-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 25 Desember 2024
Bye-Bye Beban Administratif Guru (2-habis):
Kurikulum Merdeka vs
Kurikulum Belum Ada Judul
Oleh: Mas’ud Muhammadiah
(Dosen Universitas Bosowa)
Dibandingkan dengan program Kurikulum
Merdeka, reformasi ini memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan. Keduanya
bertujuan memberikan lebih banyak fleksibilitas dan otonomi bagi guru dan
sekolah.
Namun, program Kurikulum Merdeka lebih
fokus pada perubahan isi dan metode pengajaran, reformasi tugas pokok guru ini
lebih menekankan pada perubahan struktural pada peran dan tanggung jawab guru.
Program Kurikulum Merdeka yang
diperkenalkan pada tahun 2022 ini bertujuan untuk memberikan kebebasan
berinovasi bagi satuan pendidikan, guru, dan siswa. Program ini menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa,
pengembangan keterampilan, dan adaptasi terhadap kebutuhan lokal.
Pada saat yang sama, reformasi fungsi
pokok guru lebih fokus pada pendefinisian ulang peran guru secara umum, tidak
hanya dalam konteks kurikulum dan pengajaran.
Keuntungan pendekatan Kurikulum Merdeka
adalah fleksibilitas untuk menyesuaikan konten dan metode pengajaran agar
sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa dan daerah. Hal ini sesuai dengan
prinsip pendidikan modern yang menekankan personalisasi pembelajaran
(Tomlinson, 2023).
Di sisi lain, reformasi tugas-tugas dasar
guru mempunyai keuntungan karena lebih mengakui peran guru dalam berbagai
aspek, tidak hanya terbatas pada pengajaran di kelas. Kelemahan Kurikulum
Merdeka terletak pada potensi perbedaan kualitas pendidikan yang besar antar
sekolah, karena tidak semua sekolah mempunyai kapasitas untuk menerapkan kurikulum fleksibel secara efektif.
Pada saat yang sama, potensi kelemahan reformasi
tugas inti guru adalah risiko beban kerja yang berlebihan bagi guru yang harus
mengambil banyak peran sekaligus.
Dalam konteks global, reformasi ini
membantu Indonesia mengikuti tren internasional dalam pengembangan profesional
guru. Banyak negara maju telah lama menyadari pentingnya peran guru di luar
kelas dan pentingnya melanjutkan pengembangan profesional.
Misalnya saja Finlandia yang terkenal
dengan sistem pendidikannya yang sangat baik, telah lama menerapkan model guru
memiliki tingkat otonomi yang tinggi dan waktu yang cukup untuk pengembangan
profesional (Sahlberg, 2021).
Penerapan reformasi ini memerlukan
perubahan signifikan dalam banyak aspek sistem pendidikan. Pertama, perlu
adanya tinjauan terhadap sistem evaluasi kinerja guru. Model evaluasi yang baru
harus mampu mengukur keberhasilan guru tidak hanya dalam hal pengajaran di
kelas tetapi juga dalam tiga aspek lainnya. Hal ini memerlukan pengembangan
indikator kinerja yang lebih komprehensif dan metode penilaian yang lebih luas.
Kedua, sistem pelatihan guru, baik sebelum
maupun selama menjabat, harus disesuaikan untuk mempersiapkan dan mendukung
guru dalam memenuhi peran yang lebih luas ini. Program pelatihan guru perlu
mencakup unsur-unsur yang lebih kuat seperti pendampingan siswa, pengembangan
profesional, dan keterlibatan masyarakat.
Ketiga, perubahan dalam budaya sekolah dan
masyarakat diperlukan untuk mendukung peran baru guru ini. Sekolah harus
menyediakan waktu dan sumber daya yang cukup bagi guru untuk melaksanakan semua aspek tugas inti mereka.
Masyarakat juga harus diberitahu tentang peran baru guru ini untuk memastikan
dukungan dan kerja sama yang optimal.
Keempat, infrastruktur pendukung, terutama
dalam hal teknologi dan akses terhadap sumber belajar, perlu ditingkatkan. Hal
ini penting untuk mendukung pengembangan
profesional guru dan upaya mengintegrasikan teknologi ke dalam
pengajaran.
Dalam melaksanakannya, perlu memperhatikan
keberagaman kondisi di berbagai wilayah di Indonesia. Apa yang mungkin berhasil
di daerah perkotaan dengan sumber daya yang memadai mungkin sulit diterapkan di
daerah terpencil dengan sumber daya yang
terbatas.
Oleh karena itu, perlu ada fleksibilitas
tertentu dalam implementasinya, dengan tetap menjaga esensi reformasi ini.
Perlu juga mempertimbangkan dampak reformasi ini terhadap kesejahteraan guru.
Dengan peran yang lebih diperluas, maka
perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap sistem penghargaan dan insentif guru.
Hal ini tidak hanya mencakup aspek keuangan tetapi juga peluang pengembangan
profesional dan pengakuan profesional.
Peluang Integrasi
Dari sudut pandang pendidikan, reformasi
ini berpotensi mendorong pendekatan pendidikan yang lebih komprehensif. Ketika
peran guru semakin luas, akan ada lebih banyak peluang untuk mengintegrasikan pembelajaran di kelas
dengan pengalaman kehidupan nyata di masyarakat.
Hal ini konsisten dengan konsep
“experiential learning” yang menekankan pentingnya menghubungkan teori dengan
praktik.
Dalam konteks era digital, reformasi ini
juga membuka peluang untuk mengintegrasikan teknologi secara lebih efektif
dalam pendidikan. Dengan meluangkan lebih banyak waktu untuk pengembangan
profesional, guru dapat meningkatkan keterampilan digital mereka, yang sangat
penting dalam mempersiapkan siswa menghadapi tantangan abad ke-21.
Aspek penting lainnya adalah bagaimana
reformasi ini dapat mendukung pendidikan inklusif. Dengan peran yang lebih
luas, guru mempunyai kesempatan lebih besar untuk memahami dan memenuhi
kebutuhan individu siswa, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus.
Dalam hal kebijakan pendidikan, reformasi
ini mencerminkan pergeseran dari pendekatan “top-down” ke pendekatan yang lebih
kolaboratif dan partisipatif. Guru tidak lagi dipandang sebagai pelaksana
kebijakan yang pasif tetapi sebagai mitra aktif dalam pengembangan dan
implementasi kebijakan pendidikan.
Dalam konteks global, reformasi ini juga
sejalan dengan upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs),
khususnya SDG 4 tentang pendidikan berkualitas.
Dengan memperluas peran guru, terdapat
potensi lebih besar untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif,
adil, dan berkualitas bagi semua. Namun, penerapan reformasi ini juga
menghadapi sejumlah tantangan potensial.
Pertama, menolak perubahan. Banyak guru
mungkin sudah terbiasa dengan sistem lama dan mungkin merasa tidak nyaman
dengan perubahan peran mereka. Kedua, terbatasnya sumber daya, terutama di
daerah terpencil, dapat menghambat implementasi penuh reformasi ini. Ketiga,
terdapat risiko kelebihan guru jika waktu dan sumber daya tidak dikelola secara
efektif.
Untuk mengatasi tantangan tersebut,
diperlukan pendekatan implementasi yang bertahap dan adaptif. Masa transisi
perlu diberikan agar guru dan sekolah dapat beradaptasi secara bertahap dengan
sistem baru.
Dukungan yang berkelanjutan, baik dalam
bentuk pelatihan maupun sumber daya, juga penting bagi keberhasilan reformasi
ini. Tinjauan rutin dan penyesuaian kebijakan juga penting untuk
memastikan reformasi ini mencapai
tujuannya.
Hal ini mencakup pemantauan dampak
reformasi terhadap kualitas pengajaran, hasil
siswa, dan kesejahteraan guru. Umpan balik yang efektif antara pembuat
kebijakan, administrator sekolah, guru, dan masyarakat harus dibangun untuk
memastikan perbaikan berkelanjutan.
Dalam jangka panjang, reformasi ini dapat
mengubah lanskap pendidikan di Indonesia secara signifikan. Dengan semakin
berdayanya guru dan terlibat aktif dalam berbagai aspek pendidikan dan
kehidupan masyarakat, maka terdapat harapan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan secara keseluruhan.
Hal ini dapat berkontribusi terhadap
pengembangan sumber daya manusia yang lebih baik dan pembangunan nasional yang
berkelanjutan.
Reformasi fungsi utama guru yang akan
dimulai pada 01 Januari 2025 merupakan langkah berani dan progresif yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Sekalipun
implementasinya menimbulkan masalah, reformasi ini menawarkan peluang penting
untuk mentransformasi sistem pendidikan secara positif.
Dengan perencanaan yang matang,
implementasi yang cermat, dan evaluasi yang berkesinambungan, reformasi ini
berpotensi membawa Indonesia memasuki era baru
pendidikan, guru memainkan peran sentral tidak hanya sebagai guru tetapi
juga sebagai mentor, pembelajar sepanjang hayat, dan agen perubahan.***
.....
Tulisan Bagian 1:
Bye-Bye Beban Administratif Guru