannang.

Daeng Juma ikut nimbrung dengan mengatakan, “Ya, harapan. Harapanlah salah satu yang membuat orang-orang di depan ruang IGD ini tidak cepat putus asa. Sabar sesabar-sabarnya. Harapan yang merekat keberadaan mereka, menjadi semacam kesetiaan, ketabahan. Harapan yang mengikat mereka untuk tidak cepat-cepat pulang.”

“Tapi sekarang malam kian jauh terbenam. Kita masih juga tenggelam dalam ketidakpastian,” kata Daeng Sayang.

“Ya. Aku pun terpaksa masih terus setia menyimpan harapan. Rencana Karaeng mengangkatku menjadi Amil Masjid. Masih belum ada ketatapannya. Semua masih menunggu pendapat Karaeng,” kata Daeng Juma.


Sang Penasehat Membuka Topeng


Suasana tersebut berlangsung hingga masuk waktu subuh dan kemudian pagi pun datang. Matahari bersinar terang. Para tamu yang ingin membezuk karaeng kembali berdatangan. Penasehat hadir kembali di suatu tempat di koridor rumah sakit.

“Para pembezuk di depan ruang IGD tidak ada yang mau pulang. Apa yang harus kita lakukan?” tanya perawat.

Sambil menggerutu penasehat mengatakan, “Selalu begitu. Tak pernah berubah. Alasan mereka jelas, tidak ingin dinilai tidak punya hati nurani. Tidak menghargai budi baik dan meninggalkan begitu saja Sang Karaeng, orang yang dijunjung, dihormati, tentu tidak sopan. Apalagi semua saling tahu, bahwa betapa selama ini, masing-masing mereka itu telah menerima berlimpah kebaikan dari Karaeng.”

Seseorang yang mendapat derajat tertentu, akan memperoleh perlakuan yang setimpal pula dengan derajat itu, oleh sebab itu penilian masyarakat menjadi ukuran yang normatif.

Sangat jarang orang-orang yang mau atau mencoba menantang arus penilaian masyarakat, apalagi saat berkerumun begitu. Manusia terlampau banyak dipermainkan oleh pertimbangan-pertimbangan semacam itu, sehingga kadang-kadang untuk menyaru keadaan sesungguhnya, manusia tidak segan-segan memakai topeng kehidupan.

“Topeng kebaikan, kemurahan hati, kelapangan jiwa dan semacamnya. Topeng itu memang mampu menutup keaslian barang sesaat. Tetapi yang di balik topeng itu adalah kenyataan yang lekat tak pernah lekang,” kata penasehat.

“Kegawatan apa yang sedang terjadi pada Karaeng?” tanya Daeng Jannang memelas ingin tahu.

Pengurus panti menimpali dengan mengatakan, “Apa yang sesungguhnya terjadi pada Karaeng, benar-benar tidak banyak yang tahu. Beberapa hari yang lalu, Karaeng memang terlihat tidak sebagaimana biasanya. Di rumahnya yang besar dan mewah itu, ia sering terlihat memandang jauh keluar jendela. Pikirannya bagai mengembara kemana-mana. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Entah apa yang dicarinya. Aku sungguh khawatir rencana pengembangan dan peningkatan daya tampung panti asuhan akan akan tertunda, entah sampai kapan…….Kapan? Kapan?”

“Ya. Tidak banyak yang tahu kalau akhir-akhir ini Karaeng tiba-tiba diserang semacam rasa haus yang menggerogoti kerongkongannya. Haus yang melebihi dahaga seorang petualang di terik padang pasir. Haus yang merindukan oase untuk membilas kerontang di mulut hingga perut dan jiwanya. Karaeng tiba-tiba begitu haus dan ingin segera menceburkan diri dalam telaga ilmu agama. Justru karena itu, semakin membaca buku-buku agama, Karaeng semakin merasa gamang, melayang tanpa pegangan,” kata penasehat.

Daeng Sayang melanjutkan ucapan penasehat dengan mengatakan, “Karaeng memang akhirnya sudah mengakui, bahwa dirinya bukanlah dari kalangan bangsawan yang darahnya biru terjaga. la bukan trah pewaris kerajaan dari garis keturunan yang terhormat. la hanya seorang yang biasa saja dari gelimangan kehidupan yang kotor, bahkan nyaris tanpa asal-usul yang jelas. Ia bukanlah turunan seorang tumanurung yang pernah turun di bukit Tamalate.”

“Karaeng berubah dengan pesat sekali. Ia makin jadi penyendiri. Perenung. Tidak hanya untuk mendalami ilmu-ilmu duniawi, tapi juga ilmu-ilmu agamawi yang mengajarinya agama dan pekerti,” timpal pengurus panti.

Pembicaraan penuh ketegangan di antara para tetamu berlanjut dan penasehat kemudian mengatakan, “Karaeng bingung, bingung…sangat bingung.. Bagaimana caranya tetap memberi infaq, sadaqah, hadiah lebaran, parsel untuk semua kerabat, handal tolan dan koleganya dengan hati yang betul-betul ikhlas. la tidak tahu bagaimana caranya.”

Diam sejenak, penasehat kemudian melanjutkan, “Karaeng telah menceriterakan semua itu dengan terbata-bata pada saya. Semuanya….semuanya. Saya sebagai penasehat Karaeng yang terus berada di sisinya hingga di Kamar IGD, juga tengah bingung. Mungkin sayalah yang paling mesti bertanggung jawab karena telah memberinya buku-buku yang tidak siap dia pahami.”

Setelah berkata begitu, sang penasehat kemudian pergi dengan langkah berat.

Daeng Jannang kemudian bicara dengan nada sedih, “Kasihan Karaeng. Sebagai wakil rakyat, aku malah tak bisa juga membantunya.”

“Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuknya?” tanya Daeng Sayang.

Pembicaraan terus berlanjut dan si penjaga kemudian pergi menyusul sang penasehat diiringi pandangan penuh tanya dari para tetamu. Penjaga membawa setumpuk buku pemberian penasehat dan membagi-bagikannya kepada siapa saja yang ditemuinya di sepanjang perjalanan.

Di suatu tempat yang sunyi, sang penasehat membuka topeng yang dikenakannya.

“Setelah ini kita kemana, Karaeng?” tanya si penjaga.

“Ke masa depan,” jawab sang penasehat.***

***

Pertunjukan drama “Sang Karaeng di IGD” selama dua malam berturut-turut dihadiri ratusan seniman, budayawan, wartawan, akademisi dan lainnya. Sebagian dari mereka, antara lain Mahrus Andis, Armin Mustamin Toputiri, dan Moehammad David Aritanto, kemudian menulis kesan-kesannya melalui media sosial. (asnawin aminuddin)

Dari kiri ke kanan, Asnawin Aminuddin, Fadli Andi Natsif, Syahril Rani Patakaki (pemerang Daeng Juma), Anwar Nasyaruddin, Rahman Rumaday, dan Arwan Awing, foto bersama seusai pertunjukan drama "Sang Karaeng di IGD", di Aula Perpustakaan Multimedia, Jalan Sultan Alauddin, Makassar, Ahad malam, 22 September 2024.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama