Hamdan tak dapat diminta, apalagi dipaksa untuk mundur dari jabatannya sebagai Rektor UIN Alauddin Makassar. Karena itu saya memilih narasi bertanya: Maukah Rektor Mundur? - Andi Wanua Tangke - |
----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 21 Desember 2024
Maukah Rektor UIN Mundur?
Oleh: Andi Wanua Tangke
(Kolumnis dan Prosais)
Bukan: perlukah rektor mundur. Bukan:
rektor harus mundur. Bukan: rektor dipaksa mundur. Bukan: rektor dimundurkan.
Tapi: maukah rektor mundur?
“Saya jujur mengakui di Kampus UIN
Alauddin Makassar telah terjadi malapetaka besar. Musibah menimpa kampus yang
selama ini memperjuangkan kebangkitan nilai-nilai religius. Tak terbayangkan
seorang pimpinan perpustakaan yang juga berstatus sebagai dosen bergelar
doktor: telah merusak peradaban perguruan tinggi Islam dengan membangun pabrik
uang palsu di tengah kampus dengan mesin cetak modern. Saya marah. Marah
sekali. Sangat marah. Malu, saya malu. Tragedi ini lahir dari oknum. Murni
oknum. Tak melibatkan manajemen kampus. Tapi dilakukan di dalam kampus.
Lantaran itu sebagai pimpinan tertinggi - Rektor UIN Alauddin Makassar: saya
meminta maaf sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia dan, tentu saja, kepada
Tuhan atas peristiwa yang memalukan ini. Sebagai bentuk tanggung jawab saya:
izinkan saya mundur sebagai Rektor UIN Alauddin Makassar.”
Maukah Prof Drs. Hamdan Juhanis, M.A.,
Ph.D., Rektor UIN Alauddin Makassar, mengucapkan kalimat di atas itu dalam
acara jumpa pers?
*
Mundur dari jabatan itu: bukan pengecut.
Bahkan memiliki nilai keindahan moralitas sebagai refleksi tanggung jawab.
Kalau pejabat itu laki-laki: ada aroma “kejantanan” dalam dirinya.
Di negeri modern yang memegang teguh moral
peradaban: kita sering mendengar pejabatnya mundur dari jabatannya lantaran di
wilayah kekuasaannya terjadi praktik amoral. Misalnya, anak buahnya melakukan
korupsi besar-besaran, pelecehan seks, dll, yang bernuansa pelanggaran etik
besar: Sang Pejabat memilih mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral.
*
Apa yang terjadi di UIN Alauddin: bukan
peristiwa biasa yang dilakukan oknum-oknum, tetapi sudah masuk wilayah “tragedi
bangsa”. Bukan luka daerah, tapi luka bangsa.
Objeknya memang di dalam kampus yang
terletak di sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan: namun sesungguhnya
muatan kejahatannya telah mencederai bangsa: menodai bangsa Indonesia.
Sampai hari ini, saya masih yakin: Hamdan
Juhanis tidak terlibat dalam mencetak dan mengedarkan uang palsu itu, baik
langsung maupun tidak langsung.
Saya pernah bertemu Hamdan Juhanis,
beberapa tahun lalu. Saat itu dia belum pejabat. Pertemuan bersama “orang-orang
UIN” itu digelar di sebuah ruko di perbatasan Gowa - Makassar.
Ketika itu kami membicarakan: penyusunan
naskah dan penerbitan buku tentang sosok Kahar Muzakkar, Pejuang DI/TII. Di
situ saya melihat Hamdan Juhanis: mengesankan sosok intelektual muda yang
bermimpi besar.
*
Mengapa saya melontarkan pertanyaan:
Maukah Rektor Mundur? Lantaran hanya itu jalan: Hamdan Juhanis dapat
menyembuhkan nuraninya yang sedang sakit diakibatkan tragedi bangsa yang
kebetulan bermuara di wilayah kekuasannya.
Hamdan tak dapat diminta, apalagi dipaksa
untuk mundur dari jabatannya sebagai Rektor UIN Alauddin Makassar. Karena itu
saya memilih narasi bertanya: Maukah Rektor Mundur?
Tragedi “Uang Palsu UIN” ini, kini, kian
meluas. Pada mulanya saya mendapat info: kejahatan ini diorganisir oleh sosok
Dr. Andi Ibrahim, dosen dan Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar.
Ternyata tidak sampai hanya di situ. Ada “sosok
intelektual” di luar kampus yang sangat berperan dalam memuluskan jalannya
kejahatan sistemik ini: dari gagasan, pendanaan, dan pengadaan mesin cetak
modern.
Tampaknya ujian untuk Kapolda Sulsel: kian
berat.*