------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 22 November 2024
Diskusi Buku “Antara Bumi & Langit”,
Novel Karya Syahriar Tato:
Kisah Bagus,
Bahasa Rapi dan Kaya Pesan Lokal
Oleh: Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan, Kritikus Sastra)
Viktor Shklovsky (Pengarang Rusia)
mengatakan: “Sastra itu harus defamiliarisasi. Tanggalkan yang biasa, gunakan
yang tidak biasa. Anehkan supaya karya itu berkualitas. Istilah saya, karya
sastra haruslah misterius.”
Judul “Antara Langit & Bumi” adalah
ungkapan bahasa yang biasa (tidak lagi asing dan misterius). Dari judul ini,
pembaca sudah gampang menebak kalau novel tersebut mempersoalkan tentang “status
manusia” di tengah masyarakat.
Novel ini bertemakan hubungan cinta dua
kekasih yang tidak mendapat restu dari orang tua karena dua hal. Pertama, persoalan
drajat sosial, dan kedua, peristiwa kelam masa silam.
Mochtar Lubis, sastrawan dan pemikir
politik, membagi alur cerita atau plot ke dalam 5 tahapan. Pertama, Situation
(latar keadaan suatu cerita). Pada tahapan ini, Syahriar Tato, selaku pengarang
novel “Antara Langit & Bumi” memaparkan situasi, tempat dan waktu, dengan
terlebih dahulu memperkenalkan tokoh utama ceritanya. Proses pengenalan sang
tokoh dapat dibaca pada halaman 5 hingga halaman 15.
Diceritakan bahwa Andi Darauleng adalah
mahasiswi jurusan teknik pada salah satu kampus di Makassar. Ia seorang putri
keturunan bangsawan Bugis dari ayah bernama Petta Lolo dan ibu Andi Bungawali.
Andi Darauleng menjalin hubungan cinta
dengan Ir. Mariolo, seorang lelaki Bugis yang menjadi dosennya di Fakultas
Teknik. Perjalanan cinta keduanya tidak mulus karena Ir. Mariolo bekas
keturunan “ata” (baca; kasta terendah di lingkungan tradisi Bugis pada masa
kerajaan). Selain itu, Andi Darauleng sudah dijodohkan oleh orang tuanya dengan
Andi Makkawaru, seorang mahasiswa sekampusnya yang juga sepupunya sendiri.
Di halaman ini pula pengarang
menggambarkan latar karakter feodalistik Petta Lolo sebagai orang tua yang
hidup di masa kerajaan, berhadapan dengan pemikiran liberalistik Andi Darauleng
selaku anak yang lahir di era kehidupan modern.
Pelukisan karakter antara ayah dan
anaknya, dapat dibaca pada dialog di halaman 14, sebagai berikut.
Petta Lolo: “Ingat, Uleng, antara kau dan
dia, darah keluarga kita, darahmu, ibarat antara bumi dan langit. Laksana air
dan minyak, tidak mungkin dipersatukan. Sejak nenek, kakek sampai ayahnya
adalah ata-budak di rumpun keluarga kita.”
Andi Darauleng: “Petta, tidak baik
menghinakan orang seperti itu. Derajat kebangsawanan hanyalah ciptaan manusia,
tak pantas kita terlalu membanggakannya. Dan sekarang, mereka punya derajat
terhormat karena sudah berhasil memperbaiki hidupnya, pendidikannya, status
sosialnya...”
Kedua, Generating Sircumstances (peristiwa
yang bersangkut paut digerakkan). Pada halaman 17 hingga 28, pengarang
menggerakkan peristiwa yang bersangkut paut antara satu dengan lainnya.
Hubungan cinta antara Andi Darauleng
dengan Ir. Mariolo mulai memasuki “ambang cinta terlarang”. Andi Makkawaru,
sepupu Andi Darauleng yang sudah dijodohkan dengannya, mulai melakukan gerakan
teror atau persekusi atas hubungan mereka.
Ketegangan rasa dan sikap cemburu terhadap
Ir. Mariolo mulai timbul di hati Andi Makkawaru. Sementara hubungan antara Andi
Darauleng dengan Ir. Mariolo semakin kental.
Hal ini dapat dibaca pada halaman 28:
“Lalu keduanya tersenyum. Mata mereka
bertatapan dalam penyerahan hati yang indah damai. Dengan sedikit ragu, Mariolo
perlahan menggenggam jemari Andi Darauleng. Itulah penanda, bahwa jiwanya ingin
menggenggam jiwa kekasihnya sepenuh cinta ...”
Ketiga, Rising Action (Peristiwa mulai memuncak).
Awal ketegangan antara keluarga Andi Darauleng dengan Ir. Mariolo dilukiskan
oleh pengarang, ketika La Patinrosi, ayah Ir. Mariolo mengetahui siapa orang
tua Andi Darauleng.
“Rio, aku kenal betul keluarga itu. Di
masa lalu ayah dan kakekmu La Tunra mengabdi sebagai ata di rumahnya, di rumpun
keluarga mereka. Entah sudah berapa lama. Turun temurun. Ketika itu ayah
bekerja sebagai gembala kerbau.” (Hal. 31)
Pada tahapan ini, pengarang memanfaatkan
teknik bercerita melalui “jendela masa lalu” yang disebut flashback. Pengarang
mempertemukan kembali situasi kelam di saat Petta Lolo merasa cemburu kepada La
Patinrosi karena dianggap ingin menggoda Andi Bungawali, putri Petta Baso,
tempat La Patinrosi mengabdikan diri, menggantikan ayahnya sebagai ata.
Keadaannya cukup sepele. Saat itu, La
Patinrosi baru saja selesai memasukkan kerbau milik tuannya ke dalam kandang
dan tanpa disadari beradu pandang dengan Andi Bungawali yang sedang membenahi
kain hasil tenunannya. Andi Bungawali melemparkan senyum manis kepada La
Patinrosi, namun celaka, hal itu diketahui oleh Petta Lolo yang tiba-tiba
muncul dengan mengendarai kuda.
“Hei, Patinrosi, kuingatkan kepadamu,
jangan kau ulangi lagi perbuatan tidak sopan seperti tadi itu di hadapanku.
Buang saja mimpimu untuk mempersunting Andi Bungawali. Seekor kerbau pun tak
mampu kau beli, apalagi membeli status seorang putri bangsawan, anak Petta
Baso. Kalau kau melanggar adat, kau pasti tahu akibatnya.” (Hal. 39)
Keempat, Climax (Peristiwa mencapai puncaknya).
Puncak hubungan cinta antara Andi Darauleng dengan Ir. Mariolo diceritakan pada
halaman 55 hingga halaman 62.
Andi Darauleng dipaksa berhenti kuliah dan
segera akan dinikahkan dengan sepupunya, Andi Makkawaru. Sebelum berlangsung
perkawinan, Andi Darauleng nekat menemui Kekasihnya dan kemudian mereka ke satu
tempat di Pantai Losari.
Maka terjadilah dialog sebagai berikut:
Andi Darauleng: “Apa yang bisa kulakukan
lagi. Aku segera dinikahkan dengan Andi Makkawaru. Tapi percayalah, sampai kini
aku masih memiliki cinta suci.”
Ir. Mariolo: “Lalu apa keinginanmu?”
Andi Darauleng: “Pernikahan itu akan bisa
tidak terjadi, kalau kau mau membawa aku pergi jauh dari sini.”
Ir. Mariolo: “Tidak bisa Uleng, terlalu
banyak yang harus jadi korban. Tidak mungkin aku tinggalkan ayahku,
pekerjaanku, tanggung jawabku pada karyawanku.”
Andi Darauleng: “Baiklah kalau begitu
tidak apa-apa. Aku tidak memaksamu. Hanya permintaan terakhirku, jangan lagi
kau tolak.” (Hal. 62)
Dari dialog ini terbaca bahwa puncak
klimaks hubungan “cinta terlarang” di antara keduanya terletak pada sikap
kerelaan Andi Darauleng menyerahkan diri secara utuh, lahir-batin, kepada
Mariolo, kekasihnya.
Kelima, Denouement (Penyelesaian
peristiwa). Alur cerita novel “Antara Langit & Bumi” diakhiri dengan “sad ending”. Setelah
pertemuan kedua kekasih ini di Pantai Losari, Andi Darauleng dinikahkan dengan
sepupunya, Andi Makkawaru. Justru pernikahan itu terjadi di saat Andi Darauleng
sedang positif mengandung benih Ir. Mariolo.
Dengan pasrah, keluarga Petta Lolo dan
Andi Makkawaru harus menerima kenyataan pahit: Andi Darauleng meninggal dunia
ketika seorang dukun beranak sedang berupaya melakukan tindakan aborsi.
Teknik Bercerita
Novel yang bernilai bagus, biasanya
digarap melalui kombinasi dua gaya bercerita yaitu: teknik telling (gaya
naratif) dan teknik showing (gaya deskriptif). Pada novel “Antara Bumi &
Langit” rupanya teknik kombinasi itu dilakukan oleh pengarang, walaupun lebih
dominan gaya naratif (teknik bercerita atau mendongeng).
Menurut saya, dengan penggabungan teknik
telling dan teknik showing, novel ini lebih tepat apabila menjadi skenario
perjalanan cinta dua remaja yang siap difilmkan.
Bahasa dalam novel ini cukup rapi, tertata
dengan struktur kalimat yang indah, mengedepankan fungsi puitis: terseleksi
(paradigmatis) dan terkombinasi pilihan katanya (sintagmatis), menurut istilah
tokoh semiotika Roman Jakobson. Salah satu contoh teknik showing, dapat disimak
melalui deskripsi berikut ini:
“... Tak sengaja walida-alat tenun untuk
menjalin benang milik Bungawali tersentak keras dan menimbulkan gaduh. La
Patinrosi menoleh dan tatapan keduanya beradu ...” (Halaman 37 -38).
Karya sastra yang berbentuk novelet ini,
boleh disebut bagus. Penyajian arus ceritanya cukup cair, bahasanya rapi dan
indah menampung power puitik. Syahriar Tato, dalam noveletnya ini, terbukti
bahwa ia sastrawan yang sudah berpengalaman mengolah imajinasi ke dalam bahasa
tulis. Ia cerdas berapologi dan mendramatisasi pikiran-pikiran lokalitasnya
melalui karakter tokoh yang ditampilkan. Novelet ini enak dibaca dan nikmat
direnungkan pesan-pesan moralnya.
Benar ada kelemahan dari sisi dinamika
cerita, misalnya, hadirnya ruang-ruang imaji yang kosong dan menunggu
pengembangan ide yang lebih kaya. Selain itu, kesalahan pengetikan kata masih
banyak ditemukan. Dan yang paling serius, pemberian judul novelet ini terkesan
klise; sudah tergerus getah sastranya.
Dr. Syahriar Tato, lahir di Tanah Bugis 71
tahun silam. Aktif menulis puisi, prosa, skenario film, ikut main sinetron dan
teater. Mantan Kadis PU Sulsel ini tergolong 'avonturir' di dunia seni dan
model. Pengalaman Luar Negerinya setumpuk dan semuanya tercatat dalam memori
puisi-puisinya.***
Makassar, 21 November 2024