Dari kiri ke kanan AB Iwan Azis, Rusdin Tompo, Asnawin Aminuddin, dan Syahril Rani Patakaki gobbrol-ngobrol di Warkop Azzahrah, Jalan Abdullah Dg. Sirua, Makassar, Selasa, 17 Desember 2024. |
------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 22 Desember 2014
AB Iwan Azis
tentang Rahman Arge dan Aktivitasnya
Oleh: Rusdin
Tompo
(Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)
AB Iwan Azis dan Rahman Arge beda usia.
Iwan Azis kelahiran tahun 1946, sedangkan Rahman Arge kelahiran 17 Juli 1935.
Iwan Azis menjuluki Rahman Arge sebagai manusia tiga dimensi. Lelaki asal
Pinrang, Sulawesi Selatan itu, tidak saja terkenal di bidang seni peran, tapi
juga kewartawanan, dan seorang politisi.
Rahman Arge, cerita Iwan Azis, dahulu
tinggal di Jalan Sarappo, dekat Jalan Rumbia, sekarang Jalan Seram. Beliau
belum populer, ketika dia mengenalnya. Katanya, Rahman Arge itu, kalau ke Dewan
Kesenian Makassar (DKM) di Jalan Irian, kala itu, beliau lebih memilih jalan
kaki dari rumahnya, sambil mengepit dokumen. DKM saat itu menempati bekas
Gedung Perkumpulan Tionghoa.
“Begitu populer dan jadi tokoh nasional,
beliau tetap rendah hati dan mau bergaul dengan orang yang berada di bawahnya,
termasuk dengan saya,” kenang Iwan Azis, dalam obrolan di Warkop Azzahrah, Jalan Abdullah Dg. Sirua, Makassar, Selasa, 17 Desember 2024.
Saat itu, saya dan Asnawin Aminuddin
diajak ngopi pagi. Lalu bergabung pula Syahril Rani Patakaki. Asnawin Aminuddin
merupakan jurnalis senior, sedangkan Syahril Rani Patakaki, seniman yang
belakangan menulis puisi-puisi berbahasa Makassar. Keduanya cukup mengenal Iwan
Azis, baik sebagai jurnalis, aktor, maupun pengusaha.
Rahman Arge merupakan aktor yang mampu
memainkan peran dengan baik. Beliau pertama kali muncul di film “Pradjurit
Teladan” (1959), setelah itu bermain di film “Di Udjung Badik” (1971), dan “Sanrego”
(1971). Beliau meraih penghargaan Piala Citra pada Festival Film Indonesia
(FFI), 1990, sebagai Pemeran Pendukung Pria Terbaik, lewat film “Jangan Renggut
Cintaku.”
Rahman Arge, lanjut Iwan Azis, merupakan
Ketua Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia) Sulawesi Selatan, era pertama.
Dengan beragam profesi yang digeluti, beliau mampu memainkan perannya dengan
baik.
“Hidupnya ada di mana-mana. Dia main
teater, aktor film, kolumnis, bahkan pernah jadi Anggota MPR RI. Dia tidak
pernah tenggelam, dan selalu diperhitungkan bahkan di tingkat Jakarta,” kisah
Iwan Azis penuh semangat.
Ada rasa hormat dan bangga ketika Iwan
Azis bercerita tentang penulis buku “Permainan Kekuasaan” (Penerbit Buku
Kompas, 2008) itu. Rahman Arge menjadi Anggota MPR RI utusan golongan. Saat
itu, beliau masih wartawan dan aktif di Partai Golkar.
Walau kariernya sudah besar di ibu kota
tapi beliau, kata Iwan Azis, tidak melupakan Makassar. Bahkan boleh dikata,
Rahman Arge itu Makassar skalia. Beliau, seingat Iwan Azis, lebih sering
menggunakan istilah-istilah dan bahasa Makassar daripada bahasa Bugis.
Ketika Rahman Arge menjadi Ketua Parfi
Sulawesi Selatan, bendaharanya, saat itu adalah Vonne Ramis Parenrengi,
sedangkan Iwan Azis, menjabat sebagai Wakil Bendahara. Salah satu kegiatan
Parfi Sulawesi Selatan, yakni dipercaya menggelar FFI di Makassar, tahun 1978.
Ketika Ketua PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia) Sulawesi Selatan, dipegang Rahman Arge, lagi-lagi Iwan Azis berada
di gerbongnya. Dia di posisi seksi film.
Rahman Arge di mata Iwan Azis merupakan
lelaki flamboyan. Beliau itu dalam istilah bahasa Makassar adalah “burakne na
buraknea”. Beliau jantan dan elegan. Beliau, lanjut Iwan Azis, selalu berpesan
agar jangan mati kalau bukan mate ni santangngi.
Menurut Iwan Azis, Rahman Arge merupakan
orang pertama yang memunculkan tren menyingkat nama. Arge itu akronim dari
Abdul Rahman Gega. Tokoh-tokoh lain yang juga menyingkat namanya, yakni aktor
dan penyair Aspar Paturusi. Aspar merupakan singkatan dari Andi Sofyan
Paturusi.
Lalu ada pula Arsal Alhabsyi, semasa
hidupnya sebagai jurnalis dan seniman, di mana nama Arsal merupakan singkatan
dari Abdurrahman Saleh. Tokoh lain yang menyingkat namanya, adalah pendiri
Harian Fajar, Alwi Hamu. Hamu merupakan singkatan dari nama ayahnya, Haji
Muhammad Syata.
Saat ditanya, kenapa dia selalu satu
organisasi dengan Rahman Arge, Iwan Azis menjawab, itu karena kalau dia
bercerita atau menjelaskan sesuatu, seniornya itu cepat tanggap. Begitupun
sebaliknya, dia bisa menerjemahkan apa yang diinginkan Rahman Arge, dalam
kapasitas organisasi dan profesional.
Iwan Azis teringat pada peran sebagai PKP
atau Penjaga Keamanan Partikulir, sebutan untuk Satpam, tempo doeloe.
Kebanyakan yang punya PKP hanyalah orang keturunan Tionghoa. PKP ini biasa
berjaga-jaga di depan toko majikannya.
“Mainkan ki peran sebagai PKP, tapi
keppangko,” cerita Iwan Azis tentang perannya itu.
Supaya bisa memainkan peran dengan baik
maka dia sengaja memakai sepatu sempit. Dengan demikian, dia selalu terlihat
berjalan pincang saat di panggung. Katanya, ada yang memuji dia mampu memainkan
karakter pincang. Padahal dia punya trik supaya tetap berakting pincang. Dengan
memakai sepatu sempit, dia akan berjalan keppang karena kakinya sakit.
Ada lagi satu peristiwa yang tidak
dilupakan Iwan Azis, yakni saat perhelatan Pekan Kebudayaan Sulawesi Selatan di
Lapangan Gokar, Jalan Racing Centre. Ini di masa Walikota Makassar, Abustam,
dan Gubernur Sulawesi Selatan, Achmad Amiruddin.
Kegiatan Pekan Kebudayaan Sulawesi Selatan
ini diadakan oleh DKM bekerja sama dengan Kodam IV/Hasanuddin. Panglima Kodam
XIV/Hasanuddin saat itu, adalah Brigjen TNI Hasan Slamet. Ini merupakan
pertunjukan kolosal, di mana setiap daerah menampilkan atraksi keseniannya.
“Suasananya saat itu kayak pasar malam,”
jelas Iwan Azis mengingat peristiwa bersejarah tersebut.
Pekan Kebudayaan Sulawesi Selatan II
diadakan di kawasan Benteng Somba Opu, yang disebut-sebut sebagai taman
miniatur Sulawesi Selatan. Festival besar ini diorkestrasi oleh Mukhlis PaEni,
yang pernah menjadi Kepala Perpusnas RI, Kepala Arsip Nasional RI, dan Ketua
Lembaga Sensor Film (LSF).
Sayangnya, kata Iwan Azis, setiap pemimpin
bikin program tapi tidak dilanjutkan oleh pemimpin berikutnya. Tidak ada
keberlanjutannya. Menurutnya, ini kelemahan kita di Sulawesi Selatan, padahal
banyak program strategis dan bagus tapi tidak dilanjutkan oleh penerusnya.***