------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 09 Oktober
2024
Agama dan Profesor
Klenikan
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Kali ini akan dimulakan dengan
penggalan goresan saya di Pedoman Karya 15/9/2024: “Beragama Buram Bergondokan
Siamangan.”
Agama ditakdirkan memang hadir
tidak lain adalah untuk membakar arogansi sehingga mencairkan logika jiwa batin
agar nurani lebih bening dan cemerlang di dalam perilaku. Esensinya tidak lain
agar kehidupan supaya semakin berseri, baik di dunia hingga berakhiratan.
Hal itu, tidak lain tujuan
utamanya, ialah berguna untuk saling mencerahkan satu sama lain, _ hingga
berbuah rahmat lil alamin bermata batin semesta. Manakala, belum jua demikian,
berarti esensi keagamaan belum meresap sebagai kiblat diyakininya masing-masing.
Maka, agama tidak hanya
lengket dan tulen pada aksesoris identitas formalitas semata tanpa makna apa-apa.
Kemudian, agama mestinya dimaknai dan diamalkan dengan perpaduan antara batin
berlogika cemerlang bukan dengan otak berisian di dalam jeroan/kotoran untuk
close_an.
Otak isi jeroan demikian,
justru yang dapat menggoyahkan agama diyakini dan akan lebih berarti dari
animal 'Asfala safilin' dikiasin oleh Tuhan.
Goyah Juga Koyakan
Kesan tersebut sehingga saya
ikut nimbrung berkomentar pada artikel yang ditulis oleh: Asnawin Aminuddin,
bertopik “Ketika Iman Tergoyahkan: Refleksi di Tengah Kekaguman pada Agama Lain.”
(Ahad, 06 Oktober 2024).
Lebih kurangnya, itu adalah
bagian sensasinya sehingga makin galau gulana saja.
Dulu, saya teringat sahabatku
Dr. Mukhaer Pakkanna, lagi kuliah S1, beliau dituduh liberal karena menulis
artikel di Kompas, tentang Dinamik logika pemahaman agama.
Bahkan Buya Syafii Maarif
(almrh), Prof. Dien Syamsuddin, dan Prof A Munir Mulkam, pun dituduh
demikian. Ternyata sebagian dari penuduh, juga lebih galau dan gandrung
pada buhulan dengan klenikan pula.
Padahal para penuduh
sesungguhnya, hanya merasa diri paling beragama dengan keseringan berkhutbah
nan berkopiah serta bersorbanan.
Di samping, para penggemar
klenikan pun telah bergelar akademisi yang maksimal secara administratif an
sich dan plus jadi pimpinan perguruan tinggi.
Penuduhan demikian yang justru
lebih Zero dalam menggoyahkan dan mengkoyakkan keyakinan beragama yang
sesungguhnya.
Bahkan bukan tidak mungkin
lagi, manakala kelakuan logika isi jeroan saja yang terus dikloning di kampus
akademisan, tentu akan melahirkan output yang berotak banian kolonial/penjajah
berpikiran isi jeroan saja.
Manakala, berbeda gagasan
dengan orang yang lebih cerdas, maka mereka akan berjurus dengan klenikan ala
bani kolonial yang sangat bejat berisi dalam jeroannya. Bahkan menganggap orang
lain selain kerumunan bani kolonialnya, dianggap sebagai ancaman mesti
disingkirkan dengan cara apapun, termasuk bergaya sok sopan ala silumanan di
dalam buhulan klenikan.
Semestinya, bila tidak
berkenan dengan logika orang lain yang lebih brilian, maka eloknya berkarya
juga yang lebih dari itu bukan lakukan klenikan.
Manakala, merasa tak memadai
logikanya dikarenakan kadar radius pikirannya berisi jeroan saja, maka akan
lebih adem mungkin lebih baik diam tanpa nyengiran dan berklenikan pula.
Karya Tanpa
Nyengiran
Bila tak berkenan dengan karya
cipta orang lain, maka eloknya kita lawan pula dengan karya juga yang lebih
berkenan. Bukan lawan dengan gondokan tentang hasil karya orang lain, hingga
nyengiran, bah tembolok Siamang bergantung di belakang tebing.
Eloknya, tunjukkan karya bukan
unjukin gigi dengan nyengiran Siamang pada karya orang lain, itu baru logisan
nan berakademisi brilian. Tetapi, kalau tak juga, maka pilihannya mungkin lebih
baik diam akan lebih menawan.
Sekalipun, tak dipaksa untuk
demikian, tetapi minimal saling menghargai kepada orang lain yang telah
berkarya. Minimal hal demikian, adalah mungkin juga sebagai wujud karakter
keadaban kemanusiaan yang berpengetahuan santun jadi hamba Tuhan.
Apalagi sebagai akademisi yang
telah meraih titelan tertinggi, baik pada tingkat doktor maupun terlebih
lagi profesor yang telah dikukuhin secara administratif juga sesuai
digelutinya, dan selain ada juga yang kegandrung pada klenikan.
Profesor Klenikan
Bagian sub ini, sengaja saya
hadirkan kembali dikarenakan makin berkaitan dengan esensi komentar saya pada
tulisan Asnawi Aminuddin di atas.
Esensi profesor juga sama
dengan para ulama/ustad/kiai di pesantren atau guru juga di sekolahan. Namun,
ia lebih tinggi dikit maknanya secara administratifikasi dibanding guru,
sehingga diidentikkan dengan maha guru.
Dulu, paling pantas dipanggil
maha guru, adalah para imam mazhab atau ulama yang tersohor dan diyakini
keteladanannya di dalam berkarya dan sesuai ucapan plus tindakan nyata menjadi
cerminan perbuatannya.
Termasuk, karya-karya yang dipublikasikan dan buku-bukunya adalah bukan dari hasil karya tulisan muridnya
dan dibuatin oleh orang lain. Apalagi, mau plagianisme/pencuri karya dengan
melupakan dan mematilan esensi dari akar tapak jejak pengarang yang
sesungguhnya. Sebagaimana, kelakuan sebagian dari para pelakon klenikan.
Ulama/ilmuwan tersohor masa
silam, mereka berkarya dan berbuat hanya takut kepada Tuhan, demi pengabdi
kepada_Nya, dan tidak berani mengkhianati serta menodai pesan cinta dari para
nabi yang diyakininya.
Sesungguhnya, Buya Syafii
Maarif (almarhum), Prof Din Syamsuddin, Prof A Munir Mulkan, dan Dr
Mukhaer Pakkanna, yang mereka tuduh Islam liberal pun, justru mengikuti tapak
jejak para ulama yang tersohor.
Di mana dalam karyanya, mereka
buat sendiri dengan kecerdasan tinggi, dan tidak dibuatin oleh orang lain.
Bahkan, mereka rutin baca tafsir selepas shalat subuh, dan rutin berpuasa Senin-Kamis,
dan saya berani jadi saksi di hadapan Tuhan.
Mungkin tidak sama dengan
dicenderungin oleh para penuduh dan plus sebagai pengrajin yang meyakini
tentang klenikan. Baik secara indra kasar maupun mata batin di dalam
berhalusinasi, termasuk di dalam berkarya. Bahkan sebagain dari para penuduh,
di dalam berkarya pun, mereka terlalu berani menghilangkan jejak penemu gagasan
aslinya.
Bukankah terlalu berani menghilangkan
keaslian jejak demikian, sangat bertentangan dengan keyakinan beragama
sesungguhnya. Bahkan karakter pelakuan klenikan, memang terbiasa dengan
senyapan guna menghilangkan jejak agar tidak diketahui buhulannya. Kelakuan
yang suka buhulan, adalah juga menjadi karakter Abā Wastakbara dengan sengaja
menodai agama yang diyakininya.
Sekalipun, mereka tahu hal
klenikan, sangat dilarang oleh agama dan dibenci oleh Nabi dan Tuhan, namun
tetap saja dilakukannya sebagai profesinya.
Tentu, tidak semua akademisi
yang menjadikan agamanya sebagai tumpangan, namun masih ada juga profesor yang
benar-benar lillah, sekaliaun tertuduhin liberal. Bahkan KH Ahmad Dahlan,
awalnya dituduh kiai kafir dikarenakan membawa pembaharuan di dalam pemahaman
agama yang benar, termasuk memberantas klenikan dengan mendirikan lembaga
pendidikan yang mencerahkan.
Namun, disayangkan lembaga
pendidikan untuk mencerahkan logika keagamaan justru dinodai oleh sebagian para
pelakon siluman klenikan, bah musang berbulu ayam potong.
Wallahu alam.