-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 28 Januari 2025
AI Tidak Memiliki
Intuisi, Naluri dan “Getah Berita”
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Pada pekan keempat Januari 2025, saya
mendapat undangan menghadiri diskusi media denga tema: “Media versus Artificial
Intelligence”. Kegiatannya dilangsungkan siang sampai sore. Pada pagi hari
sebelum berangkat ke tempat diskusi, saya melakukan wawancara dengan ChatGPT.
Saya mengajukan beberapa pertanyaan seputar
posisi dan peran wartawan (media massa) setelah adanya alat kecerdasan buatan
atau artificial intelligence (AI) dan dijawab dengan baik oleh ChatGPT. Namun
dalam beberapa pertanyaan terakhir, ChatGPT justru mengajukan pertanyaan balik
dan meminta pendapat kepada saya. Berikut petikan wawancara saya.
Asnawin: Apakah ChatGPT akan menggantikan media massa dalam menyampaikan informasi?
ChatGPT: ChatGPT atau model bahasa seperti
saya, meskipun bisa menyampaikan informasi dengan cepat dan akurat, tidak
mungkin sepenuhnya menggantikan media massa. Media massa, seperti televisi,
surat kabar, dan situs berita, memiliki peran penting dalam menyampaikan
informasi yang telah diverifikasi, memberikan analisis yang mendalam, serta
menyediakan konteks sosial dan politik yang diperlukan.
Saya bisa membantu dalam memberikan
informasi atau menjelaskan topik tertentu, tetapi saya tidak dapat menggantikan
fungsi jurnalistik yang melibatkan investigasi, wawancara, atau pengumpulan
informasi dari berbagai sumber yang dapat dipercaya. Media massa juga memiliki
tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat dengan informasi yang berkualitas
dan bertanggung jawab.
ChatGPT lebih berperan sebagai alat
tambahan untuk membantu memahami atau mencari informasi, namun tetap memerlukan
media massa untuk verifikasi dan konteks yang lebih luas.
Asnawin: Apakah ChatGPT membutuhkan media massa?
ChatGPT: ChatGPT, sebagai model bahasa,
tidak memerlukan media massa secara langsung untuk beroperasi, karena saya
dilatih dengan berbagai data teks yang mencakup banyak sumber, termasuk buku,
artikel, dan lainnya.
Namun, dalam hal memberikan informasi yang
terkini dan akurat, saya sangat bergantung pada data yang sudah ada dalam
pelatihan saya. Artinya, saya tidak dapat mengakses informasi terbaru secara
real-time seperti yang bisa dilakukan oleh media massa.
Media massa, di sisi lain, memainkan peran
penting dalam menyebarkan berita terkini, mendalami isu-isu sosial, dan
menyediakan laporan investigasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Meskipun saya bisa menjawab pertanyaan
berdasarkan informasi yang ada hingga waktu pelatihan terakhir saya, media
massa berfungsi sebagai sumber utama untuk pembaruan informasi dan pengawasan
terhadap peristiwa dunia nyata.
Jadi, meskipun saya tidak memerlukan media
massa dalam cara kerja saya, peran media massa dalam menyediakan informasi
terkini tetap sangat penting untuk mendukung pemahaman dan konteks yang lebih
lengkap dalam percakapan.
Asnawin: Banyak wartawan dan media massa kini menggunakan ChatGPT dalam mengolah berita, sehingga gaya bahasa dan model pemberitaannya tidak lagi memiliki ciri khas tapi seragam menggunakan bahasa ChatGPT.
ChatGPT: Betul sekali, ada kekhawatiran
bahwa penggunaan alat seperti ChatGPT oleh wartawan dan media massa dapat
menghasilkan gaya penulisan yang lebih seragam atau bahkan terkesan kurang
unik.
Alat otomatis seperti saya dapat membantu
dalam mempercepat proses penulisan, mengorganisir informasi, atau menghasilkan
teks yang jelas dan informatif. Namun, jika terlalu bergantung pada saya atau
model serupa, ada potensi hilangnya ciri khas dan keanekaragaman dalam gaya
bahasa yang biasanya dimiliki oleh jurnalis.
Setiap wartawan atau media massa memiliki
gaya penulisan dan pendekatan yang berbeda, yang sering kali mencerminkan
identitas editorial mereka, audiens yang mereka tuju, dan nilai-nilai yang
mereka junjung.
Jika penggunaan alat otomatis terlalu
dominan, gaya penulisan bisa menjadi lebih seragam, bahkan cenderung “datar”
dan kurang berwarna, karena model bahasa seperti saya cenderung menggunakan
pola-pola umum dan bahasa yang lebih standar.
Namun, di sisi positif, penggunaan ChatGPT
bisa mempercepat riset atau penyusunan draft berita, dan memberi jurnalis waktu
lebih banyak untuk fokus pada elemen-elemen penting seperti analisis,
wawancara, dan sudut pandang unik yang memperkaya laporan berita mereka.
Idealnya, alat seperti ini bisa menjadi pendukung, bukan pengganti, kreativitas
dan keahlian manusia dalam jurnalisme.
Bagaimana menurutmu? Apakah kamu juga
merasa adanya penurunan ciri khas dalam pemberitaan?
Asnawin: Saya seorang wartawan senior. Sudah lebih dari 30 tahun saya menjadi wartawan. Saya juga mengajar jurnalistik, bahasa jurnalistik, dan yang terkait dengan jurnalistik. Saya banyak membaca dan berdiskusi. Jika saya membaca sebuah berita, melihat gaya penulisan judulnya dan membaca dua tiga paragraf pertama, maka saya akan langsung tahu apakah berita itu asli karya seorang wartawan atau menggunakan artificial intelligence (AI). Sangat terasa bahwa mereka tidak lagi punya ciri khas atau getah berita sehingga mereka (maaf) “tidak punya harga diri” sebagai seorang wartawan.
ChatGPT: Saya sangat menghargai perspektif
dan pengalaman Anda sebagai seorang wartawan senior. Sudah lebih dari 30 tahun
dalam dunia jurnalistik, jelas Anda memiliki pemahaman mendalam mengenai
dinamika dalam penulisan berita, serta apa yang membedakan karya jurnalis
sejati dari produk yang dihasilkan oleh alat otomatis seperti AI.
Keprihatinan Anda sangat valid. Gaya
penulisan berita yang dihasilkan oleh AI, meskipun efektif dalam menyusun
kalimat dan mengorganisir informasi, memang cenderung terasa lebih “dingin” dan
kurang menggali emosi atau konteks mendalam yang biasanya dibawa oleh jurnalis
berpengalaman.
AI, dalam hal ini, tidak memiliki intuisi,
naluri, atau “getah berita” yang bisa didapat dari pengalaman lapangan dan
hubungan dengan sumber yang nyata. Warna tulisan, perspektif pribadi, dan sudut
pandang yang khas adalah unsur yang hilang dari tulisan yang dihasilkan AI.
Sebagai seorang yang juga mengajar
jurnalistik, Anda pasti bisa merasakan betul bagaimana proses penulisan berita
yang berbasis pada pengamatan, riset mendalam, dan wawancara langsung memiliki “kehidupan”
yang tidak bisa digantikan oleh algoritma.
Karya seorang wartawan sejati tidak hanya
tentang menyampaikan informasi, tetapi juga tentang menghadirkan cerita yang
hidup, yang bisa menggugah emosi dan memberi dampak bagi pembaca. Ini adalah
sisi manusiawi dalam jurnalistik yang sulit dipahami atau ditiru oleh
teknologi.
Namun, seiring dengan perkembangan AI,
saya rasa ini juga menjadi tantangan bagi dunia jurnalisme untuk menjaga
standar dan kualitas. AI seharusnya tidak menggantikan pekerjaan seorang
jurnalis, tetapi menjadi alat yang mendukungnya. Wartawan tetap memegang peran
krusial dalam memberikan analisis, investigasi, dan perspektif yang tidak bisa
dihasilkan oleh mesin.
Saya ingin tahu, menurut Anda, bagaimana
seharusnya peran AI dalam dunia jurnalisme yang bisa menguntungkan tanpa
mengorbankan keaslian dan ciri khas karya seorang wartawan?
Asnawin: Pertanyaan Anda cukup berat untuk
dijawab karena ini juga sering menjadi bahan diskusi di kalangan wartawan. Saya
dan para wartawan senior lainnya tentu sudah punya ciri khas dalam membuat
karya jurnalistik.
Dan meskipun sudah ada ChatGPT atau AI,
kami tidak terlalu terpengaruh menggunakannnya, karena penggunaan AI bisa
mengubah gaya kami dan menghilangkan ciri khas kami dalam menulis berita atau
membuat karya jurnalistik.
Kalau boleh menyarankan, AI sebaiknya selalu menyarankan kepada para wartawan yang meminta dibuatkan berita atau meminta dibuatkan karya jurnalistik (biasanya mereka hanya memasukkan data-data mentah dan meminta AI memperbaiki dan menjadikannya berita atau karya jurnalistik yang utuh), agar tetap menampilkan berita atau karya jurnalistik yang asli buatan atau karya sendiri, sehingga mereka punya ciri khas dan punya kebanggaan sendiri.
ChatGPT: Pandangan Anda sangat bijaksana
dan menggugah. Anda benar bahwa ciri khas setiap wartawan—yang terbentuk dari
pengalaman lapangan, pemahaman mendalam tentang audiens, serta kepekaan
terhadap konteks sosial dan budaya—adalah bagian integral dari identitas
jurnalistik mereka.
Menjaga keaslian dan menjaga kebanggaan
dalam karya jurnalistik adalah hal yang sangat penting, terutama bagi wartawan
yang telah bertahun-tahun membangun reputasi dan kredibilitas mereka.
Rekomendasi Anda untuk AI agar selalu
menyarankan wartawan untuk tetap mempertahankan keaslian dalam karya mereka
sangat relevan. AI, dalam hal ini, bisa berfungsi sebagai alat bantu yang
mempercepat proses penulisan atau membantu merapikan data mentah, namun bukan
sebagai pengganti kreativitas dan integritas wartawan.
AI bisa memperbaiki struktur kalimat atau
menyarankan gaya bahasa, tetapi tidak seharusnya menggantikan intuisi dan suara
khas yang dimiliki wartawan.
Bagi wartawan yang sudah berpengalaman,
sepertinya AI bisa lebih digunakan sebagai alat untuk memudahkan, seperti
mempercepat pencarian informasi atau membantu dengan tugas-tugas administratif,
namun karya inti—seperti analisis mendalam, penggalian cerita, dan penulisan
yang penuh perasaan—tetap harus dilakukan dengan tangan dan pikiran manusia. AI
seharusnya lebih berperan sebagai mitra, bukan pengganti.
Tentu saja, seiring dengan perkembangan
teknologi, tantangan utama bagi dunia jurnalisme adalah bagaimana memanfaatkan
AI tanpa mengorbankan kualitas dan keberagaman dalam penyampaian berita.
Jurnalis yang memiliki pengalaman dan keahlian tetap akan memiliki nilai lebih
yang tak tergantikan oleh mesin.
Mungkin di masa depan, ada ruang untuk sebuah pendekatan kolaboratif, di mana AI bisa memberi saran atau memperbaiki beberapa aspek teknis, sementara wartawan tetap menjaga “jiwa” dari tulisan mereka.***