-------
Rabu, 18 September 2024
Usman Jasad: Kesalehan
Individu Lahirkan Kesalehan Sosial
MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA).
Islam bukan saja mengajarkan untuk membangun pribadi yang baik, tetapi juga
untuk membangun masyarakat yang baik. Pribadi yang baik sering disebut sebagai
kesalehan individu, sementara masyarakat yang baik sering disebut sebagai
kesalehan sosial.
“Idealnya kesalehan individu itu mampu
melahirkan kesalehan sosial, tetapi kenyataan yang sering terjadi adalah
kesalehan individu belum mampu melahirkan kesalehan sosial,” kata Ketua Lembaga
Dakwah Komunitas Muhammadiyah Sulsel, Dr Usman Jasad.
Hal itu ia kemukaan dalam ceramahnya pada
Pengajian Bulanan Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar yang dirangkaikan
Perayaan Maulid Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW), di Masjid
Subulussalam Al-Khoory Kampus Unismuh, Jalan Sultan Alauddin, Makassar, Selasa,
17 September 2024.
Pengajian dan perayaan maulid dihadiri
Wakil Rektor I Dr Burhanuddin, Wakil Rektor II Prof Andi Sukri Syamsuri, Wakil
Rektor III/IV Dr KH Mawardi Pewangi, para pimpinan fakultas dan lembaga, serta
dosen, karyawan, dan mahasiswa Unismuh Makassar.
“Kalau ada orang melakukan puasa Ramadhan
tetapi sering berbohong, setiap tahun berqurban tapi juga sering mengorbankan
orang lain, melakukan ibadah haji tetapi suka menipu, rajin shalat tetapi
menghardik dan tidak menyantuni fakir miskin, itu berarti orang tersebut baru
memiliki kesalehan individu dan belum memiliki kesalehan sosial,” kata Ustadz
Ujas, sapaan akrab Usman Jasad.
Ustadz Ujas kemudian mengutip Qur’an Surah
ke-107, Surah Al-Ma’un yang terjemahannya, “Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak
mendorong memberi makan orang miskin.”
“Jadi orang yang tidak memiliki kesalehan
sosial, oleh Al-Qur’an disebut sebagai orang yang mendustakan agama. Puasa,
qurban, haji, dan shalatnya dianggap dusta karena dia tidak memiliki kesalehan
sosial,” kata Ustad Ujas.
Salah satu wujud dari kesalehan sosial itu,
lanjutnya, adalah masyarakat yang baik. Masyarakat yang baik telah dicontohkan
oleh Rasulullah SAW dengan sebutan ‘Masyarakat Madani.’
Madani berasal dari Bahasa Arab dari kata
‘tamaddun’ yang berarti peradaban. Dalam Bahasa Inggris dikenal dengan kata
‘civilization’ yang juga berarti peradaban. Makanya ada yang menyamakan antara
masyarakat madani dengan civil society.
Ustadz Ujas mengatakan, Rasulullah diutus
untuk mengubah masyarakat jahilliyah yang biadab menjadi masyarakat madani yang
berakhlak. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
kemuliaan akhlak.” (HR. Baihaqiy)
“Jadi masyarakat yang berakhlak itulah
masyarakat madani. Masyarakat yang tidak berakhlak itulah masyarakat jahiliyah.
Masyarakat yang buang sampah pada tempatnya, itulah masyarakat madani.
Masyarakat yang buang sampah sembarangan itulah masyarakat jahiliyah.
Masyarakat yang tertib berlalu lintas, itulah masyarakat madani. Masyarakat
yang tidak tertib berlalu lintas itulah masyarakat jahiliyah,” tutur Ustadz
Ujas.
Ciri Masyarakat Madani
Ustad Ujas yang sehari-hari dosen Fakultas
Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar,
menyebut empat ciri masyarakat madani.
Pertama adalah lingkungannya bersih. Rasulullah
bersabda, “Buanglah sisa-sisa makanan di gigimu, karena perbuatan itu adalah
kebersihan, dan kebersihan itu akan mengajak (menggiring) kepada iman, dan iman
itu akan bersama orang yang memilikinya dalam surga.” (HR. At-Thabrani)
Hadis ini, kata Ustadz Ujas, menjelaskan
bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman. Jadi kebersihan lingkungan bisa
menjadi salah satu cerminan dari keimanan. Kalau seseorang lingkungannya kotor
berarti imannya tidak sempurna.
“Karena itu, umat Islam seharusnya malu
kalau lingkungannya kotor. Seharusnya ruang shalat di masjid-masjid harus lebih
bersih dari ruang-ruang yang ada di hotel. Seharusnya toilet di masjid-masjid
harus lebih bersih dari toilet-toilet yang ada di mall,” kata Ustadz Ujas.
Ciri masyarakat madani yang kedua,
lanjutnya, yaitu lingkungannya teratur. Islam sangat menganjurkan shalat
berjamaah dengan memberikan ganjaran pahala 27 kali lebih baik dibandingkan
dengan shalat sendiri, karena melalui shalat berjamaah inilah Islam ingin
mengajarkan tentang social order atau keteraturan sosial.
“Dalam shalat berjamaah shaf harus
teratur, lurus, dan rapat. Seolah-olah Islam ingin berpesan, wahai umat Islam
aturlah shafmu dan tertiblah berlalu lintas. Seolah-olah Islam ingin
mengajarkan, wahai umat Islam luruskanlah shafmu dan antrilah dengan teratur di
fasilitas-fasilitas umum, karena Islam mengajarkan keteraturan sosial, maka
umat Islam seharusnya malu kalau melanggar rambu-rambu lalu lintas dan tidak
bisa mempraktekkan budaya antri,” papar Ustadz Ujas.
Ciri masyarakat madani yang ketiga adalah menghargai
perbedaan. Masyarakat yang hidup di Madinah pada masa Rasulullah beragam dalam
hal suku bangsa.
Sahabat Rasul yang bernama Bilal adalah
keturunan suku Habasyah (Ethopia). Sahabat lain yang bernama Salman al-Farisi
adalah keturunan Persia. Meskipun beragam, mereka bisa hidup dengan rukun dan
damai. Jadi Islam mengajarkan untuk menghargai perbedaan.
Perbedaan-perbedaan di antara kita,
seperti perbedaan suku bangsa, organisasi sosial keagamaan, dan aspirasi
politik, jangan menjadi penyebab yang dapat memutuskan tali persaudaraan.
Dalam bilik suara boleh beda pilihan
partai, tetapi di luar bilik suara kita adalah satu Indonesia. Dalam bilik
suara boleh beda pilihan presiden, tetapi di luar bilik suara kita adalah satu
umat Islam.
“Musuh kita, bukan Muhammadiyah, NU, FPI,
dan Hizbut Tahrir. Musuh kita bersama adalah kebodohan dan kemalasan. Al-Qur’an
menyebutkan bahwa setan adalah musuh yang paling nyata. Setan itulah yang
mewujud dalam bentuk kebodohan dan kemalasan yang bisa membuat umat Islam
tertinggal dari umat-umat yang lain. Jagalah persaudaraan dengan menghargai
perbedaan,” tandas Ustadz Ujas.
Ciri masyarakat madani yang keempat adalah
masyarakatnya menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf artinya
mengajak kepada kebaikan. Nahi munkar artinya mencegah kemungkaran.
Ustadz Ujas mengutip QS 3/Ali Imran, ayat
104, yang terjemahannya, “Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”
Rasulullah bersabda, “Siapa yang melihat
kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan
lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut
adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)
“Yang menegakkan kebenaran dengan tangan
atau kekuatan adalah umara dan para wakil rakyat di parlemen. Jadi pejabat
harus menggunakan kekuasaanya untuk menegakkan kebenaran bukan memperkaya diri
sendiri dan kelompoknya. Anggota parlemen harus memperjuangkan kepentingan
rakyat yang diwakilinya,” tandas Ustadz Ujas.
Yang menegakkan kebenaran dengan lisan,
lanjutnya, adalah para ulama. Ulama harus terbebas dari kepentingan dunia dalam
menyuarakan kebenaran. Ulama tidak boleh menjual ayat-ayat Allah untuk
kepentingan duniawi.
“Yang menegakkan kebenaran dengan doa dalam hati adalah rakyat,” tutup Ustadz Ujas. (win)