“Bapak nanti yang menang,” bisik saya ke Annar. “Betulko?”, balas Annar. “Iyya, 16 suara, Reza cuma 10 suara,” ujar saya. “Jika tebakanmu benar, saya beri uang satu juta,” janji Annar. |
-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 31 Desember 2024
Utang Saya pada
Annar Sampetoding
Oleh: Armin Mustamin Toputiri
DI PENGHUJUNG 2024, Annar Salahuddin
Sampetoding, digunjing banyak orang. Namanya, ramai diberitakan media. Akronimnya
ASS.
Dia diduga “aktor intelektual”, dalang di
balik pencetakan uang palsu lembaran 100.000 rupiah. Sebelum mesin cetak besar
ditemukan di Perpustakaan UIN Alauddin, ungkap Kapolda Sulsel, lebih dulu
didapati mesin kecil di kediaman Annar.
Kini, Annar ditetapkan tersangka ke-18.
Perannya, entah pelaku “Pieger” berbuat sendiri, “Doenplegen” menyuruh
melakukan, ataukah “Medepleger” turut serta melakukan.
***
Sosok Annar, saya kenal. Sepihak,
mengklaim saya kadernya. Setidaknya, seperti itu acapkali dia kemukakan kala
mengenalkan saya pada para koleganya.
Dekat, sesekali telponan “say hello”,
namun tak akrab. Bos PT Sulwood dan putra Siner Resen itu, mula dari sononya
turunan saudagar kaya. Lalu, mula saya mengenal Annar, 1996 silam, dia bos saya
di ARDIN Sulsel -- asosiasi pengusaha supplier, searah GAPENSI di bidang
konstruksi -- kala itu dia ketua. Saya pekerja diupah, sebagai Sekretaris
Eksekutif.
Tahun 1998 hengkang dari ARDIN, saya
terlibat sekian ormas kepemudaan, ikut gerakan reformasi. Setahun kelak, Musda
Golkar Sulsel awal reformasi -- kala parpol lain belum berdiri selain PPP,
Golkar dan PDI -- saya kembali bersua Annar. Jika sebelumnya dia bos saya, tapi
di Golkar, status kami sama, pengurus di bawah ketua Amin Syam.
***
Kelak 2002, Muswil Pemuda Pancasila (PP)
Sulsel digelar. Tau saya, inilah kali Muswil paling seru, panas, juga ganas.
Sejak PP berdiri di Sulsel, ketua Reza Ali tak terganti. Tapi ini kali, Annar
hadir menantang Reza, incumbent.
Terjadilah, dua tokoh pemuda disegani era
itu, adu tarung di Muswil PP Sulsel. Keduanya punya pengaruh dan kekuatan
massa. Tak hanya loyal, militan, tapi juga garang. Syahdan, ini kali nyaris
seluruh preman Makassar, loyalis dua kubu -- preman santun hingga tengik --
mengepung Hotel Victoria. Kini hotel Horison depan Lapangan Hasanuddin.
Menyaksikan luapan massa, dominan berwajah
garang, bulu kuduk saya berdiri. Menciutkan nyali saya, kali itu dipercaya
pimpinan sidang. Paling membuat saya resah, Annar menelpon saya agar saat
pemilihan, pemilih menulis nama calon. Sisi lain, Diza (adik Reza) juga
menelpon, meminta sebaliknya. Pemilih cukup menulis nomor urut calon.
Dua opsi, sama sah dan benarnya, sesuai
kepentingan masing-masing kubu. Tapi, bertugas jadi pimpinan sidang, saya bagai
disodori buah simalakama. Memakan buah itu, ibu mati. Tak memakan, bapak mati.
Beruntung, insting aktifis saya berbisik, “jangan kau makan buah itu. Serahi
peserta sidang Muswil yang memakannya.”
***
Bisikan batin, menyelamatkan saya dari
himpitan dua opsi. Voting, dari 26 suara peserta pemilik suara, dominan sepakat
menulis nama (bukan nomor urut) calon -- Reza atau Annar -- di lembar kertas
suara.
Palu sidang saya ketok, meminta panitia
melaksanakan pemilihan. Satu persatu pemilik suara, bergilir maju menulis figur
pilihannya. Saya tinggalkan meja sidang, lalu duduk di kursi peserta paling
depan, sela antara Reza dan Annar.
“Bapak nanti yang menang,” bisik saya ke
Annar. “Betulko?”, balas Annar. “Iyya, 16 suara, Reza cuma 10 suara,” ujar
saya. “Jika tebakanmu benar, saya beri uang satu juta,” janji Annar.
Perhitungan suara selesai. Tebakan saya
tak sedikitpun meleset. Annar menang 16 suara, 10 suara sisa milik Reza. Annar
tak ingkar janji, gesit menyelip uang sejuta rupiah ke saku saya, seragam
loreng PP.
Saat forum Muswil ditutup. Annar minta
saya temui di kamar hotel. “Gimana bisa tebakanmu semua benar?” tanya Annar. “Ada
doa khusus dibaca Pak,” jelas saya seadanya. Tau jika Annar percaya mistik. “Ajari
saya doa itu,” pinta Annar, sambil menyodor seikat uang. “Janganlah sekarang
saya ajari Pak, kali lain saja”. Annar sepakat. Seikat uang, pun telah saya
genggam.
***
Hari itu di tahun 2002 itu, saya balik
pulang dari Muswil, petinting mengantongi uang enam juta rupiah. Era itu,
nilainya teramat besar. Lebih lagi, kala itu saya pengangguran.
Sepekan pasca-Muswil, Annar ikut mengajak
saya bergabung di kediamannya -- tempat mesin cetak kecil ditemukan, di era itu
langka rumah punya kolam renang -- menyusun kepengurusan. Annar minta barter,
saya didudukkan Sekretaris PP Sulsel. Syaratnya, saya mengajarinya doa menebak
hasil suara cara presisi jelang pemilihan. Seperti saya buktikan saat Muswil.
Kali itu, alih-alih saya masih saja
berdalih. Risikonya, saya hanya diposisikan Wakil Sekretaris. Kali lain,
acapkali bersua Annar -- terakhir setahun lalu kala melayat jenazah Atta
Lantara -- pula tiap kali itu, Annar menagih janji saya. Saya, tetap saja
banyak dalih. Annar gemas.
***
Kini Annar, ditahan status tersangka
ke-18, pencetakan uang palsu. Dan, hingga detik ini, utang saya padanya, belum
juga terlunasi. Musababnya, janji saya mengajari doa menebak perolehan suara
jelang pemilihan, sumpah doanya memang tak ada.
Loh, saya ini semata hanyalah bermodal jam
terbang sebagai aktivis. Yaitu, kala saya menempuh voting, 26 peserta pemilik
suara, 16 sepakat menulis nama calon. Tentu, itulah pendukung Annar, sesuai isi
pesan telpon Annar sebelumnya pada saya. Dan, 10 suara sisa untuk Reza, tentu
itulah pula pendukung Reza, sesuai pesan telpon Diza sebelumnya pada saya, agar
pemilih cukup menulis nomor urut calon saja.
Rahasianya, cuma itu. Doanya -- sama
sekali -- tak ada. Semoga Pak Annar sehat dan tabah, juga makhfum, mengampuni
utang saya. Kini telah berjalan 22 tahun, barulah ini kali saya ungkap secara
terbuka, hi hi hi....
Makassar, 30 Desember 2024