Syahril Rani Dg Nassa (kedua dari kanan) duduk bersama beberapa sastrawan saat berkemah di Malino, Gowa. (Foto diambil dari akun FB Syahril Rani) |
------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 04 Oktober 2024
Puisi Syahril Rani Dg. Nassa:
Zikir Malino dalam
Metafora Asosiatif
Oleh: Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan, Kritikus Sastra)
Kadang-kadang ada penyair menulis puisi 10
biji dalam sehari tapi yang benar-benar menjadi puisi hanya sebiji. Dan
lainnya, sekadar tumpukan kata-kata yang indah. Sebaliknya, tidak jarang
seorang yang bukan penyair menyusun tumpukan kata-kata yang indah, ternyata itu
menjadi sebiji puisi yang bagus. Seperti itulah analogi sosok eksistensial
penulis puisi di mata saya.
Syahril Rani Daèng Nassa, seorang
teaterawan Sulawesi Selatan yang selama ini banyak menulis puisi berbahasa
Makassar, tiba-tiba mencubit batin saya. Kali ini ia tidak menulis puisi
Makassar, tapi puisi modern yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Mencubit? Ya, saya “hanya” merasa tercubit
apabila menemukan puisi atau karya sastra jenis lainnya yang memiliki daya
tarik untuk direnungkan. Daya tarik itulah yang sering saya istilahkan “misteriusitas”
dalam puisi.
Beberapa hari yang lalu, Syahril memosting
satu puisinya berjudul “Pelangi Zikir” di media sosial. Saya merasa ada sesuatu
yang misterius di balik puisi itu. Coba kita perhatikan puisi di maksud.
PELANGI ZIKIR
Desir angin semilir
di sela ranting dedaunan
alam bertasbih
nafas Ilahi
suara purba
menggelantung di balik cakrawala
Di sini ada air terjun
ada kebun teh
kebun sayur dan buah
ada kebun stroberi
villa tempat rekreasi
dan di wajah Malino
bersemayam tasbih para malaikat
Kemah-kemah yang diam
di bukit Lembanna
hening malam terpasung
dalam pelukan dingin
Imaji-imaji tentang Tuhan
bagaikan pelangi di puncak kerinduan
Terbayang tenda-tenda kemanusiaan
hangus berantakan
Anak-anak kelaparan
kehilangan sanak keluarga
Derita rakyat Palestina
pecah di bulir-bulir airmata
Di sana air tak ada
makanan tak sisa
kebun-kebun kurma berbau mesiu
Tak ada buah dan sayuran
rumah sakit dan tempat ibadah luluhlantak
Yang tersisa tinggal hati berdebar
Dan akhlak kesabaran
Pelangi zikir kehidupan
memerah di sini
Malino menepis derita Palestina
mengusir kesengsaraan
bertasbih bersama hikmah
di balik ranting dedaunan
Di antara desah nafas
Malino terbenam dalam zikir
tawakal
sabar dan tabah dalam doa:
Ya, Allah
Lindungi Masjidil Aqsha
dalam peluk cinta-Mu
Malino, 14 September 2024
Untuk puisi ini saya menilai Syahril
berhasil mencipta sebuah karya yang bagus. Dia sudah beranjak dari pola
penulisan “otak kiri” ke teknik mencipta “otak kanan”. Puisinya di atas tidak
lagi berupa struktur kalimat dari kumpulan kata-kata, tapi sudah hadir menjadi
komposisi larik-larik yang terbangun dari diksi-diksi yang bernas oleh makna
asosiatif. Teknik mengolah imaji menjadikan puisi ini menarik untuk direnungi.
Baca kembali bait ketiga puisi Syahril di bawah ini:
...
Kemah-kemah yang diam
di bukit Lembanna
hening malam terpasung
dalam pelukan dingin
Imaji-imaji tentang Tuhan
bagaikan pelangi di puncak kerinduan ...
...
Bait di atas melukiskan pengalaman
realistis ketika ikut berkemah di Malino bersama kelompok zikirnya. Gaya
metafora tentang bangunan kemah di bukit Lembanna mengasosiasi imaji terhadap
kemah-kemah para pengungsi korban perang di Teluk Gaza. Di bait berikut,
Syahril menulis:
...
Terbayang tenda-tenda kemanusiaan
hangus berantakan
Anak-anak kelaparan
kehilangan sanak keluarga
Derita rakyat Palestina
pecah di bulir-bulir airmata ...
...
Malino yang sejuk penuh gairah berzikir
mensyukuri kesempurnaan alam. Di sana ada air terjun, kebun teh dan stroberi.
Ada villa tempat bersenang-senang, tapi di Palestina semua itu tidak ditemukan.
Yang tersisa tinggal hati berdebar, bulir air mata dan tenda-tenda yang
berantakan. Lebih lanjut di bait ke-4 puisinya, Syahril melukiskan kepahitan
itu seperti berikut:
...
Di sana air tak ada
makanan tak sisa
kebun-kebun kurma berbau mesiu
Tak ada buah dan sayuran
rumah sakit dan tempat ibadah luluhlantak
Yang tersisa tinggal hati berdebar
Dan akhlak kesabaran ...
...
Teknik metafora asosiatif pada puisi
Syahril Rani Dg. Nassa ini mengantar imaji pembaca untuk merasakan dikotomisasi
suasana batin antara kebahagiaan dan penderitaan umat manusia.
Rupanya bagi penyair, zikir Malino
hanyalah jalan alternatif mengantar kontemplasi kita untuk berjihad secara
ruhani. Seuntai doa terpantul lewat kerinduan terhadap Rumah Tuhan: Masjidil Aqsha
di Palestina. Pada ending puisinya, Syahril menulis:
...
Di antara desah nafas
Malino terbenam dalam zikir
tawakal
sabar dan tabah dalam doa:
Ya, Allah
Lindungi Masjidil Aqsha
dalam peluk cinta-Mu.
...
Demikian. Syahril Dg Nassa, manusia
pemilik minat besar puisi yang tak pernah jenuh belajar, akhirnya sudah mulai
menemukan diksi-diksi puitikanya. Dan ini boleh saya sebut lumayan dari
puisinya yang lain. Selamat dan teruslah berkarya.***
Bulukumba, 04 Oktober 2024