-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 13 Oktober 2024
Kenapa
Nekad Mencalonkan Diri?
Oleh: Aslam Katutu
Tentu tidaklah bermaksud
mendahului Agenda Debat Pilwalkot Makassar yang akan diadakan oleh KPU.
Inisiator penerbitan buku dari Komunitas K-Apel yang berjudul; “Jika Saya
Menjadi Wali Kota Makassar” Rahman Ramaday, mengadakan acara Launching Buku
dengan tema: “Mengutui Isi Kepala Calon Wali Kota Makassar”, di Hotel UIN Alaudin,
Jalan Sultan Alauddin, Makassar, Ahad, 13 Oktober 2024.
Narasumber pertama yang
dihadirkan adalah Calon Wali Kota Makassar, Muhammaf Amril Arsyid SP. Sebanyak 34
penulis yang tulisannya dimuat di dalam buku itu, sebagian besar hadir dalam
acara tersebut yang sudah menunggu lebih satu jam dari jadwal yang sudah
ditentukan oleh panitia. Menunggu kehadiran Calon Wali Kota bernomor urut empat
yang terlambat tiba di tempat acara berlangsung.
Saya sebagai salah satu
penulis di dalam buku tersebut, mendapat kesempatan kedua untuk mengutui calon
wali kota, walaupun sebenarnya saya sudah berusaha mengacungkan tangan pertama
kali.
Saya mengacungkan tangan
karena saya selalu ingin menjadi nomor satu (kode keras nomor urut Mulia), tapi
ternyata MC, Arwan Awing, memberi kesempatan pertama kepada sastrawan,
budayawan, dan penulis senior Yudhistira Sukatanya untuk menyampaikan ulasannya
untuk mengutui kandidat wali kota tersebut.
Beliau lebih banyak menyoal fasilitas
kesenian yang belum memiliki tempat khusus yang dapat digunakan oleh para budayawan
dan sastrawan di Kota Makassar ini.
Saya selaku salah satu penulis
buku dimana tulisan saya secara vulgar saya beri judul “Wattunnami”
menyampaikan apresiasi kepada inisiator penulisan buku ini dan juga
menyampaiakan acara ini sangat saya nantikan, bahwa sering saya tanyakan kepada
inisiator kapan ada forum untuk mempertemukan antara 34 penulis dengan
masing-masing calon wali kota Makassar ini. Alhamdulillah, hari ini terlaksana
pertama kali.
Kritikan pertama saya
layangkan kepada inisiator kenapa harus kandidat nomor empat yang terlebih
dahulu dihadirkan bukan berdasarkan nomor urut? Apakah berkaitan dengan sampul
buku yang dominan berwarna orange bermaksud warna pengusung kandidat nomor
empat? (Pedas tapi bercanda, jadi terasa tetap mulia).
Diskusi ini berlangsung
santai, akrab dan penuh canda karena dari awal pembukaan, saya menyampaikan
bahwa ini bukan panggung politik tapi forum ilmiah, yakni diskusi antara calon
wali kota dengan 34 penulis buku.
Tidak boleh ada yang baper,
marah dan tersinggung jika saya melemparkan kritikan-kritikan pedas kepada
kandidat sebagai narasumber. Apalagi judulnya “Mengutui Isi Kepala Calon Wali
Kota Makassar.”
Agak menyeramkan dari kata
“kritikan”, lebih sarkasme dari istilah debat kandidat yang akan dibuat oleh
KPU, sehingga konon ada salah satu kandidat tidak berani hadir dalam forum
ilmiah ini.
Saya memperkenalkan diri
sebagai anggota Tim Pemenangan Mulia. Secara vulgar saya juga menyampaikan
dalam tulisan saya di buku tersebut yang berjudul “Wattunnami” bahwa saya Tim Sukses
Appi-Mulia.
Berbeda dengan penulis-penulis
lainnya, saya vulgar menyampaikan bahwa warga masyarakat Makassar yang baik
harus ikut menyampaikan pilihannya pada Pilwalkot nanti, dan harus punya
pilihan, jangan golput dan pilihan itu harus satu, tidak boleh dua, tiga, apalagi
empat, karena kalau lebih dari satu suara kita akan batal. Disambut dengan
tepuk tangan dan tawa peserta yang hadir.
Sekali lagi suasana tidak
panas, santai dan penuh canda. Tak boleh ada yang baper, tersinggung atau
marah, sudah menjadi kesepakatan dari awal.
Kehadiran kandidat yang sangat
telat tiba di lokasi acara menjadi bahan sarkasme pertama saya kepada Amril
Arsyid, bahwa bagaimana bisa menjadi seorang pemimpin yang baik kalau tidak
menghargai waktu? Belum apa-apa sudah terlambat.
Lalu saya juga menyampaikan
bahwa di tahun 2007 lalu, ketika saya memiliki popularitas yang baik, karena
sedang membangun proyek nasional jalan tol seksi empat, ditambah setiap malam
tampil di TVRI Sulsel membawakan lagu religi selepas buka puasa, ada candaan
dari beberapa kerabat bahwa saya pantas mencalonkan diri sebagai calon wali
kota Makassar saat itu.
Dengan merem-mesem, saya
bilang saya tau diri bahwa tidak mungkin saya mencalonkan diri sementara saya
tidak punya dana sebagai ongkos politik, dan lagi punya saya ini bukan orang
partai. Lalu pertanyaan saya kepada kandidat, “Kenapa Anda nekad mencalonkan
diri?”
Amri Arsyid, yang rupanya
beliau banyak memiliki persamaan gagasan dalam narasi yang saya tulis di buku
itu, (ataukah memang gagasan saya yang sempat beliau baca dan lalu menyampaikan
kembali dalam acara ini, hehehe…hanya prasangka saja) menerima kritikan saya
ini, karena beliau mengakui senang dikritik dan berterima kasih kepada saya.
Katanya ini bukan mengutui lagi, tapi sudah menguliti. Hahaha.
Kenapa nekad? Beliau mengakui
benar-benar nekad dengan mempertimbangkan beberapa hal, salah satunya adalah
kondisi terkini para kaum muda alias Gen-Z yang mengkhawatirkan mulai
kehilangan sopan santun dan tata krama serta budaya akibat perkembangan
teknologi, sehingga beliau terpanggil mencalonkan diri untuk lebih berperan
pada pembangunan sumber daya manusia.
Dalam hati saya berpikir
asimetris, berarti Makassar yang selama ini baik-baik saja, dimana tidak ada
kerusuhan, tidak perlu di“AMAN”kan (dibuat aman) tapi harus di”MULIA”kan
(dimuliakan hatinya)…….hehehe.
Tunggu saatnya, calon kandidat
Munafri Arifuddin akan mendapat giliran yang sama pada berdiskusi ilmiah dengan
34 penulis buku akan datang. Sekian, Muliaki semua.***