-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 07 Oktober 2024
Parpol Semata-mata
Mencari Kekuasaan dan Jabatan
Oleh: Abu Hamid
Indonesia sudah cukup berpengalaman
melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) dan partai politik (Parpol) pun silih
berganti sebagai peserta Pemilu. Sayangnya, sebagian besar Parpol peserta
Pemilu tersebut boleh dikata tidak jelas identitasnya.
Ada beberapa parpol yang hampir sama saja
idenya. Pertanyaannya, apa sesungguhnya yang ingin dicari, ingin diterapkan,
dan ingin dibangun oleh parpol bersama para pengurus dan anggotanya?
Jawaban paling simpel adalah mereka
semata-mata hanya mencari kekuasaan dan jabatan, padahal Parpol dan para
politisi seharusnya membina budaya, mempertahankan nilai-nilai kebudayaan,
mengembangkan kebudayaan.
Yang terjadi justru sebaliknya. Parpol dan
politisi tidak membina budaya. Budaya yang tumbuh di tengah masyarakat adalah
budaya ingin menggapai kekuasaan dan ingin mencari jabatan. Akibatnya,
kebudayaan merasakan diri dikendarai saja oleh kekuasaan, padahal seharusnya
kekuasaan mengambil alih nilai-nilai budaya dalam menjalankan kekuasaan dan
Parpol.
Dengan tidak dibina dan tidak
dikembangkannya kebudayaan, generasi muda pun ikut terpancing memburu kekuasaan
semata-mata. Generasi muda tidak lagi merasakan tebalnya nasionalisme dalam
diri mereka, karena kekuasaan tidak lagi berupaya memantapkan nasionalisme
dalam diri generasi muda.
Pada akhirnya, masyarakat yang semakin
cerdas merasa jenuh melihat kekuasaan yang berjalan sekarang, bahkan mungkin
pada suatu waktu nanti rakyat tidak lagi mempercayai kekuasaan, termasuk Parpol
dan politisi yang jumlahnya sangat banyak.
Para penguasa dan politisi mungkin tidak
menyadari bahwa masyarakat kini semakin cerdas, karena jumlah sarjana,
magister, dan doktor terus bertambah. Sebaliknya, para calon penguasa dan para
calon legislator (caleg) yang muncul dewasa ini tidak jelas dari mana asalnya
dan apa prestasinya.
Tiba-tiba mereka muncul. Tiba-tiba mereka
tampil dengan baliho besar-besar. Tetapi tidak jelas apa prestasinya, sehingga
masyarakat yang semakin cerdas akhirnya tidak lagi mempercayai para calon
penguasa dan calon legislator.
Idealnya, calon penguasa dan calon
legislator adalah orang-orang yang berprestasi dan sudah melalui proses
berjenjang. Sebagai contoh, calon Presiden Amerika Serikat haruslah seorang
senator atau pernah menjadi gubernur. Mereka juga umumnya sudah doktor (S3).
Dengan demikian, calon presiden Amerika Serikat itu benar-benar sudah teruji
kerja dan kemampuannya, begitu pula prestasinya.
Sementara calon penguasa dan calon
legislator di Indonesia, umumnya tidak jelas latar belakang pendidikan dan
prestasinya.
Dengan format Pilkada dan Pemilu sekarang
ini, bisa saja hanya orang memiliki banyak uang atau preman yang punya banyak
uang yang jadi calon penguasa atau calon legislator. Setelah menjadi penguasa
atau duduk sebagai anggota dewan, barulah mereka mempopulerkan diri.
Zaken Grupen
Pada zaman dahulu, memang tidak ada partai
politik, tetapi ada pengelompokan-pengelompokan semacam kelompok kerja (yang
dalam bahasa Belanda disebut zaken grupen atau kelompok kerja) yang dibentuk
oleh raja.
Orang-orang yang direkrut masuk dalam
kelompok kerja itulah yang berfungsi sebagai wakil rakyat dan menjalanlan
fungsi kerajaan. Kelompok kerja itu dibentuk untuk mempertahankan eksistensi
kerajaan (negara).
Orang-orang yang direkrut masuk dalam
zaken grupen itu adalah tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh, jadi mereka
memang benar-benar refresentasi perwakilan rakyat.***
-----
Keterangan:
-- Artikel opini ini didaur ulang oleh
Asnawin Aminuddin dari hasil wawancaranya dengan Prof Abu Hamid pada tahun 2008. Saat
itu, Prof Abu Hamid menjabat Rektor Universitas 45 Makassar (sekarang
Universitas Bosowa Makassar)
-- Prof Abu Hamid adalah antropolog dari
Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dan penulis buku: “Syekh Yusuf Seorang
Ulama, Sufi, dan Pejuang”
-- Prof Abu Hamid lahir di Sinjai,
Sulawesi Selatan, pada 03 Maret 1934, dan meninggal dunia pada 23 Mei 2011 di
Makassar