Revolusi Sunyi di Ruang Kelas

KONTRADIKSI antara upaya pendisiplinan dan perlindungan HAM anak ini menjadi dilema yang kompleks dalam sistem pendidikan Indonesia. Guru sebagai pendidik memiliki tanggung jawab untuk membimbing dan mendidik siswa, termasuk menegakkan disiplin. Namun, metode pendisiplinan yang melibatkan hukuman fisik atau bentuk kekerasan lainnya dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak dan HAM. (int)

 

-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 26 Desember 2024

 

Revolusi Sunyi di Ruang Kelas

 

Oleh: Mas’ud Muhammadiah

(Dosen Universitas Bosowa)

 

Tanggal 10 Desember, dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, sedangkan hari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) diperingati tanggal 25 November. Peringatan ini menjadi momen penting untuk merefleksikan dan mengevaluasi penerapan prinsip-prinsip HAM dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.

Salah satu isu yang sering menimbulkan perdebatan adalah praktik penghukuman murid oleh guru dengan tujuan pendisiplinan. Di satu sisi, tindakan ini dianggap sebagai metode pendidikan yang diperlukan untuk membentuk karakter dan perilaku positif siswa. Namun di sisi lain, penghukuman fisik atau psikologis dapat berpotensi melanggar hak-hak dasar anak sebagai manusia.

Kontradiksi antara upaya pendisiplinan dan perlindungan HAM anak ini menjadi dilema yang kompleks dalam sistem pendidikan Indonesia. Guru sebagai pendidik memiliki tanggung jawab untuk membimbing dan mendidik siswa, termasuk menegakkan disiplin. Namun, metode pendisiplinan yang melibatkan hukuman fisik atau bentuk kekerasan lainnya dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak dan HAM.

Sejarah menunjukkan bahwa praktik penghukuman fisik terhadap anak dalam konteks pendidikan telah lama ada dalam berbagai budaya, termasuk di Indonesia. Metode seperti memukul dengan tongkat, mencubit, atau membuat siswa berdiri di sudut kelas dianggap sebagai cara yang efektif untuk mendisiplinkan dan membentuk karakter. Namun seiring berkembangnya pemahaman tentang HAM dan hak anak, pandangan ini mulai dipertanyakan dan dikritisi.

Konvensi Hak Anak PBB yang diadopsi pada tahun 1989 dan diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1990 secara eksplisit menyatakan bahwa anak-anak harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi.

Pasal 19 Konvensi ini mewajibkan negara-negara anggota untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Hal ini termasuk perlindungan dari hukuman fisik di sekolah.

Namun demikian, penerapan prinsip-prinsip HAM dan perlindungan anak dalam konteks pendidikan di Indonesia bukanlah hal yang sederhana. Ada berbagai faktor budaya, sosial, dan praktis yang perlu dipertimbangkan.

Di banyak daerah di Indonesia, hukuman fisik masih dianggap sebagai metode pendisiplinan yang dapat diterima dan bahkan diperlukan. Pandangan ini sering kali berakar pada tradisi dan nilai-nilai budaya yang telah lama ada.

Studi yang dilakukan oleh Gershoff dan Font (2016) menganalisis dampak jangka panjang dari hukuman fisik terhadap anak-anak. Mereka menemukan bahwa hukuman fisik berkorelasi dengan peningkatan agresi, perilaku antisosial, masalah kesehatan mental, dan hubungan yang lebih buruk antara orang tua dan anak.

Temuan ini memperkuat argumen bahwa hukuman fisik, meskipun dimaksudkan untuk mendisiplinkan, justru dapat menghasilkan efek negatif jangka panjang yang bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri.

 

Guru Dihukum

 

Di Indonesia, kasus-kasus guru yang dihukum karena menerapkan sanksi fisik terhadap murid telah menjadi sorotan publik dan menimbulkan perdebatan. Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah kasus guru di Sidoarjo, Jawa Timur, pada tahun 2016.

Guru tersebut dihukum penjara selama 6 bulan karena mencubit siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Kasus ini memicu kontroversi dan perdebatan tentang batas-batas antara pendisiplinan dan kekerasan terhadap anak.

Kasus lain terjadi di Makassar pada tahun 2019, seorang guru dituntut hukuman penjara karena memukul siswa dengan penggaris. Meskipun guru tersebut berargumen bahwa tindakannya adalah bentuk pendisiplinan, pengadilan memutuskan bahwa tindakan tersebut termasuk dalam kategori kekerasan terhadap anak.

Kasus-kasus ini menunjukkan kompleksitas masalah dan kesulitan dalam menarik garis yang jelas antara pendisiplinan dan pelanggaran HAM. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menegakkan disiplin dan membentuk karakter siswa. Di sisi lain, ada kewajiban untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk yang dilakukan dengan dalih pendisiplinan.

Durrant dan Ensom (2012) dalam penelitian mereka mengusulkan pendekatan disiplin positif sebagai alternatif terhadap hukuman fisik. Mereka menekankan pentingnya komunikasi yang jelas, penetapan batasan yang konsisten, dan penggunaan konsekuensi logis sebagai metode untuk mengajarkan disiplin tanpa melanggar hak-hak anak.

Pendekatan ini bertujuan untuk membangun hubungan yang positif antara guru dan murid, sambil tetap menegakkan aturan dan ekspektasi perilaku.

Implementasi pendekatan disiplin positif di Indonesia membutuhkan perubahan paradigma dalam sistem pendidikan. Ini melibatkan pelatihan guru, pengembangan kurikulum yang mendukung, dan penciptaan lingkungan sekolah yang mendukung hak-hak anak.

Beberapa sekolah di Indonesia telah mulai mengadopsi kebijakan yang melarang hukuman fisik dan menggunakan metode disiplin alternatif, namun implementasinya masih belum merata di seluruh negeri.

Transisi dari metode tradisional ke pendekatan yang lebih berpusat pada anak tidak selalu mudah dalam konteks Indonesia. Banyak guru merasa tidak siap atau tidak yakin bagaimana menerapkan metode disiplin positif, terutama dalam situasi kelas yang menantang.

Kurangnya sumber daya, kelas yang terlalu besar, dan tekanan untuk mencapai hasil akademis sering kali menjadi hambatan dalam implementasi pendekatan baru ini.

Lebih jauh lagi, ada kekhawatiran di kalangan pendidik dan masyarakat Indonesia bahwa penghapusan total hukuman fisik tanpa alternatif yang efektif dapat menyebabkan hilangnya kendali di kelas.

Beberapa kritikus berpendapat bahwa pendekatan yang terlalu lunak dapat menghasilkan generasi yang kurang disiplin dan tidak siap menghadapi tantangan dunia nyata. Untuk mengatasi dilema ini, diperlukan pendekatan yang seimbang dan kontekstual yang sesuai dengan kondisi di Indonesia.

Kebijakan pendidikan harus dirancang dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM dan perlindungan anak, sambil tetap memberikan ruang bagi guru untuk mengelola kelas secara efektif.

Ini akan melibatkan kombinasi dari: 1) Pelatihan komprehensif bagi guru tentang metode disiplin positif dan manajemen kelas yang sesuai dengan konteks budaya Indonesia. 2) Pengembangan pedoman yang jelas tentang praktik disiplin yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, dengan mempertimbangkan norma-norma budaya lokal.

3) Penciptaan sistem dukungan bagi guru, termasuk konseling dan sumber daya tambahan untuk menangani siswa dengan perilaku menantang. 4) Pelibatan orang tua dan masyarakat dalam mendukung pendekatan disiplin yang positif, dengan mempertimbangkan nilai-nilai keluarga dan masyarakat Indonesia.

5) Evaluasi dan penelitian berkelanjutan untuk mengidentifikasi praktik terbaik dalam mendisiplinkan siswa tanpa melanggar hak-hak mereka dalam konteks Indonesia. (bersambung)


.....

Artikel bagian 2:

Pendekatan Keadilan Restoratif di Sekolah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama