-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 03 Desember 2024
Warkop
Phoenampungan
ADA warung kopi. Selain tempat
seruput kopi dan mengolah biji-biji kopi, juga ruang “mengolah” kata. Sesuai
dengan mottonya: “Mengolah seperlunya, minum kopi secukupnya, bersahabat
selamanya”. Tulisannya cukup besar di pojok dinding dekat pintu masuk.
“Terus-terang saya termasuk
salah satu korban mengolah kata-kata,” ungkap Mas Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, tersenyum disambut riuh tawa pengunjung warkop saat memberikan sambutan
launching openingnya, Ahad pagi (01/12/24).
Hadir juga Dzulfikar Ahmadi
Tawalla, Wamen Perlindungan PMI, Sekjen Partai Golkar Sarmudji, Anggota DPR RI Dhave
Laksono, Nurdin Halid, Anggota DPD Waris Halid, Anggota DPR periode lalu
Supriansa, Ustadz Das’ad Latif, Jubir JK Husain “Uceng” Abdullah, Ketua Gapensi
A. Rukman Nurdin, dan tamu lainnya.
Nama warung kopi itu:
Phoenampungan. Lokasinya di pusat kota Jakarta. Jalan Wahid Hasyim di bagian
timur, tak jauh dari bundaran Tugu Tani. Dari stasiun kereta komuter Gondangdia
Menteng, saya jalan kaki 10 menit nyampe.
Dito menceritakan, suatu
ketika sebulan sebelum pelantikan kabinet merah putih, dirinya bertemu dengan
sejumlah mantan aktivis mahasiswa dan pergerakan asal Makassar di sebuah café
di Menteng Jakarta.
“Kalian gak nongkrong di
Phoenam lagi?” tanya mas menteri.
Phoenam adalah nama warkop
legendaris asal Makassar di Jalan Wahid Hasyim. Warga perantau atau diaspora
asal Makassar dan Sulawesi Selatan di Jakarta sudah familiar dengan warkop cita
rasa kopi dan roti kaya yang khas.
“Sudah tutup” jawab Risman
Pasigai yang lagi bersama Abdul Razak “Acha” Said dan kawan-kawan.
“Gimana kalau kita buka
kembali?” usul mas menteri spontan. Dito orang Jawa beristri orang Makassar.
Mertuanya pemilik travel haji dan umroh Maktour.
Ibarat gayung bersambut. Tanpa
basa-basi Risman dkk langsung menyodorkan proposal proses akuisisi yang
sebenarnya sudah lama mereka rencanakan. Termasuk biaya sewa tempat lima tahun.
Hanya terkendala dana.
Ups…mas menteri terkejut
bercampur surprise. Barusan ia mengusulkan sudah ada proposalnya. Ia tak
menyangka idenya direspons begitu cepat. Apalagi para koleganya sesama aktivis
saat di AMPI dulu memaknai kata “kita” mas menteri sebagai kami, atau saya dan
anda secara bersama-sama.
“Kami sengaja mengajak mas
menteri ikut bersama mewujudkan impian itu. Kalau bukan mas menteri yang bantu
siapa lagi?” kata mereka dengan wajah saromase. Istilah bahasa Bugis pandai
mengambil hati orang lain.
Diam-diam Wamen Dzulfikar juga
menyimpan kenangan unik “mengolah kata” ala warkop saat itu bernama Phoenam
yang masih berlokasi di tempat yang lama. Masih di Jalan Wahid Hasyim. Samping
kantor bank BCA. Ketika itu pertama kali ia injak warkop Phoenam Jakarta karena
diajak Indar “Daeng Beta” Parawansa, almarhum suami Gubernur Jatim Khofifah.
“Kalau kita dipanggil kanda
atau dinda, masih aman. Tapi kapan sudah disapa “Bosku” maka waspada (tagihan
bill membengkak,red),” kelakarnya memecah riuh tawa pengunjung hari itu.
“Phoenampungan” merupakan
penggabungan kata phoenam dan tampung. Merujuk makna tempat penampungan.
Sengaja memakai ejaan “Phoenam” sekadar mengingatkan kembali kenangan warkop
Phoenam sebelumnya di lokasi yang sama.
Menampung siapa? “Siapa saja
yang transit. Di sela-sela waktu urusan kerjaan dan bisnis, atau saudara kita
dari Makassar yang berkunjung ke Jakarta,” kata Abdul Razak “Acha” Said, salah seorang
inisiator dan owner warkop itu.
Bahkan karena transit,
lanjutnya, sudah terpikirkan untuk menyiapkan fasilitas tempat penitipan barang
bagi mobilitas tamu pengunjungnya.
“Manajemen tata kelola warkop
harus terjaga. Perbanyak menu tradisional. Dan sekaligus menjadi perekat warga
diaspora Makassar di Jabodetabek,” saran Awaluddin, alumni Kelautan Unhas yang
juga pelanggan lama Phoenam.
Nama “Phoenampungan” dipilih,
menurut Acha, agar terasa welcome untuk siapa saja yang ada hubungan darah
dengan Makassar atau Sulsel. Termasuk yang bersuami/beristri dari daerah yang
sering dijuluki “negeri para pemberani” itu.
Warkop ini dirintis anak-anak
muda perantauan: Risman Pasigai, Abdul Razak “Acha” Said, Ziaul Haq Coi, Rizky
Maulana, Saudi Arabia Tahir, dan Thamrin Barubu. Dengan semangat kolektif,
mereka membangun warkop ini bukan hanya sebagai usaha ekonomi, tetapi juga
sebagai ruang berkumpulnya kaum muda untuk bertukar pikiran.
Bagi para pemuda aktivis dan
pergerakan, warung kopi selalu memiliki makna lebih dalam. Ini bukan hanya
tempat menyeruput kopi hitam, tetapi sebuah “rumah kedua” untuk mengurai benang
kusut ide-ide besar. Disinilah gagasan revolusi, perubahan, atau bahkan inovasi
kecil dalam bisnis kerap muncul di tengah diskusi ringan.
Model warkop anak-anak muda
ini bukan lagi hanya tempat kongko. Maka itu. Tempatnya tidak lagi harus luas.
Tidak harus seperti Starbucks. Yang memerlukan investasi besar.
Sebagai pendatang baru stok
lama di bisnis perkopian Phoenampungan akan menemukan jalannya sendiri. (Rusman
Madjulekka).