------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 06 Oktober 2024
Ketika Iman
Tergoyahkan: Refleksi di Tengah Kekaguman pada Agama Lain
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Komisi Kominfo MUI Sulsel / Majelis Tabligh Muhammadiyah Sulsel)
Sebuah video yang memperlihatkan sosok
mantan menteri, mantan direktur utama salah satu BUMN, seorang pengusaha,
sekaligus wartawan dan penulis, tengah berpidato dalam sebuah acara, kini viral
di media sosial. Dalam video tersebut, ia berbagi kekagumannya terhadap sebuah
agama baru yang berkembang pesat di salah satu negara Asia.
“Di sana diajarkan bahwa agama ini tidak
boleh memiliki tempat ibadah. Umatnya juga dilarang melaksanakan sembahyang
dalam bentuk apapun. Tidak ada doa, tidak ada rumah ibadah, tidak ada ritual
sembahyang,” ungkap sang mantan menteri dengan penuh kekaguman.
Bukan kali pertama ia menjadi sorotan. Tahun lalu, video pendek lainnya juga sempat beredar luas, memperlihatkan dirinya mengangkat sebuah patung dewa berukuran kecil dengan penuh kehati-hatian, membawanya menuju altar di sebuah klenteng.
Beberapa waktu yang lalu, ia menulis sebuah
artikel berjudul “Pikul Agama” dan mengisahkan partisipasinya dalam memikul
tandu Dewa Cheng Ho di sebuah klenteng lainnya.
Apa yang ia lakukan—dari kekagumannya
terhadap agama baru hingga memuja dewa-dewa dalam upacara keagamaan—tentu
menimbulkan pertanyaan besar. Sebagai seorang muslim, tindakan tersebut
seharusnya tidak dilakukan.
Pengagungan terhadap dewa-dewa dalam agama
lain adalah hal yang bisa menggoyahkan keimanannya, bahkan berpotensi
mengeluarkannya dari agama Islam.
Dua video yang tersebar luas di media
sosial dan platform berita, tentu menjadi perbincangan hangat di tengah
masyarakat. Tak sedikit yang merasa terkejut melihat sosok yang dulunya
dianggap sebagai tokoh panutan, kini terlibat dalam ritual keagamaan yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa bahkan dengan cepat mencap dirinya telah
murtad—keluar dari Islam.
Bahkan, kabarnya seorang saudara dekatnya
telah memohon agar ia tak lagi menggunakan nama ayah mereka di belakang namanya,
karena ayahnya pasti akan merasa sedih jika melihatnya mengikuti ritual di
klenteng. Pernyataan ini tentu memancarkan betapa dalamnya kekecewaan yang
dirasakan keluarganya.
Lalu, apa yang menyebabkan seorang muslim
bisa terpesona dengan agama lain, bahkan sampai terseret jauh dan kehilangan
identitasnya sebagai seorang muslim? Salah satu jawabannya terletak pada
kurangnya pemahaman yang mendalam tentang agama Islam itu sendiri.
Seorang muslim yang jarang mendatangi
masjid, jarang melaksanakan shalat berjamaah, abai dalam membaca Al-Qur’an, dan
jauh dari pengajian serta kajian agama, cenderung memiliki iman yang rapuh.
Mereka yang lebih banyak membaca buku-buku
pengetahuan umum, sejarah tokoh-tokoh dunia, atau ideologi non-Islam, dan
bergaul dengan orang-orang yang juga jauh dari nilai-nilai Islam, lama-kelamaan
akan merasakan ketidakseimbangan dalam pemikirannya.
Ketika pengetahuan agama tidak dikuatkan
dan lebih sering terpapar oleh ide-ide luar yang menyilaukan, tak heran jika
imannya tergeser oleh pandangan lain yang lebih mendominasi. Inilah yang
mungkin terjadi pada tokoh kita.
Tentu sangat disayangkan jika tokoh
panutan, yang telah diberi nikmat menjadi seorang haji dan berkesempatan
beberapa kali melaksanakan umrah, terjerumus ke dalam jalan yang jauh dari
ajaran Islam.
Pengaruhnya sebagai seorang publik figur
bisa membahayakan keimanan muslim lainnya, karena tindakan dan pandangan yang
menyimpang dari Islam bisa dengan mudah ditiru oleh orang yang mengaguminya.
Harapan kita semua, semoga tokoh ini
segera tersadar dan kembali ke jalan yang lurus, memeluk Islam dengan sepenuh
hati. Sebuah kehormatan besar baginya telah berkesempatan mengunjungi
Baitullah—tempat yang didambakan oleh banyak muslim di seluruh dunia.
Semoga kesadaran dan penyesalan
menghampirinya, agar ia kembali ke pelukan rahmat Allah SWT, sebagaimana ia
pernah menikmati manisnya ibadah haji dan umrah.***