------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 27 Desember 2024
Kisah Thalhah Bin Ubaidillah dan Pendeta di Bashra
Thalhah bin Ubaidilah lahir di Mekah. Ia
merupakan keturunan dari keluarga yang terkemuka di Mekah. Ayahnya adalah
Ubaidillah. Ia adalah termasuk pemuka Mekah dan orang yang terhormat di Mekah.
Ibunya adalah Sha’bah binti Abdullah. Kakeknya adalah Wahab bin Abdullah yang
merupakan orang dermawan dan murah hati.
Thalhah tumbuh dan dididik di bawah
pengasuhan kedua orang tuanya. Ia dididik dan belajar dari kedua orang tuanya
berbagai akhlak mulia dan sifat-sifat yang terpuji. Ia menghabiskan masa
kecilnya di Mekah.
Thalhah juga pandai memanah dan pandai
menggunakan tombak. Ia juga sangat mengenali berbagai penjuru kota Mekah, mulai
dari pegunungan dan perbukitannya.
Setelah tumbuh dewasa, ia menikahi Hamnah
binti Jahsy, saudarinya Zainab binti Jahsy yang merupakan istri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Seiring dengan tumbuh menjadi dewasa, Thalhah
merasa kota tempat ia tumbuh menjadi terasa sempit dan memutuskan menjadi
seorang pedagang, hingga ia pun mengenal daerah Syam dan Basrah. Thalhah pun
dikenal sebagai pedagang yang jujur dan murah hati.
Suatu ketika, Thalhah bin Ubaidillah pergi
ke Bashra. Sebagai saudagar di sana, dia berdagang. Bersama kafilah dagang
lainnya, Thalhah berangkat. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam
strategi berdagang. Ia cerdik dan pintar hingga dapat mengalahkan
pedagang-pedagang lain yang lebih tua.
Tiba di Bashra, sebuah kota di wilayah
Syam, para pedagang itu segera memasuki pasar. Di tengah keramaian pasar, ada
seorang pendeta berteriak-teriak sembari berkata, “Wahai para pedagang, adakah
dari tuan-tuan yang berasal dari Mekah?”
Kebetulan Thalhah berdiri tak jauh dari
pendeta itu. Segera ia menghampirinya. “Ya, aku penduduk Mekah,” sahut Thalhah.
“Apakah Ahmad sudah lahir?” tanya pendeta
itu.
“Siapa itu Ahmad?” Thalhah balik bertanya.
“Dia adalah putra dari Abdullah bin Abdul
Muthalib. Bulan ini adalah bulannya dan ia pasti akan muncul. Dia adalah Nabi
terakhir yang diutus sebagai penutup para Nabi dan dia berasal dari Mekah.
Kelak dia akan berhijrah dari negerimu ke negeri yang banyak pohon kurmanya,
sebuah negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya segeralah
engkau menemuinya wahai anak muda.” sambung pendeta itu.
Peristiwa tersebut sungguh mengusik
pikiran Thalhah. Ucapan pendeta itu selalu terngiang-ngiang di benaknya. Seolah
berita itu enggan enyah dari pikirannya. Bergegaslah ia pulang ke Mekah,
meninggalkan kafilah dagangnya, ingin rasanya ia segera sampai di Mekah dan
menanyakan perihal kabar tersebut.
Sesampainya di Mekah, Thalhah segera
menemui keluarganya dan bertanya, “Apa yang terjadi sepeninggalku?” Dan
benarlah perkataan pendeta itu, Mekah saat ini tengah digemparkan dengan berita
kenabian Muhammad ï·º.
“Telah datang seorang pemuda yang bernama
Muhammad bin ‘Abdullah yang mengaku sebagai seorang Nabi, dan Abu Bakar
mempercayai dan mengikut apa yang ia katakan,” jawab keluarganya.
“Ya, aku sangat kenal dengan Abu Bakar.
Dia adalah orang yang lembut lagi santun pekertinya. Dia adalah pedagang yang
berbudi tinggi lagi teguh. Banyak orang yang menyukainya karena dia adalah ahli
Quraisy,” timpal Thalhah.
Thalhah bergegas pergi menemui Abu Bakar
untuk menanyakan keabsahan berita kenabian Muhammad. Abu Bakar pun membenarkan
berita tersebut. Abu Bakar mulai menceritakan kisah Nabi Muhammad ï·º.
Abu Bakar menceritakan saat Nabi Muhammad berkhalwat
di Gua Hira hingga turun wahyu pertama. Usai Abu Bakar bercerita, ganti Thalhah
yang menceritakan peristiwa pertemuannya dengan seorang pendeta di Bashra.
Abu Bakar tercengang mendengarnya, lalu ia
mengajak Thalhah untuk pergi menemui Nabi Muhammad ï·º dan menceritakan peristiwa
yang dialaminya di Bashra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah seketika mengucapkan
dua kalimat Syahadat. Thalhah adalah salah seorang dari golongan al-Sabiqun
al-Awwalun.
Berita mengenai keislaman Thalhah sungguh
menggemparkan keluarga dan sukunya. Mereka berusaha mengeluarkannya dari Islam.
Mula-mula dengan bujuk-rayuan. Tapi karena kokohnya pendirian Thalhah, cara itu
tak mampu mengubah keyakinannya.
Mereka mulai bertindak kasar dan
memaksanya agar meninggalkan agamanya. Siksaan demi siksaan menuai tubuh
Thalhah. Sekelompok orang menyeret, membelenggu lehernya, mendorong, mencaci
maki dan memecut serta memukulinya. Penyiksaan
yang silih berganti menimpa Thalhah tidaklah menggoyahkan keimanannya, justru
siksaan yang menderanya silih berganti semakin meneguhkan iman. (asnawin)