Senyum yang Hilang

Dulu, di setiap pagi, ia selalu datang dengan senyum ramah. Di kantin, di lorong-lorong kampus, atau di acara-acara informal, kami selalu bercanda ringan, saling bertukar kabar. Usianya jauh di bawah saya, mungkin belasan tahun, tapi itu tak pernah jadi penghalang. Kami akrab, seperti saudara.


-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 15 Oktober2024

 

CERPEN

 

Senyum yang Hilang

 

Karya: Asnawin Aminuddin

 

Dulu, di setiap pagi, ia selalu datang dengan senyum ramah. Sosoknya muda, enerjik, dan selalu menyapa dengan hangat. Sebagai dosen luar biasa (Dosen LB), ia memang sering terlihat sibuk dengan kelas dan tugas-tugas, tapi tak pernah melupakan basa-basi yang sopan.

“Assalamualaikum kak. Bagaimana kabar ta’ kak,” sapanya kepada saya jika bertemu.

Dan saya pun menjawab, “Alhamdulillah, sehat.”

Di kantin, di lorong-lorong kampus, atau di acara-acara informal, kami selalu bercanda ringan, saling bertukar kabar. Usianya jauh di bawah saya, mungkin belasan tahun, tapi itu tak pernah jadi penghalang. Kami akrab, seperti saudara.

“Sudahmaki’ makan kak? Kalau belum, ayo kita kantin, saya juga belum makan,” ajaknya.

Namun, segalanya mulai berubah ketika ia diangkat menjadi dosen tetap yayasan. Jabatan baru, status baru, dan, perlahan, sikap yang juga baru. Senyum yang dulu begitu lebar kini hanya sepotong kecil, seperti senyum yang terpaksa.

Sapaan ramah itu memudar, tergantikan dengan anggukan kepala yang sekadarnya. Jika kami berpapasan di lorong, ia sering tampak terburu-buru, seakan-akan tidak ingin berbicara lebih dari sekedar basa-basi.

Yang lebih terasa adalah ketika kami harus berbicara. Percakapan yang dulu penuh tawa dan diskusi hangat, kini kaku dan dingin. Kata-katanya singkat, seperti terbatas pada kewajiban sosial.

Padahal, saya masih orang yang sama—staf senior yang sudah lama bekerja di universitas ini, aktivis yang dikenal banyak pejabat, termasuk rektor. Bahkan, Pak Rektor pun selalu menyapa saya dengan panggilan “Kak”, tanda penghormatan yang ia pertahankan sejak dulu.

“Bagaimana kabar ta’ kak,” sapa Pak Rektor kepada saya.

Tetapi adik yang satu berbeda sekarang. Mungkin jabatan struktural yang didapatnya di fakultas membuatnya merasa “lebih di atas”. Senyumnya tak pernah selebar itu lagi saat bertemu dengan saya.

Justru, ketika ia berada di sekitar sesama pejabat fakultas atau universitas, ia tampak riang. Tawa-tawa yang dulu sering kami bagi, kini hanya muncul ketika ia bersama mereka.

Saya bisa saja berpikiran buruk, tapi saya tak mau. Saya ingin percaya bahwa ini hanya fase sementara, mungkin tekanan jabatan baru membuatnya menjadi lebih kaku. Tapi entah mengapa, rasa sayang semakin mengalahkan kekecewaan saya. Kasihan dia.

Mungkin dia sudah terperangkap dalam status dan jabatan. Mungkin ia sudah lupa bahwa jabatan hanyalah sementara, dan yang abadi adalah hubungan baik yang kita jaga.

Ingin sekali rasanya menegur, tapi saya tahu, tak mudah. Teguran bisa melukai hati yang tak siap menerima. Saya tak ingin memperburuk keadaan. Lagipula, siapa saya sekarang di matanya? Hanya seorang staf karyawan, bukan dosen, bukan pejabat.

Namun, di dalam hati saya berdoa, semoga ia segera sadar. Sadar bahwa jabatan dan gelar tidak membuat seseorang lebih berharga dari yang lain. Sadar bahwa senyum tulus dan hubungan yang baik jauh lebih penting daripada tawa-tawa yang hanya untuk mengesankan.

Saya yakin, suatu saat, ia akan kembali seperti dulu—teman yang murah senyum, yang tak membeda-bedakan teman, dan yang tidak terjebak oleh status semata.

Sampai saat itu tiba, saya hanya bisa menunggu dengan sabar, sambil terus mendoakannya dari kejauhan.***


Selasa, 15 Oktober 2024


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama