In Memoriam Husni Djamaluddin

Husni Djamaluddin (kiri) dan Ahmad M. Sewang. 

 

-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 17 Desember 2024

 

In Memoriam Husni Djamaluddin

 

Oleh: Ahmad M. Sewang

 

Persahabatanku dengan almarhum Husni Djamaluddin (penyair, politisi, red) dimulai di Pengajian Agsha, sebuah pengajian bergengsi di Makassar yang kala itu selevel dengan Pengajian ITB Bandung dan Pengajian Salahuddin di UGM Yogyakarta.

Pengajian ini menjadi tempat diskusi intelektual yang sangat prestisius. Tidak ada narasumber penting di Makassar yang belum pernah berbicara di Pengajian Agsha. Bahkan, tokoh-tokoh nasional seperti Prof. Dr. Hamka, antropolog Belanda Prof. Dr. Vrendenberg, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H., hingga Prof. Dr. Harun Nasution pernah hadir mengisi acara.

Kedekatanku dengan Husni Djamaluddin semakin erat karena kami bertetangga, dan berasal dari daerah yang sama di Sulawesi Barat. Almarhum adalah sosok yang cerdas dan kritis. Ia mampu melihat ironi-ironi sosial dengan kejernihan sekaligus keberanian yang jarang dimiliki orang pada zamannya.

Salah satu hal yang selalu saya ingat dari beliau adalah narasinya yang menggambarkan ironi sosial di masa Orde Baru, seperti Departemen Penerangan yang menurut beliau seharusnya menjadi corong informasi yang jujur dan transparan, malah ia juluki sebagai Departemen Penggelapan.

Kemudian, Departemen Agama, yang sejatinya menjadi penjaga moral bangsa, justru menjadi tempat korupsi uang haji.

Pernyataan-pernyataan ini begitu tajam dan relevan hingga kini. Bahkan, fenomena serupa terus terulang dan cenderung semakin parah.

 

Ironi Sosial di Masa Kini

 

Kritik Husni Djamaluddin tampaknya menjadi lebih relevan dengan kasus-kasus yang terjadi dewasa ini. Beberapa di antaranya, pertama, ijazah mantan presiden yang ditengarai palsu. Isu ini mencerminkan ironi ketika integritas seorang pemimpin tertinggi diragukan. Bahkan, meski masa jabatan telah selesai, permasalahan ini tetap menjadi sorotan publik dan masih dilaporkan ke Bareskrim Polri.

Kedua, Ketua KPU yang terlibat skandal. Lembaga yang seharusnya menjaga integritas demokrasi justru dirundung masalah etika. Kasus ini semakin menambah daftar panjang keprihatinan terhadap moralitas elite bangsa.

Ketiga, kasus percetakan uang palsu di UIN Alauddin, Makassar. Universitas Islam yang idealnya menjadi pusat keilmuan dan pembentukan karakter luhur justru terseret dalam kasus kriminal. Dengan tertangkapnya 15 orang yang terlibat, insiden ini mencoreng nama baik dunia pendidikan Islam di Indonesia.

 

Sebuah Refleksi

 

Ironi-ironi sosial ini mengingatkan kita pada pandangan nenek moyang bahwa dunia semakin tua, dan moralitas sering kali berbalik arah. Apa yang dulu tidak pernah kita bayangkan kini menjadi kenyataan. Institusi-institusi yang diharapkan menjadi benteng moral justru runtuh oleh perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai etik.

Kisah dan kritik Husni Djamaluddin bukan sekadar kenangan, tetapi juga pelajaran berharga bagi kita. Narasinya memaksa kita untuk terus merenungkan dan mempertanyakan arah perjalanan bangsa ini. Bagaimana kita, sebagai individu maupun kelompok, dapat memulihkan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara?

Tulisan ini adalah penghormatan sekaligus refleksi atas pemikiran seorang sahabat yang keberaniannya berbicara kebenaran harus terus kita kenang. Wassalam.

 

Kompleks GPM, 17 Desember 2024

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama