Raodatul Jannah dan dua lukisannya. (Foto: Rusdin Tompo) |
----
PEDOMAN KARYA
Senin, 21 Oktober 2024
Raodatul
Jannah dan Warna-warni String Art Bergaya Pop-Art
Oleh: Rusdin Tompo
(Penulis dan Pegiat Literasi)
“Saya senang ketika orang bisa
menikmati karya saya.” Itu yang disampaikan Raodatul Jannah, saat kami pertama
kali bertemu di Pelataran Sao Panrita, Jalan Malengkeri Raya, Parang Tambung,
Makassar, pengujung September 2024.
Malam itu, saya diundang oleh
Amir Hafid Rimba, dosen pembimbingnya, untuk bertemu dengan Raodatul Jannah dan
dua temannya, Ainun Zariya (Shella) dan Nurul Irsan Asrul (Pado), guna
membicarakan rencana pameran mereka, pada tanggal 28-30 Oktober 2024 nanti.
Perempuan asal Desa Bone, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa, datang membawa dua
karyanya berukuran 80 x 80 cm.
Setelah mengamati dua karyanya
itu dari jarak kira-kira 2 meteran, saya katakan bahwa satu karyanya
menggambarkan gajah, yang satunya berupa harimau. Karya string art perempuan
kelahiran Sungguminasa, 24 Mei 2000, yang hobi nonton dan suka mendengarkan musik
itu, bergaya pop-art, dengan warna-warni mencolok dan kontras.
Popular art atau pop-art,
merupakan aliran seni yang memanfaatkan simbol-simbol dan gaya visual dari
media massa dan media sosial.
Seni pop ini berkembang sejak
tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Inggris. Istilah pop-art diciptakan oleh
Lawrence Alloway, kurator dan kritikus berkebangsaan Inggris, untuk
menggambarkan bentuk seni baru yang terinspirasi dari budaya populer (pop culture),
media baru, dan reproduksi massal.
Seni ini muncul sebagai
respons terhadap perubahan lanskap era pasca-Perang Dunia II. Cirinya, antara
lain, menggunakan objek-objek umum, menjadikan hal-hal biasa sebagai karya
seni, serta memiliki warna-warni cerah dan mencolok.
Karya string art mahasiwa yang
lahir di akhir milenium kedua ini—berdasarkan kalender Gregorian—mengingatkan
kita pada Wedha Abdul Rasyid, seniman grafis yang karyanya rutin muncul di
majalah remaja HAI.
Wedha melukis dengan teknik
yang disebutnya Wedha’s Pop Art Potrait (WPAP) dan mempopulerkannya sejak tahun
1990. Objek gambar, pada teknik ini, dipecah sesuai faset wajah dan warna-warna
beragam tetapi kemudian menciptakan harmoni warna yang unik dan menarik.
Garis-garis pada objek itu bagai serpihan-serpihan mozaik, yang membawa kita
pada aliran kubisme.
Terasa bahwa sebagai mahasiswa
Semester XI, Jurusan Pendidikan Seni Rupa Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Raodatul Jannah,
secara teknis sudah punya kematangan menarik benang smock dengan pola tertentu
dari satu paku ke paku-paku lainnya di atas papan kayu berbentuk bujur sangkar.
Benang-benang yang ditarik
dari satu paku ke paku lainnya itu, menghasilkan bentuk-bentuk geometris,
mentransformasikan objek asli menjadi objek baru dengan kualitas estetika yang
mencirikan perupanya.
Apa yang dihasilkan Oda, tentu
melalui proses panjang dan lama. Sebab, terlebih dahulu, dia mesti membuat
sketsanya dengan pensil, lalu mulai menancapkan paku satu demi satu pada papan
setebal 3 cm.
Jarak antara masing-masing
paku, yaitu 2-3 cm supaya proses smocking lebih dinamis ketika ditarik dari
satu titik paku ke titik paku lainnya, sesuai dengan pola yang diimajinasikan
dirinya sebagai perupa. Agar benang-benang yang dililitkan itu tak mudah lepas,
maka direkatkan dengan menggunakan lem korea.
Oda, begitu sapaan akrabnya,
menilai pengalamannya terkait studi khusus ini lebih menekankan, sekaligus
memperkuat pandangan positifnya bahwa dia mampu membuat karya string art.
Bahkan, menurutnya, studi khusus ini juga merupakan salah satu wadah di mana
dia bisa menemukan karakter dalam berkarya.
Padahal, sebelumnya, dia ragu
melakukannya. Dari ragu, kini membuatnya lebih yakin untuk berkarya lewat
string art. Pembelajaran lainnya yang diperoleh, yakni selama mengerjakan studi
khusus ini, dia merasa lebih teliti dan lebih sabar dalam mengaitkan benang-benang
kreasinya tersebut. Semua proses pembuatan kriya string art yang dijalani
hingga sekarang, mampu membentuk visual tertentu, yang menghasilkan sebuah
karya seni.
Oda punya alasan tersendiri,
mengapa menekuni string art, dan menjadikan string art sebagai karya yang akan
dipamerkan. Pertama, karena dalam lingkup seni rupa Unismuh, dia jarang
mendapati karya seperti itu. Kedua, sebab dia memiliki ketertarikan terhadap
karya string art itu sendiri.
Ketiga, sejak pertama kali
membuat karya string art, dia sudah tertarik dan terus tertantang untuk membuat
karya string art selanjutnya. Jatuh cinta pada pengalaman pertama itulah yang
membuatnya antusis untuk terus menghasilkan karya string art hingga saat ini.
Sejak semula, kisah Oda, karya
string art yang dibuatnya mengangkat objek yang sama, yaitu hewan. Dia
beralasan bahwa karya string art-nya lebih mengarah pada objek hewan, lantaran
sejak awal membuat karya string art, dia memang lebih tertarik terhadap objek
hewan. Sebab, katanya, lekukan postur tubuh hewan itu memudahkan dia dalam
berkarya. Apalagi sebagai pemula, yang baru mulai menggeluti string art pada
awal Maret 2024. Jadi, boleh dikata, belum terlalu lama, meski karya-karyanya
sudah layak pamer.
Keunikan karya-karya string
art yang dihasilkan Oda, ada pada patahan-patahan yang terbentuk dari tarikan
benang yang membentuk garis-garis lurus, dari satu paku ke paku lainnya.
Menurutnya, dalam setiap
bentuk dan warna yang tidak simetris inilah yang kemudian mampu menghasilkan
keindahan karyanya. Tampilan warna-warni karyanya terkesan tidak singkron,
saling tabrak, tapi justru mampu menghasilkan perkawinan warna yang unik dan
enak dipandang mata. Itulah daya tarik karya string art yang dibuat Oda.
Diceritakan, rata-rata waktu
yang dia perlukan dalam berkarya bisa sampai 3 minggu. Masing-masing ukuran
karya memakan waktu tersendiri. Paling kecil, butuh waktu 3 hari untuk satu
karya. Kalau karya ukuran standar, bisa memakan waktu sampai 2 minggu, baru
rampung. Sementara untuk ukuran paling besar, butuh waktu sampai 3 minggu baru
mewujud satu karya.
Sebagai generasi digital,
dalam proses kreatifnya, Oda sering melihat beberapa referensi yang terdapat
pada aplikasi Pinterest atau mesin pencari Google. Platform digital tersebut
membantunya menemukan ide dengan melihat gambar-gambar yang ada. Itu semacam
ensiklopedia tanpa batas, yang leluasa dia akses.
Dari sana, dia mengadaptasi
gambar-gambar itu, memadukannya dengan imajinasi yang ada di kepalanya sendiri.
Misalnya, bila ada yang menarik dari gambar pertama, dia ambil. Lalu dipadukan
dengan gambar lain yang dibayangkan pas untuk diaplikasikan melalui karya
string art.
Jadi ada semacam proses tafsir
dan reka bentuk yang dikreasikan dan diselaraskan dengan media yang digunakan.
Dia akan menakar gambar-gambar itu, melalui tarikan-tarikan benang smock dari
satu batang paku ke batang paku lainnya, sehingga mampu menghasilkan karya yang
unik dan kreatif.
Harus diakui, dalam setiap
proses kreatif, seseorang akan diperhadapkan pada tantangan tertentu, yang bisa
jadi kendala baginya. Oda pun merasakan hal itu. Diakui bahwa kendala yang
dihadapi berupa ketersediaan bahan papan kayu yang diperlukan. Terkadang, dia
harus menunggu stok papan kayu terlebih dahulu, serta menunggu papan kayu
kering dengan merata, sebelum memulai karya string art-nya.
Stok benang smock juga bisa
jadi kendala karena harga yang tidak menentu. Begitupun dengan harga paku, yang
kadang naik turun mengikuti situasi pasar dan hukum ekonomi.
Diungkapkan, bahwa
kesulitannya dalam berkarya lebih ketika mengumpulkan bahan yang diperlukan dan
kebutuhan bahanya itu sendiri. Dia menilai, karya yang dibuatnya lebih
cenderung seperti mengerjakannya aktivitas fisik, layaknya pekerjaan laki-laki.
Misalnya, menggergaji papan dan memotong batang kayu.
Belum lagi menggunakan palu
untuk memaku satu-satu paku di atas papan kayu yang dijadikan medium string
art. Konstruksi gender rupanya ikut mempengaruhi pola pikirnya yang, mungkin,
terbentuk secara nurture melalui internalisasi pada lingkup pergaulan sosialnya.***