-----
PEDOMAN KARYA
Jumat, 20 Desember 2024
CERPEN
Kucing yang Terlindas
Karya: Muliaty Mastura Yusuf
Tiba-tiba saja seekor anak kucing
mengaung-ngaung kencang. Seperti sangat kelaparan atau bisa juga karena sakit.
Anak bungsu saya, Pangeran, mencari jejak
suara itu. Dia kemudian menemukan depan pagar, dekat pot bunga, sebelah kiri.
Digendongnya kucing itu masuk teras.
Sekejap, berhenti mengaung. Pangeran pun mengambil wadah yang bisa diisi air
untuk minum, setelah itu, mencari makanan buatnya. Namun, kucing kecil tak
bernafsu makan, mungkin karena giginya belum kuat mengunyah ikan.
Secara rutin, Pangeran memerhatikan kucing
malang itu. Memerhatikan rutinitasnya itu, ibarat dia sedang merawat manusia
yang butuh kasih sayang dan pertolongan dari sesama.
Kucing itu diletakkan di teras rumah.
Sebab, ibunya melarang bila membawa masuk ke rumah, lantaran tidak sanggup
membersihkan kotorannya.
Pangeran merawat dengan tekun. Bila kucing
buang air besar yg masih cair, segera dibersihkannya. Saya pun takjub akan
kesetiaannya kepada kucing yang kesasar mangkal depan rumah.
Sebelum berangkat ke sekolah, dia menengok
kucing. Air minumnya dibuang, diganti dengan air baru. Begitu khawatir bila
melihat si kucing tidak mau makan.
Maka segera dia ke rumah kawannya,
mengambilkan makanan spesial untuk kucing. Namun, tetap saja tidak nafsu.
Akhirnya, Pangeran meminta kepada kakaknya
dibelikan makanan anak kucing.
Alhamdulillah, si kucing sudah berselera.
Pagi hari, Pangeran berusia delapan tahun
itu, menyiapkannya dengan telaten.
Kotoran kucing dibersihkan sebelum ia bergegas berangkat sekolah.
Kadang-kadang, bila kucing tidak berada di
tempatnya, dia segera mencari keberadaannya. Dua rumah di sebelah kanan yang
berjualan Sari Laut atau satu rumah di sebelah kanannya lagi yang banyak kucing
piaraannya. Bila telah ditemukan, dikembalikan ke tempat semula.
*
Pagi yang naas itu, seperti biasa,
Pangeran telah melayani kucing dengan sepenuh hati, lalu berangkat ke sekolah.
Sekira pukul 09:30 Wita, ayahnya buru-buru
berangkat ke kantor.
Tanpa disengaja, kucing itu tergilas ban
mobil. Saya tak dapat berkata-kata, hanya memberi kode saja agar stop.
Ayah Pangeran tidak tahu, apa yang
terjadi. Masih memegang setir mobil, dia berujar, “Apa? Kenapa?” Kening dan
alis matanya naik dua senti.
Saya tak sanggup melihat anak kucing
kesayangan Pangeran yang telah terburai isi perutnya.
Saya pun mendekat ke pintu mobil. “Kucing
itu, diinjak ban mobil,” kata saya sambil tak kuasa melihat darah segar meleleh
di lantai.
“Astaghfirullah....” sambil menutup mata
dengan kedua tangannya. Seperti tidak percaya apa yang baru saja terjadi.
“Turunlah cepat dan segera bersihkan,
sebelum Pangeran pulang,” kata saya sambil menahan air mata.
Dia pun turun. Segera mengambil sendok
sampah dan sapu lidi. Saya tidak melihat bagaimana proses pengangkatan anak
kucing yang mati sekejap. Kulihat dia telah melintas di tepi jalan dan hendak
membuangnya ke selokan, sementara saya masih berdiri kaku menghadap ke jalan
raya.
Proses pembersihan lantai telah selesai
dan siap menuju kantor. Sementara saya masih bingung, bagaimana jika Pangeran
mengetahui bila kucingnya digilas ban mobil ayahnya?
Pangeran pulang sekolah. Seperti biasa,
sebelum masuk rumah, dia menengok kucingnya. Diintip kucing itu, tak
dilihatnya.
Setelah makan siang, dia keluar rumah,
mencari kucing ke sana kemari, tapi tak kunjung ditemukan sampai jelang magrib,
dia bergegas ke masjid salat berjamaah lanjut mengaji.
Dia pun tak menanyakan ke saya, di mana
kucingnya. Sepulang mengaji, saya mengajak Pangeran ke toko makanan untuk
membeli sepuasnya yang dia suka.
Di jalan, saya bertanya, “Di mana
kucingmu, Nak?” sambil saya pegang erat tangan kirinya.
Matanya memandang ke mataku. Mungkin dia
ingin melihat kejujuran di mataku.
“Ibu telah membuang kucingku,” lalu dia
dengan refleks mengalihkan pandangannya pada keramaian jalan raya.
Apa yang ada dalam pikirannya kepadaku,
itu bisa saja lahir dari seorang anak kecil. Sebab, saya paling sering
menegurnya bila anak kucingnya masuk rumah, apalagi sampai tidur-tiduran di
kursi tamu dan mampir di atas karpet.
Setiap kali saya menegurnya, secepat kilat
pula dia mengangkat kucingnya dan membawanya ke tempat peristirahatannya.
Maka ketika kucingnya tidak ada, sayalah
orang yang paling tepat dianggap membuang kucingnya itu.
Ingin rasanya menangis sejadi-jadinya,
tapi saya harus bertahan dan kuat untuk tidak mengatakan apa sebenarnya yang
telah terjadi dengan kucing kesayangannya itu.
“Tidak, Nak. Mana mungkin ibu tega
membuang kucingmu. Kamu sudah merawatnya dengan baik, ikhlas, seperti merawat
seorang manusia yang kamu sayangi,” saya meyakinkan dengan memegang kuat
tangannya.
“Kalau bukan ibu yang buang, lantas ke
mana kucing itu pergi,” hatiku semakin teriris-iris akan kalimat yang baru saja
ditumpahkan, seperti menyesal atas tindakanku yang tidak menyayangi kucing.
Yang selalu menegurnya bila kucingnya buang air sembarangan.
“Yah, mungkin kucing itu sudah kembali ke
tempatnya semula, tempat di mana dia dilahirkan,” saya berusaha menghiburnya.
Kami telah sampai di toko makanan. “Ambillah
makanan yang kamu suka, apa saja, terserah.”
“Betul ini ibu, saya puas mengambil
makanan?” kembali dia bertanya.
Pangeran merasa senang dan saya masih
gamang memikirkan kucingnya yang mati terlindas ban mobil.***
Somba Opu,
Rabu 04.12. 2024