Rusdin Tompo (kiri) dan AB Iwan Azis. |
.....
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 16 November 2024
Iwan Azis, Gaya Nonton Film Era Jadul, Hingga Pengurus Organisasi Bioskop
Oleh: Rusdin Tompo
(Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
AB Iwan Azis selalu bersemangat jika diajak bicara tentang film dan bioskop. Pria kelahiran 11 Agustus 1946, di Desa Ujungnge, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan itu, bahkan pernah jadi pengurus organisasi yang mengurus bioskop, meski dia tak punya bioskop.
Saya bertemu dengannya di Warkop Azzahra, Jalan Abdullah Daeng Sirua, suatu pagi, pada pekan ketiga Oktober 2024. Kami pernah sama-sama mendirikan MPF (Masyarakat Pemantau Film), yang diluncurkan pada 30 Maret 2016, tepat pada Hari Film Nasional.
Pertemuan kami, kali ini, untuk ngopi bareng, sembari bernostalgia tentang film dan perbioskopan di Kota Makassar, terutama sebelum masuknya jaringan Studio 21.
Orang tua Iwan Azis meninggalkan Wajo, ketika dia masih kecil, tahun 50an. Dia mengaku tidak merasakan masa kanak-kanak di kampung halamannya karena ada gerombolan. Tahun-tahun itu, di Sulawesi Selatan, memang disibukkan dengan pemberontakan. Iwan kecil ikut diboyong keluarganya ke Makassar.
“Orang Bugis biasa bilang ke Juppandang. Maksudnya ke Makassar. Kalau trayek mobil ke daerah, biasa disebut Makassar pedalaman, bukan pedalaman Makassar. Jadi kalau rute ke Bone atau ke Wajo, semua disebut trayek Makassar pedalaman,” kisah Iwan Azis.
Bapaknya seorang pengusaha, pemilik Firma, bergerak di bidang ekspor impor hasil bumi. Dagangannya berupa ikan Kandea (Tawes atau Bader) yang dikeringkan.
Dahulu itu, ikan Kandea kering populer. Ikan ini diperoleh dari Danau Tempe. Warga juga menjemur ikan-ikan itu di sekitar danau. Jadi kalau memasuki desa-desa di situ, tutur Iwan Azis, akan tercium bau ikan yang tengah dikeringkan.
Ikan Kandea ini oleh masyarakat setempat disebut Bale Jangko. Pamor ikan ini hilang setelah masuknya budidaya ikan Mujaer. Padahal Wajo pernah berjaya, sebagai penghasil ikan air tawar terbesar di Sulawesi Selatan.
Pelayan datang mengantar pesanan kami. Kopi susu panas dihidangkan di depan saya, sedangkan teh susu panas diletakkan di dekat Iwan Azis. Pelayan juga membawa telur setengah matang, masing-masing untuk kami berdua. Iwan Azis pagi itu menyantap 4 telur, saya cukup 3 butir hehehe. Sambil mengaduk telur setengah matang yang ditaruh dalam gelas, pria berkaca mata minus di depanku ini bercerita.
Ketika masuk Sekolah Dasar di Makassar, dia mendaftar di SD Negeri 20 tapi ditempatkan di SD Negeri 25, lantaran belum ada bangkunya. Tamat SD, dia melanjutkan ke SMP Muhammadiyah di Jalan Muhammadiyah.
Lulus dari situ, dia masuk SMA Dwi Jaya, tapi sekolahnya menumpang di SMA Negeri 1 Makassar di Jalan Gunung Bawakaraeng. Anak-anak sekolah di situ, katanya, sering ke Lapangan Karebosi untuk bermain bola.
Sebagai remaja, tentu saja Iwan Azis mengikuti tren mode yang berkembang. Kala itu, celana skinny atau pencil pants dan jeans marak dikenakan. Gaya rambut potongan bob ala empat personel The Beatles, Jhon Lennon, Paul McCartney, Ringo Starr, dan George Harrison, banyak digandrungi.
Ketika remaja seusianya belum banyak yang punya kendaraan pribadi, dia sudah punya tunggangan bergengsi. Sehari-hari dia mengendarai sepeda motor Zundapp produksi Jerman. Dia juga kemudian punya mobil Jeep Willys, keluaran Amerika Serikat.
“Kalau ada cewek kita taksir, lalu datang ke rumahnya di lorong, pulangnya kita diadang. Anehnya, bukan keluarganya yang adang ki, tapi anak-anak muda di situ. Tidak jelas juga alasannya kenapa,” kenang Iwan Azis sambil tertawa.
Setelah meneguk teh susunya, Iwan Azis lanjut bercerita. Saya asyik mendengarnya, dengan sesekali menikmati kopi susu yang masih hangat.
Era itu, jelas Iwan Azis, dia tak leluasa bisa menonton di bioskop. Malah sulitnya setengah mati. Sebab, setiap kali masuk bioskop, harus memperlihatkan kartu identitas.**