-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 26 Desember 2024
Revolusi Sunyi di Ruang Kelas (2-habis)
Pendekatan Keadilan
Restoratif di Sekolah
Oleh: Mas’ud Muhammadiah
(Dosen Universitas Bosowa)
Perubahan budaya dan praktik yang telah
lama ada di Indonesia membutuhkan waktu dan upaya yang konsisten. Menghapuskan
hukuman fisik di sekolah bukan hanya masalah membuat undang-undang, tetapi juga
mengubah mindset dan praktik yang telah mengakar dalam masyarakat Indonesia.
Studi oleh Kyegombe (2017) di Uganda,
sebuah negara dengan konteks budaya yang memiliki beberapa kesamaan dengan
Indonesia dalam hal praktik pendisiplinan tradisional, menunjukkan bahwa
intervensi berbasis sekolah yang bertujuan untuk mengurangi kekerasan terhadap
anak-anak, termasuk hukuman fisik, dapat efektif jika dilakukan secara
komprehensif.
Intervensi ini melibatkan pelatihan staf
sekolah, perubahan kebijakan sekolah, dan pelibatan masyarakat. Hasilnya
menunjukkan penurunan signifikan dalam penggunaan kekerasan fisik oleh guru dan
peningkatan dalam penggunaan metode disiplin alternatif.
Contoh ini menunjukkan bahwa perubahan
positif memang mungkin dilakukan di Indonesia, tetapi membutuhkan pendekatan
holistik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Ini juga menegaskan
bahwa perlindungan HAM anak dan pendisiplinan efektif tidak harus menjadi hal
yang saling bertentangan, tetapi dapat saling melengkapi jika diimplementasikan
dengan benar.
Dalam konteks Indonesia, tradisi dan
nilai-nilai budaya memainkan peran penting dalam praktik pendidikan,
implementasi pendekatan baru dalam pendisiplinan siswa harus dilakukan dengan
sensitif dan kontekstual. Hal ini akan melibatkan adaptasi metode disiplin
positif yang sesuai dengan nilai-nilai lokal, sambil tetap menjunjung tinggi
prinsip-prinsip HAM dan perlindungan anak.
Di era digital, informasi dan metode
pembelajaran baru mudah diakses, ada peluang untuk mengembangkan pendekatan
inovatif dalam manajemen kelas dan pendisiplinan siswa di Indonesia.
Penggunaan aplikasi dan platform digital
untuk mendukung pembelajaran sosial-emosional dan manajemen perilaku dapat
menjadi alat tambahan bagi guru dalam menegakkan disiplin tanpa menggunakan
hukuman fisik. Namun, penggunaan teknologi juga membawa tantangan baru dalam
konteks Indonesia.
Cyberbullying dan bentuk pelecehan online
lainnya telah muncul sebagai masalah serius yang memerlukan pendekatan disiplin
yang berbeda. Dalam konteks ini, pendidikan tentang penggunaan teknologi yang
bertanggung jawab dan etika digital menjadi sama pentingnya dengan
pendisiplinan tradisional.
Ketika kita mempertimbangkan kontradiksi
antara HAM dan sanksi terhadap siswa di Indonesia, penting diakui bahwa ini
bukan masalah hitam putih. Ada nuansa dan kompleksitas yang perlu
dipertimbangkan.
Hukuman vs Konsekuensi Logis
Misalnya, bagaimana kita mendefinisikan “hukuman”
versus “konsekuensi logis” dalam konteks budaya Indonesia? Apakah menahan
seorang siswa setelah sekolah untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai
dianggap sebagai hukuman atau sebagai konsekuensi alami dari tidak
menyelesaikan tugas?
Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan
perlunya dialog berkelanjutan dan refleksi kritis dalam komunitas pendidikan
Indonesia. Guru, administrator sekolah, pembuat kebijakan, dan bahkan siswa
sendiri perlu dilibatkan dalam diskusi tentang bagaimana menciptakan lingkungan
belajar yang aman, inklusif, dan mendukung, sambil tetap mempertahankan standar
perilaku yang tinggi.
Salah satu pendekatan yang menjanjikan
adalah konsep “restorative justice” atau keadilan restoratif dalam konteks
sekolah. Pendekatan ini, yang berakar pada praktik tradisional beberapa budaya
indigenous, berfokus pada memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh perilaku
buruk daripada sekadar menghukum pelaku.
Dalam konteks sekolah Indonesia, bisa
melibatkan dialog antara siswa yang berperilaku buruk dengan mereka yang
terkena dampak perilaku tersebut, dengan tujuan untuk memahami dampak tindakan
mereka dan menemukan cara untuk memperbaiki situasi.
Fronius, (2019) dalam kajiannya terhadap
implementasi praktik keadilan restoratif di sekolah-sekolah Amerika Serikat
menemukan bahwa pendekatan ini dapat mengurangi penggunaan suspensi dan praktik
disiplin punitive lainnya, sambil meningkatkan iklim sekolah secara
keseluruhan.
Meskipun implementasinya membutuhkan waktu
dan sumber daya, hasil jangka panjangnya menunjukkan potensi untuk menciptakan
lingkungan sekolah yang lebih positif dan inklusif. Pendekatan ini akan dapat
diadaptasi untuk konteks Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya
lokal.
Pendekatan keadilan restoratif ini sejalan
dengan prinsip-prinsip HAM karena menghormati martabat semua pihak yang
terlibat dan berfokus pada pemulihan daripada pembalasan.
Ini juga memberikan kesempatan bagi siswa
untuk mengembangkan keterampilan penting seperti empati, komunikasi, dan
pemecahan masalah, yang sangat relevan dengan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat Indonesia. Namun, implementasi pendekatan semacam ini juga
menghadapi tantangan di Indonesia.
Ini membutuhkan perubahan signifikan dalam
budaya sekolah dan memerlukan pelatihan ekstensif. Ada juga kekhawatiran bahwa
dalam kasus pelanggaran serius, pendekatan restoratif mungkin tidak cukup untuk
mencegah perilaku berbahaya atau melindungi korban.
Oleh karena itu, pendekatan yang seimbang
di Indonesia dengan melibatkan integrasi praktik restoratif dengan struktur
disiplin yang lebih tradisional. Hal ini bisa berarti menggunakan praktik
restoratif untuk sebagian besar pelanggaran ringan hingga sedang, sambil
mempertahankan konsekuensi yang lebih tegas untuk pelanggaran serius atau
berulang.
Dalam konteks yang lebih luas, untuk
memahami bahwa disiplin di sekolah Indonesia tidak terjadi dalam ruang hampa.
Faktor-faktor seperti kemiskinan, trauma, dan ketidaksetaraan sistemik semuanya
dapat mempengaruhi perilaku siswa dan kemampuan mereka untuk mematuhi aturan
sekolah.
Oleh karena itu, pendekatan holistik
terhadap disiplin sekolah di Indonesia juga harus mempertimbangkan
faktor-faktor sosial ekonomi yang lebih luas ini. Sekolah di Indonesia dapat
bermitra dengan layanan sosial dan kesehatan mental untuk menyediakan dukungan
tambahan bagi siswa yang mungkin menghadapi tantangan di luar sekolah.
Hal ini sejalan dengan pendekatan berbasis
HAM yang mengakui keterkaitan antara berbagai hak atas pendidikan, kesehatan,
dan standar hidup yang layak semuanya saling terkait dan saling bergantung.
Pada akhirnya, menyelesaikan kontradiksi
antara HAM dan sanksi terhadap siswa di Indonesia membutuhkan pendekatan nuansa
yang mengakui kompleksitas situasi sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip
dasar menghormati martabat dan hak setiap anak.
Hal ini melibatkan pergeseran paradigma
dari model pendisiplinan yang punitive ke model yang lebih restoratif dan
mendidik.
Sebagai kesimpulan, beberapa solusi yang
dapat dipertimbangkan untuk mengatasi kontradiksi antara HAM dan sanksi
terhadap siswa di Indonesia adalah: 1) Pengembangan dan implementasi kebijakan
disiplin sekolah yang jelas dan konsisten yang menekankan pada pendekatan
positif dan restoratif, bukan hukuman fisik.
2) Pelatihan komprehensif bagi guru dan
staf sekolah tentang manajemen kelas positif, teknik de-eskalasi, dan praktik
disiplin yang menghormati HAM anak. 3) Pelibatan aktif siswa, orang tua, dan
masyarakat dalam pengembangan dan implementasi kebijakan disiplin sekolah.
4) Pengembangan sistem dukungan yang kuat
bagi guru, termasuk mentoring, supervisi, dan akses ke sumber daya tambahan
untuk menangani perilaku menantang. 5) Implementasi program pendidikan karakter
dan keterampilan sosial-emosional yang terintegrasi dalam kurikulum sekolah.
6) Penggunaan pendekatan keadilan
restoratif untuk menangani konflik dan pelanggaran di sekolah, dengan fokus
pada pemulihan hubungan dan pemahaman konsekuensi tindakan. 7) Peningkatan
kerjasama antara sekolah, layanan sosial, dan layanan kesehatan mental untuk
menangani akar masalah perilaku siswa.
8) Evaluasi dan penelitian berkelanjutan
tentang efektivitas berbagai pendekatan disiplin dalam konteks Indonesia,
dengan tujuan untuk terus memperbaiki praktik. 9) Kampanye edukasi publik untuk
meningkatkan kesadaran tentang hak-hak anak dan alternatif terhadap hukuman
fisik dalam pendidikan.
10) Revisi dan penguatan kerangka hukum
yang melindungi anak-anak dari kekerasan di sekolah, sambil memberikan panduan
yang jelas tentang praktik disiplin yang dapat diterima.
Dengan menerapkan pendekatan komprehensif
ini, Indonesia dapat bergerak menuju sistem pendidikan yang lebih menghormati
HAM anak sambil tetap menjaga disiplin dan kualitas pendidikan.
Perubahan ini tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi dengan komitmen dan upaya berkelanjutan dari semua pemangku kepentingan, transformasi positif dalam cara kita mendisiplinkan dan mendidik anak-anak adalah mungkin.***
.....
Artikel bagian 1: