Uang Politik, Uang Sunhaji, Uang MA, Juga Uang Palsu

Konon, pemimpin kita mustahil bisa duduk di kursinya, tanpa diawali politik uang. Tapi bagi Sunhaji (kiri) lain, dapat rejeki justru buah dari tetiba dirinya “dihinakan”. Tapi, ironis bagi Zarof Ricar, sukses merampok uang satu triliun, hanya saja dia bingung cara menyimpannya. Lain soal uang palsu itu. Pelaku sukses memproduksinya dalam kampus, di sela buku-buku ruang perpustakaan pula. Namun naasnya, justru dia gagal kala membelanjakan. Hi hi hi... - Armin Mustamin Toputiri - 

 

-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 19 Desember 2024

 

Uang Politik, Uang Sunhaji, Uang MA, Juga Uang Palsu

 

Oleh: Armin Mustamin Toputiri

 

“Ukuran kekayaan sebenarnya yang kau miliki, adalah seberapa berharga dirimu jika kekayaanmu itu sudah tak lagi ada.”

---

HUJAN deras di luar, depan rumah saya–sebelah Rumah Sakit Faisal Makassar–genangan air setinggi lutut orang dewasa. Saya memilih selonjoran di kursi tamu. Lalu, buka hape, menyimak berita teraktual.

Pilkada telah usai, tapi rupanya sebagian kontestan mengadu ke MK. Aduannya, tak terima kalah bertaruh politik uang. Tapi akh, semua juga tau, politik uang bagai berak di jalanan. Kekeliruan besar, tapi tak lagi dinilai tabu. Jamak, semua kita, menilai lumrah. “Ala bisa karena terbiasa,” tulis Charles Duhigg di bukunya “The Power of Habit” (2013).

Kita lewati saja berita politik uang itu. Nah ini, ketemu berita soal uang juga. Di rumah Sunhaji–penjaja teh keliling yang dihardik ‘goblok’ oleh Gus Miftah–ada segepok uang. Fantastis, terlebih bagi penjaja teh keliling, nilainya ratusan juta rupiah.

Rejeki itu, abrakadabra bagi Sunhaji. Sim salabim, sekejap turun dari langit. Tersalur lewat mulut kasar oknum tokoh agama. “Aakh, Gus Miftah itu, bisa saja ‘wali’. Beda, bukan mantra, justru cara menghardik, karomahnya maqbul. Maka turunlah segepok uang itu ke rumah Sunhaji,” sindir budayawan Sujiwo Tejo.

Tapi di benak saya, liar berkelindang fantasi lain. Sayang sekali, Pileg dan Pilkada telah usai. Jika belum, andai Sunhaji ikut nyaleg, atau nyalon Pilkada, tak mustahil bakal terpilih. Tak soal, dia penjaja teh keliling. Terpenting, dia banyak dapat simpati. Apa beda Jokowi, mulanya juga tukang kayu.

***

Wow, ini satu berita lagi soal uang. Sumpah, saya tak kuasa menahan takjub, melihat potret tumpukan uang tersusun rapi. Memenuhi luasan kamar sebuah rumah mewah. Nilainya tak terkira, nyaris satu triliun.

Dulu di DPRD Sulsel, saya di Komisi Keuangan. Tiap tahun menghitung 10 triliun APBD Sulsel. Hanya angka di atas kertas, tapi wujud 10 triliun itu tak jua tampak. Baru ini kali pertama, saya lihat potret uang satu triliun. Sebagian mata uang asing. Kebayang, berapa kamar dibutuh andai lembaran rupiah 100 ribu.

Pemiliknya Zarof Ricar, ex-pejabat Mahkamah Agung. Uang itu, diraih dari peran Markus, makelar kasus. Soal perbuatannya, tak lagi kepikir di benak saya, telah lazim bagi penegak hukum di republik ini. Justru yang terngiang di benak saya, “rupanya mendapatkan uang hasil kejahatan kolusi-korupsi, jauh lebih mudah dibanding cara menyimpannya.”

Belum sirna di benak soal tumpukan uang triliunan, eeh ketemu lagi berita teranyar soal uang. Polres Gowa menemukan setumpuk uang kertas seratus ribu. Konon, nilainya sedikit lagi semilyar rupiah. Uang sebanyak itu, patut disesali, karena rupanya uang palsu. Andai asli, hmm...

Ironisnya, tumpukan uang haram itu -- juga alat produksinya -- didapat dalam kampus berlabel Islami. Memilukan lagi–kontras–berada dalam ruang perpustakaan. Para pelaku yang memproduksi, mengedar, bukanlah preman. Dia pejabat di kampus itu. Bergelar doktor, juga seorang muballigh.

***

Serba anomali. Konon, pemimpin kita mustahil bisa duduk di kursinya, tanpa diawali politik uang. Tapi bagi Sunhaji lain, dapat rejeki justru buah dari tetiba dirinya “dihinakan”. Tapi, ironis bagi Zarof Ricar, sukses merampok uang satu triliun, hanya saja dia bingung cara menyimpannya.

Lain soal uang palsu itu. Pelaku sukses memproduksinya dalam kampus, di sela buku-buku ruang perpustakaan pula. Namun naasnya, justru dia gagal kala membelanjakan. Hi hi hi...

Makassar, 17 Desember 2024

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama