Sang Hero Penjaga Martabat Manusia


SULTAN HASANUDDIN. Pertunjukan teater kepahlawanan Sultan Hasanuddin, di Kampus Fakultas Seni dan Desain, Universitas Negeri Makassar, Parang Tambung, Makassar, Selasa malam, 26 November 2024. (Foto: Yudhistira Sukatanya)


------

PEDOMAN KARYA

Jumat, 29 November 2024

 

Catatan pertunjukan Teater Kepahlawanan

Sultan Hasanuddin 26 November 2024.

 

Sang Hero Penjaga Martabat Manusia

 

Oleh: Yudhistira Sukatanya

(Sutradara Teater, Budayawan)

 

ak sibajikang ri paklinoang- demi kebaikan bersama hidup di dunia

ri sileporang adak – berpeganglah dengan setia pada adat

ri empoang akjuluk tallasa- pada kesepakatan kehidupan bersama

ri kasereangnga – menjaga persatuan dan kesatuan

Eeeeeee

        (Terjemahan bebas teks lagu tema pertunjulan)

 

Dalam kepungan gelap, sebatang cahaya putih menyorot sosok seorang perempuan, narator, berbaju bodo kuning bersarung sutera di panggung tengah, melantunkan ala sinrilik / kelong khas seni tutur Makassar.

Itulah adegan pembuka babak pertama pada pertunjukan teater kepahlawanan malam itu, tanggal 26 November 2024 pukul 19.30 Wita di kompleks Kampus Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar, Parang Tambung.

Rangkaian narasi terus dilantunkan, sementara di papan layar LED silih berganti secara kronologis ditayangkan rentetan video animasi, mengulas kilas kehidupan Sultan Hasanuddin sejak lahir di Gowa pada 12 Januari 1631. Anak lelaki dari pasangan Sultan Malikussaid, Sultan Gowa ke-XV, dengan I Sabbe Lokmo Daeng Takuntu.

Gambaran tampilan Sang Sultan pada masa kecil hingga remaja saat aktif belajar keagamaan di Masjid Bontoala, berguru pada Karaeng Pattingalloang-sang Ilmuwan, negarawan. Selanjutnya dipertunjukkan adegan latihan ketangkasan pencak silat Hasanuddin kecil bersama sebayanya, Ia yang berdestar – passapu merah menunjukkan keterampilan silat tangan kosong hingga permainan tombak dan sepak raga.  

Babak kedua kemudian diawali dengan tampilan adegan ramainya aktivitas perdagangan rempah-rempah di pelabuhan Sombaopu-Makassar. Lalu datang berlabuh kapal-kapal dagang VOC, Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Perusahaan Hindia Timur Belanda. Adalah perusahaan dagang Belanda yang didirikan pada tahun 1602. Mereka melihat prospek perdagangan yang luar biasa, mereka pun kemudian berusaha bersiasat dengan mengatur tipu muslihat, memaksakan kehendak agar dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan harga murah.

VOC yang menggandeng tentara dengan berani menggertak dan mendesak agar Kesultanan Gowa segera melarang bangsa-bangsa lain seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Cina dan lainnya berdagang di kawasan tersebut.

Cornelis Speelman (Ishakim) dengan pongah menekankan:Dengar, Tuan-tuan. Kami minta agar seluruh orang Portugis, Spanyol maupun Inggris harus diusir dari wilayah Makassar. Mereka tidak boleh lagi diterima maupun tinggal di Makassar untuk melakukan aktivitas perdagangan. Jangan lagi diizinkan kapal-kapal mereka memasuki perairan laut dan pelabuhan di sini untuk berdagang. Mereka itu bahaya, Tuan. Bahaya.”

Tetapi, di pihak lain Sultan Hasanuddin dengan dukungan para Karaeng yang bersikap tegas menolak keras keinginan VOC tersebut. Kesultanan Makassar saat pemerintahan Sultan Hasanuddin, menganut prinsip mare liberum atau “kebebasan laut” yang menyatakan bahwa laut adalah wilayah internasional yang terbuka untuk semua orang dan tidak dapat dimiliki oleh satu negara, karena itu adalah karunia Tuhan. Prinsip ini dikemukakan oleh Hugo Grotius, ahli hukum dan filsuf Belanda, dalam buku Mare Liberum yang terbit pada tahun 1609. 

Prinsip mare liberum menegaskan beberapa hal, yaitu:

·      Kebebasan untuk bernavigasi di samudra

·      Penolakan terhadap peperangan di lautan

·      Kebebasan tersebut hanya dapat dilanggar oleh perjanjian-perjanjian internasional 

 

Berdasarkan penekan prinsip tersebut pula maka dengan  tegas Sultan Hasanuddin berkata: Sekali lagi saya katakan, segala keinginan angkara murka Tuan, kami tolak. Tuan silakan pergi dari sini.

“Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagi-bagikan di antara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum. Tidak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jikalau Tuan, kalian VOC dan Belanda melarang hal itu, maka itu berarti bahwa kalian seperti mengambil nasi dari mulut orang lain”. Timpal Sultan Hasanuddin.


Penolakan itu membuat Cornelis Speelman – Gubernur Jenderal Belanda di Batavia murka, hingga segera memaklumkan perang kepada Gowa.

Siapkan bendera merah! Siapkan meriam-meriam, arahkan larasnya ke Benteng Somba Opu!” teriak Cornelis Speelman dengan geram. Abharam Sterck (Anjas Wirabuana) dan De Vries (Zein), dua orang Kapitan segera mempersiapkan perang.

Pasukan Gowa tak gentar, bersenjatakan tombak dan pasukan balira siap terjun ke medan laga menyongsong sang agresor. Karaeng Galesong (Djamal Dilaga), Karaeng Karunrung (Indra Kirana), Karaeng Bonto Marannu (Djamal Kalam), Daeng Mangalle (Arga Batara) dan I Fatimah Daengta Kontu (Mirza) - putri tunggal Sultan Hasanuddin, dan I Daeng Talele, gadis bangsawan dari Sanrobone, sepakat, sedia berdiri paling depan di medan laga.

Pertempuran hidup mati lalu berlangsung seru di mana-mana, meski hingga pada akhirnya Kesultanan Gowa terdesak hingga kian lemah dan memaksanya datang ke meja perundingan.

Babak ketiga menampilkan adegan Sultan Hasanuddin (Ferdinan) dengan sangat terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667, Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya yang menjadi penanda mulai redupnya puncak kejayaan Kesultanan Makassar. Isi perjanjian tersebut di antaranya:

·         Makassar harus mengakui monopoli VOC

·         Wilayah Makassar dipersempit hingga tinggal Gowa saja

·         Makassar harus membayar ganti rugi atas peperangan

·         Gowa tertutup bagi orang asing selain VOC

·         Benteng-benteng yang ada harus dihancurkan kecuali Benteng Rotterdam 

 

Sebagian besar petinggi Kesultanan Gowa secara terang-terangan menolak dengan tegas, bahkan mengajukan protes kepada Sultan. Mereka merasa belum kalah dan mengaku tidak akan pernah kalah. Mereka tetap siap melanjutkan perang dengan pengorbanan jiwa dan raga sekali pun. Meski tetap akan patuh dan setia menunggu titah Sultan Hasanuddin.

“Sesungguhnya karena kesabaran, rakyatku bersedia memberikan apa yang mereka inginkan dalam Perjanjian Bongaya melalui Aku. Tapi mereka -kompeni ya menghendaki jantungku, hatiku, ini penghinaan atas martabat manusia“ Ujar lirih Sultan Hasanuddin dengan perasaan hati yang cedera.

Pada segmen akhir adegan, secara simbolik ditampilkan Sultan Hasanuddin yang hanya diam, tafakkur, berputar pelan di atas tahtanya. Dalam konteks teatrikal, para aktor tak lagi berbicara dengan kata-kata, tak lagi gerah bergerak, menahan ekspresi amarah, hingga menjelang akhir babak. Pasukan dengan kegeraman yang simbolis, melampiaskan emosinya melalui tabuhan ganrang pakkanjara - Genderang penyemangat perang bagi orang Mangkasara. Di mana sesungguhnya mereka sedang ikut menyembunyikan rahasia terdalam pada diri masing-masing, misteri yang tak sanggup mereka ungkapkan dengan kata-kata.

Lalu meletup suara anggaru yang bergemuruh menggema dari dalam dada para tubaranina Gowa:

Tabe, Sombangku!

Inakke Ata ... Karaeng

Kipammopporang mama'

Ridallekang labbiritta

Riempoang matinggita

Risa'ri karatuanta

 

Inakke minne Karaeng

Lambara tatassa'la'na -butta mangkasara

 

Inai- naimo sallang Karaeng,

Tamappattojengi Tojenga

Tamappiadaki Adaka

 

Kusalagai sirinna, kuisarak paranglakkengna

 

Sang Sultan, terus saja diam, berusaha moksa dari godaan perang, berhening. Itu sikapnya sebagai jawabannya yang paling fasih, lebih keras dan tegas dibanding meneriakkan kata-kata bersumbu amarah.

Diamnya menjadi saat mengukur kekuatan spiritual yang besar dalam kesabaran, untuk menginterospeksi diri, mengendalikan nafsi, duniawi, merenung dan bertimbang, itulah senjata kekuatan pamungkas bagi pemimpin dengan kedewasaan berpikir.

Sultan Hasanuddin menunjukkan kegetiran hati saat mempertimbangkan pentingnya bersikap bijak demi kepentingan kemanusiaan yang beradab.

Demikianlah, sebagaimana diketahui bahwa, perjuangan bangsa Indonesia hingga mencapai kemerdekaan memang tidaklah mudah, telah melalui sejarah panjang kejuangan yang tercatat pada rantai kisah-kisah perjuangan nan heroik, bersimbah darah dan airmata, melibatkan sejumlah tokoh Pahlawan kesuma bangsa berkarakter kuat, dalam peristiwa yang patut dikenal dan dikenang.

 

Karya panggung teater “Sultan Hasanuddin” dalam garapan sutradara Asia Ramli Prapanca yang dibantu asitennya Alif Anggara, malam itu mampu tampil apik, patut di puji. Memadukan bentuk seni panggung modern lintas media dengan bahan ramuan akar seni tradisi.

Mereka berkolaborasi dalam karyanya dengan orang-orang dari seni rupa, seni musik, seni tari, seni media, menjadikan karya tersebut dapat tampil artistik, puitik. Mampu menarik minat, memukau ratusan penonton dari kalangan mahasiswa, pelajar, seniman, budayawan, jurnalis, politisi bahkan para dosen pengajar dan masyarakat umum. Para fotografer pun tak mau kehilangan mometum, hingga tak segan berebut mengabadikan momen-momen artistik.

Menurut sutradara, konsep pertunjukan ini dirancang melalui riset pada berbagai sumber dilanjutkan dengan kajian dramaturgi oleh tiga teaterawan: Bahar Merdhu, Azis Nojeng, Aco Muhammad.

Mereka menjaring aneka kearifan lokal yang mengandung pesan agar generasi muda masa kini, generasi Z dan Alpha, melalui tontonan teater dapat ikut menghargai perjuangan kepahlawanan Sultan Hasanuddin yang memerintah Kesultanan Gowa mulai tahun 1653 sampai 1669.

Kisah Perjuangan Sultan Hasanuddin memperlihatkan bagaimana kekuatan karakter pemimpin negeri ini ketika memilih solusi dari kesulitan kehidupan yang penuh liku dan tantangan. Keteguhan sikap, semangat kepahlawanan, kesetiakawanan dan keberpihakan pada kemanusiaan menjadi warisan nilai yang berharga dalam pembentuk karakter generasi muda, anak bangsa perlu diwariskan.

Bagaimana cara ketika pengambilan keputusan yang mesti dilakukan dengan cermat, mempertimbangkan segala aspek resikonya. Menunjukkan ketekunan, keberanian, kecerdasan lahir dan batin serta kerja keras ketika Sultan Hasanuddin mesti menjaga martabat diri dan warganya dari ronrongan lawan.

Sikap agung agar dapat menginspirasi generasi muda agar memiliki jati diri, mempertahankan identitas, budaya, tradisi, warisan nilai-nilai sejarah dari kekayaan budaya yang berasal dari khasanah Sulawesi Selatan.

Asia Ramli Prapanca pun berharap, melalui pertunjukannya, generasi muda dapat belajar atas peristiwa masa lalu tersebut. Mesti selalu bersikap waspada dari ancaman gangguan bangsa lain dan tidak lagi mengulang kesalahan yang sama di masa depan. 

Demikian pula, generasi muda diharapkan dapat memiliki karakter yang kuat, mampu memahami nilai-nilai universal seperti kesetaraan, keadilan, kebersamaan dalam menjaga martabat manusia di muka bumi.

Dan tujuan tersirat dan tersurat dari pementasan itu, upaya memperkenalkan, mengenang dan menularkan semangat juang pahlawan nasional Sultan Hasanuddin, Sultan Gowa ke-16 yang terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape telah berhasil disampaikan dengan gemilang oleh Sanggar Seni “Teater Kita” Makassar.

Menurut pimpinan produksi Andi Taslim Saputra yang menyampaikan bahwa kegiatan ini adalah program Kementerian Kebudayaan Fasilitasi Bidang Kebudayaan Teater Kepahlawawan 2024. Pertunjukan tersebut didukung sekira 100 pekerja seni yang terdiri dari tim produksi dan tim artistik.

Garapan artistiknya mengkolaborasikan elemen teater, tari, musik, rupa dan video mapping animasi, berdurasi sekira 75 menit. Video mapping ditata oleh Devitson Johns Carlos dan Reza Destavianto. Lighting oleh Sukma Sillanan dan desain grafis oleh Suyudi. Penata gerak Ridwan Aco dibantu asisten Wahyu Youngdong.

Rektor Universitas Negeri Makassar Prof. Dr. Karta Jayadi, M.Sn dalam sambutan pembukaannya, mengatakan: Saya tidak yakin generasi muda yang lahir tahun 2000-an mengenal sejarah Sultan Hasanuddin. Oleh sebab itu saya berterimakasih kepada Kementerian Kebudayaan yang memberi fasilitasi kepada anak bangsa ini, untuk mengenalkan siapa pahlawannya, memberi rasa hormat kita pada para pendahulu dan bagaimana sikap kita sesungguhnya di bidang kebudayaan, kita harus kembali ke fitrah kita. Hari ini kita tidak hanya menyaksikan petunjukan tetapi kita juga diajak mengenali sejarah, meskipun sejarah itu ditampilkan dalam kemasan estetika.

Demikianlah, dapat diketahui bahwa melalui pertunjukan teater, dapat memberi pemahaman bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, kesetaraan tidaklah mudah, tapi telah melalui proses sejarah panjang kejuangan yang tercatat pada rantai kisah-kisah perjuangan nan heroik, bersimbah darah dan airmata. Medan juang tentu melibatkan sejumlah tokoh Pahlawan kesuma bangsa, dalam peristiwa yang patut dikenal dan dikenang.

Sultan Hasanuddin sesungguhnya seorang yang sangat religius, jauh dari penggambaran sangar. Meski di sisi lain, ia selanjutnya dikenal sebagai pemberani, penentang keras praktik monopoli perdagangan yang dilakukan VOC. karenanya oleh Belanda, ia bahkan diberi julukan "De Haantjes van Het Oosten" atau Ayam Jantan dari Timur. Sang hero penjaga martabat manusia.

Pertempuran pada tahun 1669 yang dikenal sebagai Perang Makassar. VOC Belanda berhasil menguasai benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu, bahkan memporak-porandakannya pada tanggal 24 Juni 1669. Sultan Hasanuddin wafat ketika berusia 39 tahun karena sakit yang dideritanya, pada tanggal 12 Juni 1670. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa. Setelah setelah meninggal ia digelar Tumenanga Ri Balla Pangkana.

Sultan Hasanuddin diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK/1973, tanggal 06 November 1973.

 

Tamamaung, 28 November 2024



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama