------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 07 Desember 2024
Wamen 1/2
SEMUA orang merasa bisa. Apa saja.
Termasuk merasa bisa jadi anggota kabinet merah putih-nya Presiden Prabowo
Subianto. Atau merasa bisa jadi Gubernur, Bupati dan Walikota lewat Pilkada
serentak tempo hari. Tapi hanya sedikit di antaranya yang bisa merasa.
Salah satu yang sedikit itu sosok pria
dengan wajah ganteng dan murah senyum. Memimpin organisasi kepemudaan level
nasional. Berasal dari keluarga Ormas keagamaan terkemuka di Indonesia. Saat
ini sudah jadi siapa-siapa. Di usia yang terbilang muda.
Dua kali saya bertemu dengannya. Dalam
waktu berdekatan, hanya berselang sehari. Yang pertama, di acara HUT organisasi
paguyuban Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) ke-48 di sebuah hotel di
daerah kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (30/11/2024) malam. Kedua, besoknya Ahad
(1/12/2024) pagi di acara grand opening sebuah kedai kopi di bilangan
Gondangdia Menteng, Jakarta.
Nama pria muda itu: Dzulfikar Ahmad
Tawalla. Biasa akrab disapa Fikar. Dari dialek dan ejaan namanya, tidak usah
ditebak orang mana: pasti Makassar. Ia anak sulung dari enam bersaudara dan
ayahnya Pak Kiai Ahmad Tawalla, dikenal ulama dan tokoh pemuka agama di
kampungnya Limbung, Gowa, Sulawesi Selatan. Tak begitu jauh dari kota Makassar,
arah selatan.
Pun Anda sudah tahu. Dzulfikar dipercaya
Presiden Prabowo masuk kabinet merah putih sebagai Wakil Menteri (Wamen)
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) sekaligus Wakil Kepala BP2MI
(Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia).
Menterinya Abdul Kadir Karding, politisi
PKB yang juga hadir sebagai warga KKSS. Orang tuanya berasal dari Tajuncu,
pelosok desa di Kabupaten Soppeng, Sulsel. Ia sendiri lahir dan sekolah hingga
SMA di Palu, Sulawesi Tengah.
Di acara KKSS, Wamen Dzulfikar ikut
bicara. MC mendaulatnya memberikan sepatah kata di hadapan tamu undangan para
tokoh dan sesepuh warga Sulsel di Jakarta. Seperti Jusuf Kalla, Said Didu,
Anhar Gonggong, utusan saudagar dari Kepri, Papua, Kalimantan dan lainnya.
“Saya gak akan bicara panjang lebar. Harus
tahu diri. Sebagai wakil menteri, tidak boleh lebih panjang dari Pak Menteri,”
ujarnya membuka sambutan dan disambut riuh tawa hadirin yang memenuhi ballroom
hotel bintang lima itu. Suasananya kian meriah dengan nuansa etnis khas Sulsel.
Ada juga lagu, tarian dan hidangan aneka kue tradisional.
Dengan nada sersan–serius tapi
santai–Wamen Dzulfikar memberi ilustrasi kalau misalnya pak menteri bicara
memberikan sambutan atau pidato dengan durasi sekitar 20 menit, maka wakil
menteri harus tahu diri cukup bicara maksimal 10 menit saja. Lebih sedikit,
porsinya setengah.
Malam itu anak muda kelahiran Gowa,
Sulsel, 28 April 1987 ini mencuri perhatian. Setidaknya bagi saya yang baru
pertama kali bertemu dengannya. Sebelumnya belum kenal dan tak banyak tahu
dirinya.
Mengenakan baju patik, saya perhatikan, ia
berupaya hati-hati menjaga setiap kalimat yang dilontarkan dari mulutnya tidak
blunder menimbulkan kontroversi seperti dialami koleganya di kabinet yang
sempat viral. Meski itu dalam konteks bercanda.
Keesokan harinya. Pagi menjelang siang.
Secara kebetulan saya bertemu lagi dengannya. Penampilannya casual dengan baju
kaos. Di acara pembukaan warung kopi “Phoenampungan” yang diprakarsai kawan-kawannya sesama mantan aktivis
mahasiswa dan pergerakan asal Makassar di Jakarta. Sekaligus jadi ajang reuni
dadakan.
Hadir juga mas menteri pemuda dan olahraga
(Menpora) Dito Ariotedjo, Sekjen Partai Golkar Sarmudji, politisi Dhave
Laksono, Nurdin Halid, Supriansa, Ustads Das’ad Latif, Jubir JK Husain “uceng”
Abdullah dan lainnya.
Kemasan acaranya tak formal. Lebih santai.
Para tamu ngobrol sambil menyeruput kopi. Ramai di lantai satu tamu perokok dan
lantai dua yang no smoking. “Hari ini semua free,” kata pelayan. Lalu,
sejumlah tamu undangan VIP diminta memberikan testimoni.
“Sebagai wakil maka saya harus tahu diri,
tidak bicara lebih panjang dari mas manteri yang juga hadir di sini,” kata
Dzulfikar bercanda melirik mas menteri Dito yang duduk di sampingnya.
Pada momen itu mas menteri juga
menyampaikan komitmennya akan membantu sumbangan Rp100 juta untuk pengembangan
usaha warkop milik anak-anak muda yang juga koleganya saat masih aktif di ormas
pemuda AMPI dulu.
Tiba-tiba ada nyelutuk: Daeng Wamen
berapa?
“Lagi-lagi karena saya wakil maka harus
tahu diri. Nilai sumbangannya tidak boleh lebih besar dari menteri. Yah,cukup
setengahnya saja,” ujarnya tersenyum disambut tepuk tangan meriah para tamu dan
pengunjung warkop.
Kesekian kalinya saya mendengar narasi
tahu diri, paham posisi, dan porsi serba setengah darinya. Sekaligus
merefleksikan attitude dan sikapnya yang bisa merasa. Membuat saya kagum dan
angkat topi menaruh hormat padanya. Dengan memberikan julukan baru: Wamen ½.
Diam-diam Wamen Dzulfikar rupanya
menyimpan kenangan unik ala warkop yang saat itu bernama Phoenam yang berlokasi
di tempat yang lama. Masih di Jl. Wahid Hasyim. Samping kantor Bank BCA. Ketika
itu pertama kali ia injak Warkop Phoenam Jakarta diajak Indar “Daeng Beta”
Parawansa, almarhum suami Gubernur Jatim Khofifah.
“Kalau kita dipanggil kanda atau dinda,
masih aman. Tapi kapan sudah disapa “Bosku” maka waspada (tagihan bill
membengkak,red),” kelakarnya memecah riuh tawa pengunjung.
Saya tertarik pada pribadi Wamen satu ini.
Khususnya sebagai anak muda. Ia sosok rendah hati. Sederhana. Termasuk dalam
caranya berpakaian. Serba sungkan. Serba merendah. Saat ini masih tercatat
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (PM) periode 2023-2027.
Kesan saya ia bukan tipe anak muda yang
ambisius. Bahkan dengan proses berkelok nan terjal yang dijalaninya memberi
inspirasi keteladanan kepemimpinan berbasis Akhlakul Karimah. Itu yang
diafirmasi sebagai karakter kepemimpinan ala persyarikatan Muhammadiyah.
Yang penting: setelah berlabel pejabat
negara dengan posisi mentereng tetaplah jadi Dzulfikar Ahmad Tawalla.
Janganlah gaya hidupnya berubah. Terjebak
formalitas jabatan yang melekat pada dirinya. Malah orang justru bisa bingung.
Mana Dzulfikar yang asli. Yang aktif, cerdas, cekatan, dan joke-joke ringan
yang menghibur. Mungkin ini pula membuat wajah dan penampilannya lebih muda
ketimbang usianya. (Rusman Madjulekka)