-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 14 Desember 2024
“Tu Kalumannyang”,
Kisah dari Pentas Teater Smichi dalam Festival Teater Berbahasa Daerah
Oleh: Syafruddin Muhtamar
(Penonton Pertunjukan)
Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan
menyelenggarakan program Festival Teater Berbahasa Daerah, selama tiga hari
pelaksanaan, dari tanggal 13 hingga 15 desember 2024, bertempat di Hotel Four
Points, Kota makassar.
Peserta berasal dari sejumlah Sekolah
Menengah Atas (SMA) se-Sulawesi Selatan dan Barat, yang telah diproses secara
bertahap. Ken Sidrah Annora Kenzie, salah seorang remaja peserta dari SMA
Muhammadiyah 1 Makassar (Smichi), mengharapkan ‘kehadiran’ saya untuk
menyaksikan penampilannya. Harapan seorang anak remaja yang selalu gelisah
dalam ‘kebutuhan perhatian.’
Demi menjaga asa, semangat dan antusias
generasi muda dalam mencintai bahasa daerah dan kebudayaan lokal melalui dunia
kesenian, maka patut rasanya untuk ‘hadir’ dalam selebrasi bahasa dan budaya
lokal melalui kesenian dalam festival teater berahasa daerah ini, yang
pesertanya adalah para generasi penerus bahasa dan budaya lokal.
Acara festisval dimulai dengan seremoni
sambutan-sambutan dari pihak penyelenggara.
Dra Murmahyati MHum (Plt Kepala Balai
Bahasa Provinsi Sulsel) dalam sambutannya menyampaikan urgensi pelestarian
bahasa daerah dalam media kesenian, melalui generasi atau tunas-tunas muda
remaja siswa-siswi SMA se Sulawesi Selatan dan Barat, agar potensi kebahasaan
lokal dan kebudayaan daerah dapat tetap lestari di tengah kehidupan modern,
yang dapat menggerus bahasa dan kebudayaan lokal.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi
Selatan, Iqbal Jamaluddin SE, yang membuka acara Festival Teater Berbahasa
Daerah ini, memberikan apresiasi yang tinggi atas penyelenggaraan kegiatan
tersebut dan memotivasi para peserta festival untuk memberikan penampilan
terbaiknya.
Beliau berharap kegiatan ini dapat
melahirkan talenta-talenta kesenian dari generasi muda yang dapat membanggakan
masyarakat dan sekolah yang diwakili, sekaligus dapat merangsang generasi mudah
untuk mencintai bahasa lokal sebagai bagian dari kebudataan daerah yang
merupakan penunjang kebudayaan nasional. Dan berjanji, Dinas Pendidikan akan
mendukung penuh kegiatan-kegiatan seperti ini dalam skala yang lebih besar.
Terakhir, sebelum acara penampilan
sejumlah teater SMA, MC memperkenalkan 5 juri dalam Festifal ini, 3 di antaranya
dikenal sebagai tokoh sastrawan dan teaterawan Sulawesi Selatan, yakni: Asia
Ramli Prapanca, Bahar Merdhu, dan Goenawan Monoharto, dua juri lainnya adalah
kalangan pemerintah dalam bidang budaya dan kebahasaan.
Si Kaya dan Si Miskin
Usai penampilan teater SATU dari SMA 1
Makassar, yang tampil memukau, panitia meminta kepada peserta dari SMA
Muhammadiyah 1 Makassar (SMICHI) untuk bersiap-siap. Setelah panggung
disterilkan kembali oleh panitia, beberapa properti pementasan kembali diusung
ke panggung. Tim dari SMICHI menata properti untuk pementasan berikutnya.
Nampak di atas panggung seperti sebuah
kompleks perumahan, yang terdiri dari rumah mewah, rumah kumuh dan sebatang
‘pohon’ seperti sebuah tempat persembahan.
Lima menit berlalu, lampu dalam ruangan
seketika padam. Gelap, semua penonton hening seketika, dan perlahan tata cahaya
menyorot ke panggung. Semua mata tertuju ke arah panggung: ada rumah berwarnah
putih cerah, simbol rumah mewah, ada rumah kardus kusam, simbol rumah kumuh,
dan sebuah tempat ‘pemujaan’.
Alunan musik klasik khas Makassar mengalun
perlahan, seakan-akan sedang bercerita tentang kesedihan hidup seorang yang
mengalami penderitaan dalam kehiupan.
Kemudian, seorang tua keluar dari dalam
rumah kumuh, menggambarkan dalam lakonnya sebuah keadaan yang hidup dalam
kemiskinan. Nisa sebagai Minah, yang memerankan ibu orang miskin, berjalan
tertatih, sambil menampih beras. Salah seorang anaknya bernama Soba’ yang
diperankan oleh Akram, sedang mencangkul di kebun dan anaknnya yang lain
bernama Naba’ yang diperankan oleh Resel, nampak sedang memulung barang-barang
bekas.
Pada sisi lain, penghuni rumah mewah juga
ditampilkan dengan pragmen, sedang bersenang-senang dengan kemewahannya dalam
sikap kesombongan dan keangkuhan.
Aminah yang berperan sebagai ibu kaya
benama So’na, kerjanya bersolek di depan cermin yang ada ditangannya, sementara
anaknya yang diperankan oleh Ken Sidrah Annora Kezie sebagai Sitti, tampil
dengan memegang uang yang dikipas-kipaskan ke wajahnya yang menor melalui
tangan kanannya.
Di atas panggung tampil dua peristiwa yang
sangat kontras: antara kehidupan si kaya yang sombong dan angkuh dan kehidupan
si miskin yang papah namun rendah hati.
Si kaya hidup dengan menikmati kesenangan
yang dinginkannya dengan menghambur-hamburkan uang. Sementara si miskin, hidup
dalam keprihatinan dan ketakberdayaan dalam kesabaran dan ketabahan.
Anak si miskin ditampilkan sangat mengabdi
kepada kedua orang tua, mereka patuh dan senantiasa memberikan penghormatan
pada orangtuanya.
Alunan musik klasik makassar, menjadi
penghantar dan backsound ragam adengan yang seolah-olah melirikkan atau
menceritakan kesedihan keluarga miskin ini.
Sementara kehidupan tetanganya yang kaya
raya, digambarkan dalam situasi berbeda, yang hanya selalu memikirkan
kesenangan-kesenangan untuk terus mempercantik diri, anak-nakanya hanya
memikirkan uang orang tuanya, bagaimana selalu minta uang untuk bersenang-senang
dan foya-foya.
Kehidupan si kaya yang selalu terobsesi
dengan kekayaan dan kecantikan, akhirnya menjadi semakin tersesat, ketika si
ibu orang kaya ini, menghubungi seorang
dukun bernama Sanroa yang diperankan oleh Fajrin, untuk memasang susuk agar tampil makin cantik
dan disenangi orang dengan bantuan dukun. Dan menggadakan uang, agar semakin
kaya.
Sang dukun melalui anaknya bernama
Sangkala yang diperankan oleh Ucup, meminta banyak harta dari si kaya sebagai imbalan atau bayaran untuk maksud si
orang kaya itu. Namun kenyataan, tidak sesuai harapan. Seluruh harta si kaya
habis karena perbuatannya bersekutu dengan seorang dukun.
Kehidupan mereka sekeluargapun ambruk.
Anak-nakanya juga gagal dalam sekolahnya, akhirnya mereka hidup terpuruk dalam
keputusasaan.
Sebaliknya, dalam kehidupan si miskin,
yang selalu sederhana dan selalu berusahan membuat anak-anaknya termotivasi
untuk sukses walau dalam keadaan yang serba memprihatinkan.
Dengan berkat ketabahan dan kesungguhan
dan harapan serta doa-doa kedua orang tuannya. Akhirnya, si anak miskin ini
dapat meraih cita-cita sebagai sarjana dan menjadi sukses dalam kehidupannya.
Dan si anak miskin yang sekarang sudah
sukses, menutup ceritanya dengan pesan moral mengenai pentingnya bersyukur dan
tidak besfifat sombong angkuh.
Perlahan, sorot cahaya kuning emas
meredup, meninggalkan bayangan para tokoh dan propertinya di atas pentas.
Panggungpun kembali senyap-gelap dan pementasan teater SMICHI dalam Festival
itu pun usai.
Sebuah alur naskah pentas yang menampilkan
secara kontras dua kehidupan keseharian manusia, namun setiap pelakonnya
menjalaninya dengan nilai-nilai berbeda, maka ending kehidupan merekapun
berbeda. Satu keluarga berakhir tragis, dan keluarga yang lainnya berakhir
bahagia.
Naskah pementasan teater ini berjudul Tu
kalumanyyang, ditulis dan dipentaskan dalam bahasa Makassar, merupakan arahan
dan bimbingan dari guru-guru pembimbing dari SMICHI kepada siswa-siswi yang
ikut bergabung dalam kelompok, dalam rangka program pementasan tetater dari
Balai Bahasa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Barat.
Program seperti ini diharapkan semakin
intens diselenggarakan, terutama dalam rangka melestarikan bahasa daerah
melalui pelibatan kalangan generasi muda, melalui ragam media kesenian tidak
terbatas pada bidang teater, tetapi juga musik, sinematografi, sastra dan media
seni lainnya.***